Saturday, 13 October 2018

Menggambar

Tidak semua orang bisa menggambar.

Bagi sebagian besar orang, menggambar adalah kegiatan yang menyenangkan. Terlebih kepada mereka yang suka menggambar, atau paling tidak yang bisa menggambar. Tapi tidak untuk saya. Alasannya sederhana, karena saya tidak bisa menggambar dengan jelas. Maksudnya, saya bisa menggambar, tapi yang bisa mengerti gambaran saya hanya saya, dan saya sendiri. Itulah yang membuat saya iri kepada teman-teman yang jago menggambar.

Menurut saya, setiap gambar itu seperti foto, selalu punya makna tersendiri di dalamnya. Setiap gambar mempunyai arti yang bermacam-macam. Karena setiap orang pasti punya persepsi masing-masing ketika melihat sebuah gambar. Gambar itu seperti menyederhanakan rangkaian kalimat, menyederhanakan banyak kata yang mungkin bisa kita ucapkan ketika melihat suatu peristiwa.

Suatu peristiwa yang bisa dijabarkan melalui ratusan kalimat, namun melalui gambar peristiwa tersebut bisa terangkum dalam sehelai kertas. Bagi saya orang yang bisa menggambar itu keren. Mereka bisa bercerita banyak kepada orang lain dengan mengajak orang lain tersebut bercerita kepada dirinya sendiri atas apa yang dilihatnya.

Ajaib!

Dahulu, melalui pelajaran menggambar di sekolah, saya berusaha keras untuk bisa menggambar. Setidaknya ketika saya menggambar, orang lain mengerti apa yang saya gambar. Itu sudah cukup. Namun, memasuki masa perkuliahan sampai menjelang semester akut seperti sekarang ini, hampir tidak pernah saya belajar menggambar lagi. Alasanya sederhana, jurusan yang saya ambil tidak ada sangkut pautnya dengan menggambar. Mata kuliah yang saya ambil juga tidak ada tentang menggambar. Paling kalau ada hanya menggambar grafik, lingkaran, atau bagun datar lainnya sebagai penjelas dari teori-teori yang tidak semuanya saya hafal. Di luar itu, saya mencoba belajar menggambar secara otodidak. Namun seperti yang pernah saya bilang, hasil gambarnya hanya saya sendiri yang mengerti.

Parah.

Sampai suatu saat saya harus menemui lagi hal besar yang berkaitan dengan menggambar.

****

Matahari di Kota Malang sudah muncul sedari tadi, meninggalkan fase fajar yang bagi sebagian orang dikatakan menarik itu. Seperti biasanya, pagi itu saya belum bisa melihat saat fajar tiba. Bangun pagi adalah menjadi sesuatu yang masih jarang saya lakukan di semester akut seperti sekarang ini. Dulu ketika masih ada perkuliahan, bangun pagi adalah kewajiban bagi saya. Karena banyak jam perkuliahan yang dilakukan di pagi hari. Terkadang jam masuknya juga terlalu pagi. Karena tidak jarang ketika saya berangkat ke kampus dalam kondisi sudah telat, di pinggir jalan banyak anak sekolah yang sedang asyik menunggu angkutan dengan santai. Terkadang saya berangkat kuliah berbarengan dengan tukang kebersihan yang sedang bersih-bersih di jalanan di pagi hari. Terlebih, mandi dan berangkat kuliah pagi adalah perpaduan yang kurang pas untuk suhu pagi di Kota Malang.

Setelah mandi dan sarapan pagi, saya langsung menuju ruang tamu yang letaknya di tengah-tengah kamar kos. Di sana sudah ada dua pemuda asal Blitar yang sedang asyik ngobrol, Heni dan Rendra. Saya pun menyapa mereka berdua,

"Waduh. Bagaimana Indonesia bisa maju kalo pagi-pagi para pemudanya sudah ngrumpi. Ada apa ini?"

