Pagi ini, masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Aku masih sulit untuk terbagun di pagi buta, aku juga masih suka menatap kaca di sebelah jendela. Mandi, membersihkan kamar, makan, dan lain sebagainya. Seperti yang kubilang tadi, pagi ini masih sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Nyaris tak ada beda.
Namun kesamaan itu hanya terletak pada apa yang aku lakukan sehari-hari, dan aku biasa menyebutnya dengan sebutan : rutinitas. Ya, memang sebuah rutinitas itu selalu sama dengan yang terjadi sebelumnya, bahkan seperti yang kubilang di atas : nyaris tanpa beda. Tapi sekali lagi kesamaan itu hanya terletak pada sisi rutinitas saja. Tidak lebih.
Ada perasaan berbeda ketika aku membuka mata di waktu yang menurutku masih pagi buta. Ada semacam perasaan tak nyaman bila dibandingan dengan pagi-pagi sebelumnya. Kali ini rasanya : nyaris tak pernah sama.
Aku masih ingat betul kejadian hari itu, kejadian yang menurutkan sebagai penyebab utama dalam ketidaknyamananku melakukan rutinitas pagi ini. Apalagi kalau bukan masalah cinta, lebih spesifiknya putus cinta. Terdengar klise memang, tapi itulah yang sedang kurasakan saat ini. Saat dimana kerapuhan hati terjadi. Yang dulunya kuat seperti Superman, kini mendadak lemah seperti Hello Kitty. Memang kejadian tersebut telah terjadi beberapa waktu yang lalu, namun dampaknya masih terasa sampai saat ini. Setiap aku terjaga menyambut pagi.
Dalam benak, aku tak pernah merencanakan hal ini terjadi di dalam hidupku, karena aku tahu pasti akan sakit rasanya. Tapi ketika Tuhan yang me
rencanakan hal ini harus terjadi, apa manusia lemah seperti kita ini bisa menahannya?? Aku rasa kalian sepakat denganku untuk berkata tidak.
Menurutku kejadian semacam ini sangatlah lumrah terjadi di kalangan manusia yang sedang menjalin hubungan asmara. Tidak hanya remaja dan kaum dewasa, bahkan orang tua pun rentan akan hal putus cinta. Hanya yang membedakannya adalah bagaimana kejadian itu dialami. Apakah putus cinta seperti yang banyak dikisahkan dalam novel remaja, bercerai dengan istri yang telah lama mendampingi kita, atau saat tiba ajal ketika lapuknya usia. Sekali lagi menurutku itu semua masuk dalam kategori putus cinta. Putus, karena cintanya sudah tak lagi bersama.
Pedih, mungkin itulah yang kita rasa. Ada semacam perasaan yang tak menentu dalam diri kita. Menjadi mudah marah, sering diam, dan tak banyak tertawa seperti sebelumnya. Lebih tepatnya kita menjadi sangat sensitif. Tapi sampai kapan kita harus setia dengan perasaan itu?? Aku tahu rasanya memang sakit, atau yang lebih parah kita sudah tak bisa lagi merasakan kalau sebenarnya perasaan kita sedang “sakit”. Hampa.
Oleh karena itu, aku yakin kalian semua pasti ingin segera, bukan itu, lebih tepatnya ingin cepat-cepat meninggalkan keadaan itu, pergi dan berharap tak pernah bertemu lagi. Tapi pertanyaannya, bagaiman caranya?? Karena pasti tak semudah menghabiskan jajanan di hari raya.
Aku terdiam lama di depan layar kaca, mataku sampai panas terkena radiasi cahaya yang entah berapa lama terus menerpa bola mata. Aku bangun, berdiri, duduk bahkan beberapa kali sempat berbaring. Terdengar bunyi detik jam yang begitu mendominasi indera pendengarku, seakan terus memacu otak untuk segera menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri. Sialnya, aku masih belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaan sederhanya tersebut. Pertanyaan untuk diriku sendiri.