"Ini loh, Heni lagi belajar gambar. Katanya sih buat nyari pekerjaan."

"Ngapain nyari kerja pakai gambar segala, memang kamu mau kerja jadi guru gambar?"

"Enggak sih. Tapi nanti kalau kamu nyari kerja pasti bakal melewati beberapa tes. Nah, salah satunya kamu disuruh gambar terus dikasih waktu."

Mendengar kata gambar saya langsung panik.

"Ah, yang bener? Memang disuruh gambar apa?"

"Dari beberapa tes yang pernah saya ikuti, paling juga disuruh gambar dua macam. Gambar manusia sama gambar pohon."

Heni adalah salah seorang penghuni kos yang sudah mondar mandir menjalani tes pekerjaan. Makanya dia lumayan ngerti dengan rangkaian tes yang dilakukan oleh beberapa perusahaan.

Sebelumnya, perlu saya perkenalkan teman saya yang bernama Heni ini adalah berjenis kelamin pria di KTP-nya. Nama lengkapnya Heni Andya. Nama yang saya rasa pas untuk seorang cewek. Saya sering bertanya alasan kenapa namanya Heni Andya. Kenapa tidak Heno Andya atau Heni Andyanto yang sekali dengar pasti orang akan paham jenis kelaminnya. Jawabannya pun diplomatis,

"Nama kan pemberian sekaligus doa orang tua. Disyukuri aja nanti pasti barokah."

Alhasil, kadang kalau teman di kampus minta kenalan cewek, saya langsung memprioritaskan Heni Andya di urutan paling atas.

Heni adalah satu-satunya penghuni kos tersisa yang mengambil jurusan teknik mesin. Jurusan yang paling laki-laki, karena menurut cerita dari Heni sendiri, di jurusan tersebut mayoritas dan bahkan hampir semuanya adalah mahasiswa laki-laki.

"Kalau satu kelas itu ada satu saja ceweknya, itu sudah anugerah yang luar biasa, Kim."

Begitu katanya.

Sepengetahuan saya, Heni masuk mesin karena memang dia benar-benar suka dan cinta sama mesin. Mulai dari komposisi mesin, detail, bentuk, gambar, rangkaian fungsi, pengembangan dan tetek bengek lainnya soal mesin dia bisa jelasin. Mau mesin motor, mesin bubut, mesin jahit, mesin tik dia mengerti semua. Cuma satu mesin yang sampai sekarang dia tidak mengerti.

Mesin politik!

Mungkin saat masih bayi, ari-arinya ditanam di gerbang pabrik mesin. Makanya begitu gede dia seneng banget sama yang namanya mesin. Ketika dia melihat sebuah mesin seperti melihat belahan jiwanya sendiri.

Karena kecintaannya akan mesin, ketika ngumpul bareng dia masih suka bahas masalah mesin. Masalahnya, sebagian besar dari anak kos kurang paham soal permesinan. Apalagi kalau dia sudah mulai bawa-bawa istilah dan teori yang njlimet soal mesin. Mending pamit ke kamar mandi deh.

Namun, dibalik kemampuan alamiahnya tentang permesinan, ada hal yang sama sekali kurang sesuai dengan itu semua. Dia suka percaya soal mitos dan hal klenik lainnya. Serial favoritnya pun seperti Siluman Ular Putih, Misteri Gunung Merapi atau Tutur Tinular. Mungkin dia kurang paham kalau ditanya soal superhero fiksi ilmiah seperti Spiderman, Batman, Iron-man, Hulk dan teman-temanya. Tapi kalau ditanya tentang film favoritnya seperti diatas, mulai dari nama tokoh, alur cerita, silsilah keturunan tokoh sampai nama-nama jurus yang dipakai dia hafal semua. Terkadang sambil dicontohkan pula.

Pernah pas kita nonton pertandingan sepakbola rame-rame. Dimana salah satu penjaga gawangnya hebat banget sampai tidak ada bola yang masuk ke gawang meskipun diserang habis-habisan. Tiba-tiba dia ngomong..

"Kim. Tau nggak kenapa nggak ada bola yang masuk ke gawang?"

"Kenapa?"

"Soalnya gawangnya sudah dikencingi sama penjawa gawangnya. Makanya nggak ada bola yang masuk."

"Emangnya itu gawang toilet apa, pakai dikencingi segala."

“Biasanya seperti itu. Biar ada kekuatan yang ikut jaga gawangnya bla..bla..bla.."

Kalau sudah seperti ini mending buru-buru pamit ke kamar mandi dah.

***

“Gambar pohonnya harus bagaimana, Hen?"

"Pertama, harus jelas yang kamu gambar itu pohon apa. Pohon mangga, pohon apel, pohon rambutan atau apalah. Kedua, jelas juga bagian-bagian dari pohon itu sendiri mulai dari batang, cabang, dahan, ranting, bentuk daun, berapa jumlah daun dalam satu tangkai. Pokoknya jelas itu gambar pohon apa. Kalau kurang jelas lihat pohon mangga di depan kosan tuh."

Memang Heni ini bisa dibilang mahasiswa tingkat akhir di kosan yang menyandang predikat sebagai Job Seeker bahkan levelnya bisa naik menjadi Job Hunter karena saking seringnya bolak-balik menjalani rangkaian tes pekerjaan.
Makanya dia sampai hafal beberapa teknis dalam menjalani rangkaian tersebut. Disini pengalaman yang berbicara. Saya dan Rendra hanya mengangguk.

“Oh, coba dulu deh."

"Kamu nggak ikutan sekalian, Kim. Itung-itung persiapan biar nggak kaget nanti."

"Boleh-boleh. Minta kertas sama pulpen. Oia, terus kalau gambar orang ada ketentuan juga nggak?"

“Ada. Nggak boleh gambar orang kartun atau anime. Harus jelas juga bagian-bagian yang digambar. Biasanya sih gambar orang yang sedang melakukan suatu kegiatan. Sudah, coba aja dulu nggak usah banyak tanya."

Saya dan Rendra mengangguk.

Suasana mendadak hening. Dari awalnya ngobrol kini menjadi seperti perlombaan menggambar anak-anak. Yang membedakan hanya para peserta semuanya terlihat serius. Karena hasil gambar bukan untuk diambil siapa yang jadi pemenangnya. Namun, untuk bisa mengukur kemampuan menggambar kita dengan segala ketentuan yang ada. Singkatnya, menggambar ini adalah simulasi untuk mendapatkan pekerjaan. Untuk masa depan kita.

Harus serius.

Saya pun memulai menggambar. Tentunya dengan segenap kemampuan saya yang ada. Tangan saya mulai mencorat-coret kertas, melakukan perintah otak untuk menggambar sebatang pohon dan seorang manusia. Saya sangat serius dalam latihan ini. Selembar kertas saya bagi menjadi dua bagian dengan sebuah garis horizontal di tengahnya. Di bagian atas saya akan gambar pohon beringin, terus di bagian bawah saya akan gambar orang yang sedang hormat bendera.

Pertama saya menggambar pohon. Saya tarik dua buah garis vertikal yang hampir sejajar sebagai bagian batangnya. Kemudian saya kasih dahan, ranting dan daun yang rimbun ditasnya. Sepintas kalau dilihat mirip seperti rambut kribo. Tangan saya bergerak cepat menjalankan perintah dari otak untuk menggambar setiap detail bagian-bagiannya. Itu juga yang saya lakukan untuk gambar kedua saya, seseorang yang sedang hormat kepada bendera. Namun, begitu sebagian gambar sudah hampir selesai, yang awalnya pengen gambar pohon malah nggak jelas itu pohon atau bukan.  Apalagi gambar manusianya, lumayan horor hasilnya.

Sekali lagi, mungkin hanya saya dan saya sendiri yang bisa mengerti apa yang saya gambar. Saya cuma bisa geleng-geleng.