----------------
Aku hanya ingin melanjutkan hidup. Ya, aku hanya ingin melanjutkan anugerah terindah dari Sang Pencipta, sebuah kehidupan. Aku tahu ini semua memang sakit, bahkan pedih. Lantas apakah dengan itu semua hidup kita akan berhenti sampai disini. Rasanya terlalu sayang kalau hidup yang diberikan ini harus diisi dengan perasaan yang sebenarnya kita ingin cepat-cepat meninggalkannya, namun karena terlanjur berlarut-larut memikirkannya dan pada akhirnya membuat hidup kita seakan berakhir sia-sia. Mati tak berdaya.
Aku hanya ingin melanjutkan hidup. Bagaimana carannya?? Aku pikir dengan kembali melakukan rutinitas sehari-hari, mengisinya kembali dengan senyum dan tawa pengusir sepi yang mungkin kita sudah lupa bagaimana caranya. Menghidupkan kembali mimpi-mimpi yang pernah ada, baik yang sudah terencana atau masih sebuah wacana. Butuh waktu?? Memang jelas adanya. Karena orang yang sakit pasti memerlukan masa penyembuhan setelah masa pengobatan untuk bisa dinyatakan benar-benar sembuh dari penyakit yang dideritannya.
Sekali lagi, aku hanya ingin melanjutkan hidup (saja).
Friday 11 November 2011
Balada Mahasiswa Semester Tujuh
Saya adalah salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang sekarang sedang berada di semester tujuh.
Berbicara soal semester tujuh adalah berbicara tentang sebagian akhir cerita dari kehidupan kita di kampus. Menurut saya, semester tujuh adalah kondisi dimana sudah dapat dikategorikan kedalam semester “stadium akut”, walaupun resiko bahayanya tak sebesar dengan semester-empat-belas, tapi berada di semester tujuh sudah membuat sebagian besar mahasiswa merasa tertekan di dalamnya. Mereka semacam tertekan oleh dua hal : akademis dan psikologis.
Mari kita telaah bersama.
Pertama, tertekan secara akademis adalah kondisi dimana kita harus disibukkan dengan segala macam urusan terkait dengan “mahakarya” terakhir kita bernama skripsi. Mulai dari memilih judul yang tepat, bersabar menunggu dosen untuk bimbingan, dan mulai terbiasa “nongkrong” di perpus untuk melakukan sejuta jurus “pedekate” dengan berbagai macam jenis buku yang mungkin belum pernah kita lakukan sebelumnya.
Bagi mahasiswa yang termasuk “strata akademis tinggi”, hal seperti itu bukan lagi merupakan suatu masalah berarti bagi mereka. Karena pada dasarnya rutinitas mereka s etiap hari ketika berada di kampus juga nggak pernah jauh dari kegiatan tersebut. Mulai dari baca buku di perpus, mengerjakan tugas kuliah, diskusi dengan teman sekelas, dan masih seabrek lagi kegiatan mereka. Mungkin para mahasiswa “strata akedemis tinggi” sudah mengetahui kondisi atau paling tidak punya gambaran bagaiamana nanti jika harus berurusan dengan “mahakarya” terakhir mereka masing-masing. Oleh karena itu, jauh-jauh hari mereka telah mempersiapkannya dengan matang dan terencana.
Tetapi bagi mahasiswa yang strata akademisnya dapat dianalogikan sebagai “rakyat jelata”, berada di semester tujuh adalah neraka bagi mereka. Jangankan harus berurusan dengan BPN (buku, perpus dan nunggu), diperbolehkan masuk kelas dan duduk dengan tenang saat berlangsungnya kuliah sudah menjadi kebanggaan bagi mereka. Karena pada dasarnya mahasiswa dengan strata akademis “rakyat jelata” ini kurang begitu akrab dengan kegiatan akademis mahasiswa pada umumnya. Mereka terbiasa dengan kondisi santai kaya berjemur di pantai, tenang kaya ngambang di selokan, dan makmur kaya pas nyemplung sumur. Oleh karena itu, ketika berada di semester tujuh, strata merekalah yang paling tidak siap ketika harus menghadapi kenyataan. Mereka cenderung tidak siap dengan akhir dari perjalanan cerita mereka. Apalagi jika ditambah dengan berbagai beban target yang harus dicapai seperti nilai IPK kumlot, lulus dalam waktu 3,5 tahun atau apalah targetnya. Terlepas siapapun yang telah memberikan target tersebut, yang jelas mereka tertekan secara akademis.