***

Ketika duduk di kelas 2 SD, saya hanya bisa menggambar salah satu tokoh kartun favorit saya, Doraemon. Setiap pelajaran menggambar saya selalu menggambar doraemon. Itu juga saya lakukan dengan cara menebali sampul buku tulis saya dengan pensil tepat diatas buku gambar. Nah, sisa-sisa guratan pensil di buku gambar langsung saya tebali lagi terus diwarnai dengan crayon.

Selesai.

Guru yang mengajar pun lumayan puas dan belum curiga terhadap cara yang saya lakukan tersebut karena kebetulan semua buku tulis saya bergambar doraemon. Mulai dari doraemon terbang pakai baling-baling bambu, lagi melet, makan kue dorayaki, main sama nobita, dan masih banyak lagi. Alhasil, setiap gambaran saya berbeda satu dengan yang lain, meskipun aktor utama tetap satu, Doraemon.

Namun, kebahagian dalam menggambar nampaknya hanya bertahan selama setahun. Begitu naik kelas tiga, Bu Puji yang menjadi wali kelas rupanya sudah hafal dengan kebiasaan saya tersebut.

"Baiklah, untuk pelajaran menggambar kali ini kalian boleh menggambar apa saja sesuka kalian. Bisa pemandangan, hewan, olahraga, taman atau apa saja. Pokonya bebas. Setelah selesai langsung dikumpulkan di meja saya. Mengerti semua?"

“Mengerti, Bu."

Bu Puji langsung menatap dan berjalan ke arah bangku saya. Dan mimpi buruk itu ternyata benar-benar ada dan bisa terjadi.

“Dan kamu, Rudi. Nggak ada lagi gambar-gambar doraemon. Cukup setahun saya kamu kasih gambar doraemon jiplakan itu. Kalau seperti itu terus yang kamu lakukan, kapan kamu bisa mengasah kemampuan menggambar kamu. Kamu harus berusaha semaksimal mungkin atas kemampuan kamu. Mengerti?"

“Iya, Bu..”

"Baiklah. Kamu mau menggambar apa kali ini?"

"Bebek, Bu.."

"Bagus. Silakan memulai."

Menggambar bebek adalah pilihan yang pas untuk saat ini. Karena selain menjiplak gambar dari sampul buku tulis, saya hanya bisa menggambar bebek yang ilmunya saya dapatkan sewaktu duduk di bangku taman kanak-kanak. Dimulai dengan menulis angka dua yang besar di buku gambar, kemudian ditambah bulatan sebagai perut, dua buah sayap, kepala juga mata, dan yang terakhir dua buah garis sebagai kakinya. Selesai.

Sederhana bukan. Dan itulah kenapa saya bisa.

Begitu seluruh siswa mengumpulkan hasil gambarnya di meja guru, kini saatnya menunggu giliran untuk dipanggil satu per satu untuk mengambil hasil gambarnya yang sudah diberi nilai. Tidak berapa lama nama saya pun dipanggil. Saya pun bergegas mendekat ke meja guru dengan senyum percaya diri karena saya berhasil menggambar bebek, bukan doraemon lagi.

"Jadi ini gambar bebek yang kamu janjikan tadi?"

"Benar, Bu."

"Ini kan pelajaran menggambar bebek untuk anak tingkat TK yang dimuai dengan angka dua."

"Tapi saya sudah berusaha semaksimal mungkin."

Bu Puji hanya geleng-geleng. Senyum saya pun langsung berubah kecut.

Mulai saat itu pelajaran menggambar seperti panci presto. Penuh tekanan. Buku gambar saya pun penuh dengan gambar-gambar bisa dibilang cetek. Mulai dari gambar dua gunung yang ditengahnya ada matahari terbit, sebuah kotak panjang dan dua buah lingkaran yang saya klaim sebuah bus, dan sebuah lingkaran besar dan lingkaran kecil ditengahnya yang saya namai kue donat.

Parah.

***

"Nih, punyaku udah jadi. Fiuh.."

"Coba lihat?"

Buru-buru saya dan Heni melihat hasil gambar Rendra. Terlihat gambar seorang pak tani sedang menanam padi juga sebatang pohon mangga lengkap dengan buahnya yang bergelantungan beberapa buah. Meskipun hasilnya tidak terlalu bagus, saya dan heni sudah mengerti apa yang digambar oleh rendra.

"Lumayan. Tapi masih kurang...bla..ba..bla."

Heni kalo ngasih penilaian panjang bener. Untung yang digambar cuma pohon sama orang. Mungkin kalo ditambah dengan setan, penjelasannya bakal lebih panjang lagi dari sekarang.

"Punyamu mana, Kim?"

Saya langsung pasang tampang cool. Pura-pura berhasil menyelesaikan tantangan ini. Padahal ragu juga kalo melihat hasilnya.

"Nih.."

Mereka berdua langsung melihat bersamaan. Nampak mereka mengernyitkan dahi. Mungkin mencoba menerka gambar apa yang mereka lihat saat ini. Lama mereka mengamati sampai keluar sebuah suara.

"Gambar apa ini?"

"Pohon mangga sama orang lagi hormat. Cuma benderanya belum selesai."

"Serius? Kok nggak mirip ya?"

"Masa sih?"

Perasaan saya mulai nggak enak. Sebagai orang yang beberapa tahun tinggal bersama dalam satu kos, saya paham betul kebiasaan mereka. Paling nggak kalo mereka sudah mengeluarkan banyak pertanyaan. Endingnya pasti bakal nge-bully.

"Mana ada pohon kok bulet gitu bentuknya."

"Jenis bonsai mungkin."

"Ah, ini sih nggak mirip orang sama pohon. TAPI LEBIH MIRIP ORANG-ORANGAN SAWAH SAMA SIKAT WC YANG DIBALIK!"

Jlebb!

Dugaan saya tepat. Nggak kira-kira kalo ngatain karya orang.

Tapi setelah saya perhatikan, saya juga percaya kalo gambar ini lebih mirip orang-orangan sawah dan sikat wc yang dibalik, daripada gambar orang dan sebuah pohon mangga.

Setelah acara gambar itu selesai, saya kembali ke kamar. Melihat kembali hasil gambar saya. Saya jadi berfikir, jika untuk mendapatkan pekerjaan harus ada tes menggambar seperti ini, lantas pekerjaan apa yang bakal saya dapatkan dengan gambar orang-orangan sawah dan sikat wc yang terbalik ini?

Malang, 2012.

Monday, 27 February 2017

Menuntut!

Jangan menuntut Tuhan karena permintaanmu terlambat dikabulkan. Namun, tuntutlah dirimu karena terlambat melaksanakan kewajiban.

(Ibnu Atha'illah al Iskandari)

Sabar

Sabar itu diusahakan dan dibiasakan.

Sabar bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti sabar saat kehilangan sabun cuci, sampai sabar saat kehilangan tambatan hati. Karena sabar adalah amalan yg tak terhitung pahalanya. Ya, karena saking beratnya.

Maka dari itu, bersabarlah..baik dalam mengerjakan ibadah, dalam setiap doa-doa kita, dalam menahan nafsu maksiat kita, termasuk juga sabar dalam menerima qadha & qadar kita.

Jangan sampai karena kurang bersabar, kita tidak bisa mengendalikan nafsu, amarah, dan prasangka baik. Yang itu semua bisa membuat rugi diri kita sendiri, terlebih sampai membuat Allah marah kepada kita. Karena kemarahan Allah tidak hanya berupa musibah, cobaan, dan lain sebagainya. Tapi juga menutup hati kita. Ya, menutup hati kita dari hidayah dan keberkahanNya.

Maka bersabarlah teman, sekalipun itu berat. Bersabarlah..