Kedua, tertekan secara psikologis adalah dimana ketika kita disibukkan dengan mencari pendamping saat foto wisuda. Perlu diperjelas disini, bahwa pendamping foto wisuda yang dimaksud bukanlah orang tua, saudara, atau teman sejawat, bukan itu semua. Kalau dengan mereka sudah merupakan suatu keharusan dan tidak perlu dicari lagi keberadaannya. Akan tetapi yang dimaksud adalah pendamping foto wisuda yang setidaknya bisa dijadikan kenangan sekaligus cerita untuk anak cucu kita nantinya.
Ada semacam fenomena menarik ketika memasuki semester tujuh, terlebih bagi mahasiswa yang sedang berada di dalamnya. Bisa dibilang semester tujuh adalah semester kawin bagi para mahasiswa, dimana banyak ditemukan para mahasiswa yang mulai sibuk untuk mencari pasangan, entah itu untuk foto pendamping wisuda atau alasan lainnya. Sudah seperti musim kawin beruang ketika selesai masa hibernasi di musim dingin. Ramai.
Bagi mereka yang telah mendapatkan pandamping foto wisuda tentu tekanan psikologis yang mereka rasakan saat semester tujuh tidak sebesar mereka yang belum memiliki pasangan foto pendamping wisuda. Jika para mahasiswa yang belum mempunyai pasangan cenderung bergeriliya siang malam untuk mencari pendamping poto wisuda, bagi mereka yang telah memiliki mulai melakukan hal yang membuat “mereka” yang belum punya pasangan menjadi semakin gerah. Hal itu adalah : merilis foto bersama pasangan di jejaring sosial. Sudah semacam melakukan foto prawedding stratanya. Ironis.
Adanya istilah STMJ (semester tujuh masih jomblo) di kalangan para mahasiswa telah membuat para mahasiswa semester tujuh semakin tertekan secara psikologis. Anehnya, tekanan psikologis ini tidak membeda-bedakan jenis kelamin maupun “strata akademis” mereka, mau pria, wanita, pintar, atau lumayan pintar, bagaimanapun keadaan mereka, tekanan psikologis dapat menghampiri mereka kapan saja.
Ah, semester tujuh. Aku padamu..
Berbicara soal semester tujuh adalah berbicara tentang sebagian akhir cerita dari kehidupan kita di kampus. Menurut saya, semester tujuh adalah kondisi dimana sudah dapat dikategorikan kedalam semester “stadium akut”, walaupun resiko bahayanya tak sebesar dengan semester-empat-belas, tapi berada di semester tujuh sudah membuat sebagian besar mahasiswa merasa tertekan di dalamnya. Mereka semacam tertekan oleh dua hal : akademis dan psikologis.
Mari kita telaah bersama.
Pertama, tertekan secara akademis adalah kondisi dimana kita harus disibukkan dengan segala macam urusan terkait dengan “mahakarya” terakhir kita bernama skripsi. Mulai dari memilih judul yang tepat, bersabar menunggu dosen untuk bimbingan, dan mulai terbiasa “nongkrong” di perpus untuk melakukan sejuta jurus “pedekate” dengan berbagai macam jenis buku yang mungkin belum pernah kita lakukan sebelumnya.