"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
(Al-Baqarah : 153)

Sekarang

Sekarang?

Iya, orang-orang sekarang..

Menerima informasinya setengah-setengah, pahamnya seperempat, mikirnya nol, tapi komentarnya berkali-kali lipat.

Tidak semuanya. Tapi kebanyakan.

Thursday, 18 February 2016

Kapan?

Terkadang hidup itu seperti ini, lepas dari pertanyaan kapan yang satu, masuk ke pertanyaan kapan yang lainnya. Dan saking seringnya ditanya, kita jadi sekenanya menjawab : kapan-kapan.

Ketika saya belajar ilmu jurnalistik, setidaknya ada 5 pertanyaan yang harus diajukan untuk membuat sebuah berita. Kita mengenalnya dengan 5W1H, yaitu what, who, where, when dan how. Dalam bahasa Indonesia yang berarti : apa, siapa, dimana, kapan dan bagaimana. Ketika lima pertanyaan tersebut sudah terjawab, setidaknya sebuah berita menjadi layak untuk diberitakan.

Apa menayakan kejadian yang terjadi, siapa itu menjelaskan pelaku, dimana menayakan tempat, kapan menanyakan waktu, dan bagaimana menanyakan kronologis kejadian.Saya tidak membahas semua kata tanya tersebut, karena disini saya akan membahas kata yang digunakan untuk menanyakan waktu, yaitu “kapan?”

Saat kita masih kecil, pertanyaan “kapan” mungkin sama seperti kata tanya lainnya yang dengan mudah kita jawab. Misalnya,

Kapan liburan?
Kapan main bareng lagi?
Kapan masuk sekolah?

Jawab saja : besok, minggu depan, bulan depan.

Mudah bukan.

Namun, begitu kita beranjak dewasa, “kapan” adalah salah satu kata tanya yang mungkin membuat kita resah dan terkadang sulit untuk menjawabnya. Terutama jika itu menyangkut dengan hal-hal yang kita sendiri juga belum bisa memberikan jawaban pasti. Seperti,

Kapan lulus?
Kapan kerja?
Kapan nikah?
Kapan punya anak?

Sebenarnya kita bisa saja dengan mudah menjawabnya seperti, besok, tahun depan, atau setelah pemilu.

Mudah bukan.

Tapi yang terjadi kadang bisa sebaliknya, dan sambil tersenyum kecut kita menjawab : kapan-kapan.

Kapan Lulus?

Kita maunya lulus tepat waktu, kalo bisa 7 semester sudah bisa lulus kuliah. Tapi apa daya pada akhirnya baru lulus setelah 7 tahun. Targetnya 7 semester, realisasinya 7 tahun, sama-sama angka tujuh tapi ternyata beda satuan.

Rasanya juga beda.

Agak pedih.

Mereka bisa dengan mudah menyanyakan “kapan lulus?”, tapi mereka nggak tau bagaimana kita berusaha keras untuk bisa menjawabnya. Berlama-lama di perpus, judul yang berganti-ganti, begadang di depan laptop, penelitian kesana kemari, ditinggal dosen ke luar negeri, ditinggal pacar, revisi bertubi-tubi, sempat putus asa. Sampai akhirnya mendengar kalimat sakti dari dosen pembimbing,

“Ini semester terakhir kamu, kalo skripsimu belum juga selesai kamu terpaksa DO!”

dan mau gak mau kita kembali mengumpulkan semangat untuk bisa mencapai tujuan kita di awal, kalo tidak bisa lulus 7 semester setidaknya masih bisa lulus kuliah. Itu saja.

Ya, terkadang target juga mengalami revisi.

Begitu kita berhasil lulus kuliah, begitu nafas kita kembali normal, dan tidur kita lumayan nyenyak, mereka kemudian mengajukan pertanyaan berikutnya. Kapan kerja?

Kapan Kerja?

Baru juga bisa bernafas lega setelah berhasil lulus kuliah, orang-orang sekitar sudah punya pertanyaan baru yaitu : kapan kerja?

Memang sehabis lulus kuliah kita sudah seharusnya masuk dunia kerja, tapi bagaimana dengan mereka yang sudah lulus lama tapi masih belum dapat kerja? Bukan berarti mereka semua malas mencari kerja, kadang yang terjadi malah sebaliknya, mereka sudah berkali-kali memasukkan lamaran kerja, bikin cv banyak, ikut tes sampai wawancara, tapi pada akhirnya nggak diterima juga. Yang pada awalnya masih level job seeker kini naik levelnya menjadi job hunter.

Belum lagi kalo dibandingan dengan orang lain, teman seangkatan yang sudah bekerja, bajunya rapi, pakai dasi, sambil bilang,

“Lihat tuh Paijo, sudah bekerja. Dasinya tiap hari gonta-ganti, kamu kapan kerja?””

Pedih.

Saya jadi ingat celetukan Om Indro Warkop pas ditanya soal lapangan kerja di Indonesia, dengan santai dia bilang,

“Sebenarnya lapangan pekerjaan di Indonesia itu banyak banget. Misalnya nyapu jalan, mangkas rumput liar, bersihin kali, macem-macem lah. Cuma masalahnya satu. Enggak ada yang gaji. Kalo lapangan pekerjaan mah banyak, situ mau kerja apa saja silakan. Tapi ya itu, yang ngasih gaji nggak ada.”

Bersyukurlah bagi kalian yang sudah bekerja, apapun pekerjaan itu. Setidaknya kalian sudah punya penghasilan sendiri untuk bisa membeli makanan dan minuman bergizi, agar badan sehat dan kuat, terlebih ketika menghadapi pertanyaan selanjutnya yaitu : kapan nikah?

Kapan Nikah?


Bagi sebagian orang mungkin pertanyaan tersebut terdengar sederhana. Namun bagi sebagian orang lainnya, pertanyaan tersebut terdengar tidak sederhana. Tidak sesederhanya mereka menjawab : besok, dua bulan lagi, atau tahun depan. Karena kita juga nggak tau apa yang sedang mereka perjuangkan untuk mencari jawabannya. Bisa saja mereka sedang berjuang dari patah hati yang hebat, berjuang menerima kenyataan bahwa kekasihnya memilih orang lain karena restu orang tuanya, berjuang karena usia yang semakin bertambah namun pasangan masih belum ada, atau sedang berjuang karena keyakinan yang berbeda.

Itu yang saya bilang nggak sederhana.

Menikah itu impian banyak orang, setiap orang pasti pengen menikah dan membina rumah tangga. Tapi itu kapan? Kita hanya bisa berencana, kepastiannya hanya Tuhan yang tau.

Dalam hidup saya percaya bahwa ada hal yang memang bisa diperjuangkan, dan ada pula hal yang sudah ditetapkan yang nggak akan berubah meskipun sudah kita perjuangkan. Saya percaya bahwa jodoh, rezeki dan kematian itu adalah hal yang sudah ditetapkan. Kalo bukan rezeki kita ya gak bisa kita miliki, kalo bukan waktu kita mati ya kita belum bisa mati, kalo bukan jodoh kita ya gak akan bisa bersama, sekalipun kita sudah menjaga dan berjuang bersama. Kita bisa saja berusaha dan berjuang sekuat tenaga, namun bila akhirnya hal itu nggak bisa menjadi milik kita, ya kita harus bisa menerima dan menyadari bahwa itu semua sudah menjadi ketetapan Tuhan.

Seperti lagunya Sheila On 7, kau harus bisa berlapang dada.

Menerima itu bukanlah sebuah pekerjaan mudah, apalagi menerima hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan kita. Tetapi dengan menerima, kita akan belajar bahwa tidak semua harapan kita akan bisa menjadi kenyataan, kadang yang terjadi justru sebaliknya. Tapi percayalah, ketika kita bisa menerima itu semua, kita akan menjadi orang yang lebih dewasa dalam menyikapi semua. Termasuk dewasa dalam menyikapi pertanyaan selanjutnya : kapan punya anak?