Bagi mahasiswa yang termasuk “strata akademis tinggi”, hal seperti itu bukan lagi merupakan suatu masalah berarti bagi mereka. Karena pada dasarnya rutinitas mereka s etiap hari ketika berada di kampus juga nggak pernah jauh dari kegiatan tersebut. Mulai dari baca buku di perpus, mengerjakan tugas kuliah, diskusi dengan teman sekelas, dan masih seabrek lagi kegiatan mereka. Mungkin para mahasiswa “strata akedemis tinggi” sudah mengetahui kondisi atau paling tidak punya gambaran bagaiamana nanti jika harus berurusan dengan “mahakarya” terakhir mereka masing-masing. Oleh karena itu, jauh-jauh hari mereka telah mempersiapkannya dengan matang dan terencana.
Tetapi bagi mahasiswa yang strata akademisnya dapat dianalogikan sebagai “rakyat jelata”, berada di semester tujuh adalah neraka bagi mereka. Jangankan harus berurusan dengan BPN (buku, perpus dan nunggu), diperbolehkan masuk kelas dan duduk dengan tenang saat berlangsungnya kuliah sudah menjadi kebanggaan bagi mereka. Karena pada dasarnya mahasiswa dengan strata akademis “rakyat jelata” ini kurang begitu akrab dengan kegiatan akademis mahasiswa pada umumnya. Mereka terbiasa dengan kondisi santai kaya berjemur di pantai, tenang kaya ngambang di selokan, dan makmur kaya pas nyemplung sumur. Oleh karena itu, ketika berada di semester tujuh, strata merekalah yang paling tidak siap ketika harus menghadapi kenyataan. Mereka cenderung tidak siap dengan akhir dari perjalanan cerita mereka. Apalagi jika ditambah dengan berbagai beban target yang harus dicapai seperti nilai IPK kumlot, lulus dalam waktu 3,5 tahun atau apalah targetnya. Terlepas siapapun yang telah memberikan target tersebut, yang jelas mereka tertekan secara akademis.
Kedua, tertekan secara psikologis adalah dimana ketika kita disibukkan dengan mencari pendamping saat foto wisuda. Perlu diperjelas disini, bahwa pendamping foto wisuda yang dimaksud bukanlah orang tua, saudara, atau teman sejawat, bukan itu semua. Kalau dengan mereka sudah merupakan suatu keharusan dan tidak perlu dicari lagi keberadaannya. Akan tetapi yang dimaksud adalah pendamping foto wisuda yang setidaknya bisa dijadikan kenangan sekaligus cerita untuk anak cucu kita nantinya.
Ada semacam fenomena menarik ketika memasuki semester tujuh, terlebih bagi mahasiswa yang sedang berada di dalamnya. Bisa dibilang semester tujuh adalah semester kawin bagi para mahasiswa, dimana banyak ditemukan para mahasiswa yang mulai sibuk untuk mencari pasangan, entah itu untuk foto pendamping wisuda atau alasan lainnya. Sudah seperti musim kawin beruang ketika selesai masa hibernasi di musim dingin. Ramai.
Bagi mereka yang telah mendapatkan pandamping foto wisuda tentu tekanan psikologis yang mereka rasakan saat semester tujuh tidak sebesar mereka yang belum memiliki pasangan foto pendamping wisuda. Jika para mahasiswa yang belum mempunyai pasangan cenderung bergeriliya siang malam untuk mencari pendamping poto wisuda, bagi mereka yang telah memiliki mulai melakukan hal yang membuat “mereka” yang belum punya pasangan menjadi semakin gerah. Hal itu adalah : merilis foto bersama pasangan di jejaring sosial. Sudah semacam melakukan foto prawedding stratanya. Ironis.
Adanya istilah STMJ (semester tujuh masih jomblo) di kalangan para mahasiswa telah membuat para mahasiswa semester tujuh semakin tertekan secara psikologis. Anehnya, tekanan psikologis ini tidak membeda-bedakan jenis kelamin maupun “strata akademis” mereka, mau pria, wanita, pintar, atau lumayan pintar, bagaimanapun keadaan mereka, tekanan psikologis dapat menghampiri mereka kapan saja.
Ah, semester tujuh. Aku padamu..