Kapan Punya Anak?

Saya masih suka bingung dengan alasan orang yang suka nanya : kapan punya anak?

Kalo keluarga masih okelah, terlebih kedua orang tua yang mungkin sudah ingin menimang cucu. Tapi kepada teman yang ketemu saja jarang, sekali ketemu di resepsi pernikahan, terus dua bulan kemudian dengan gampangnya bertanya : kapan punya anak?

Rasanya pengen ngasih les biologi, biar dia tahu kalo usia janin itu sekitar 9 bulan, belum waktu bikinnya, belum lihat berbagai tutorialnya, jadi ya lumayan lama. Kecuali kalo sebelum nikah udah nabung duluan. Itu beda.

Lupakanlah.

Ada juga yang pas lebaran, terus di depan banyak orang dengan santai bertanya,

“Markonah, kamu kapan punya anak? Masa sudah bertahun-tahun masih seneng berduaan terus. Lihat dong, aku aja udah punya sepuluh. Ini mau bikin satu lagi, rencanya yang ini mau dijadikan penjaga gawang. Biar pas sebelas. Kesebelasan.”

Dan dengan senyum yang dipaksakan mereka biasanya menjawab,

“Pengen sih. Doakan saja…”

Rasanya nggak tega melihat seorang perempuan menjawab seperti itu saat ditanya : kapan punya anak?

Ya, kapan punya anak? Sebuah pertanyaan sederhana, mungkin sekedar basa-basi, tapi bisa jadi penghakiman yang luar biasa kepada mereka yang sudah menikah lama namun belum juga mendapat karunia anak. Mungkin mereka sudah mencoba segala cara, dari yang medis sampai mistis. Tapi toh sekali lagi, kita hanya bisa berusaha sekaligus berdoa semampu kita, selebihnya itu bagian Tuhan.

Sampai ketika saya bertemu dengan Sari, teman sekolah dulu saat buka puasa bareng. Sebelum pulang, di parkiran banyak anak-anak kecil yang berlarian, dia melihat kemudian tersenyum, karena penasaran saya akhirnya bertanya..

“Kenapa lihat anak kecil lari-lari malah senyum?”
“Gak tau kenapa kalo lihat anak kecil itu di hati rasanya maknyes..”
“Maknyes gimana?”
“Makanya kamu itu cepet lulus kuliah, terus kerja, terus nikah baru nanti kamu apa yang aku rasain sekarang. Masa yang lain sudah sibuk nyari pendamping kamu masih sibuk nyari dosen aja. Udah ah, aku balik duluan sama suami. Dagh..”


DEG!

Saya cuma diam di atas motor setelah mendapat kalimat combo. Yah, tiga tahun yang lalu saya datang ke nikahan dia, dan sekarang mereka masih berdua. Sebelum pulang saya minum mizone dingin dari dalam tas, begitu mengalir melewati tenggorokan rasanya maknyes..

“Oh..rasanya seperti itu.”

Tapi ini maknyes di kerongkongan, bukan maknyes di hati seperti yang Sari bilang.
…………….

Pesan saya sih, jangan sering-sering bertanya,

Kapan lulus?
Kapan kerja?
Kapan nikah?
Kapan punya anak?

Kepada mereka-mereka yang sedang berjuang untuk mencari jawabannya.

Ngasih semangat sih nggak apa-apa asal jangan seperti menghakimi. Karena dibalik setiap jawaban di atas, selalu ada perjuangan, doa, rasa putus asa dan bahkan air mata yang terkadang kita nggak pernah tau karena mungkin selalu ditutupi dengan senyum dan tawa, meski itu hanya pura-pura.

Jadi, sudah berapa pertanyaan “kapan” yang bisa kamu jawab?