Saya adalah salah satu dari sekian banyak mahasiswa yang sekarang sedang berada di semester tujuh.
Berbicara soal semester tujuh adalah berbicara tentang sebagian akhir cerita dari kehidupan kita di kampus. Menurut saya, semester tujuh adalah kondisi dimana sudah dapat dikategorikan kedalam semester “stadium akut”, walaupun resiko bahayanya tak sebesar dengan semester-empat-belas, tapi berada di semester tujuh sudah membuat sebagian besar mahasiswa merasa tertekan di dalamnya. Mereka semacam tertekan oleh dua hal : akademis dan psikologis.
Mari kita telaah bersama.
Pertama, tertekan secara akademis adalah kondisi dimana kita harus disibukkan dengan segala macam urusan terkait dengan “mahakarya” terakhir kita bernama skripsi. Mulai dari memilih judul yang tepat, bersabar menunggu dosen untuk bimbingan, dan mulai terbiasa “nongkrong” di perpus untuk melakukan sejuta jurus “pedekate” dengan berbagai macam jenis buku yang mungkin belum pernah kita lakukan sebelumnya.
Bagi mahasiswa yang termasuk “strata akademis tinggi”, hal seperti itu bukan lagi merupakan suatu masalah berarti bagi mereka. Karena pada dasarnya rutinitas mereka s
etiap hari ketika berada di kampus juga nggak pernah jauh dari kegiatan tersebut. Mulai dari baca buku di perpus, mengerjakan tugas kuliah, diskusi dengan teman sekelas, dan masih seabrek lagi kegiatan mereka. Mungkin para mahasiswa “strata akedemis tinggi” sudah mengetahui kondisi atau paling tidak punya gambaran bagaiamana nanti jika harus berurusan dengan “mahakarya” terakhir mereka masing-masing. Oleh karena itu, jauh-jauh hari mereka telah mempersiapkannya dengan matang dan terencana.
Tetapi bagi mahasiswa yang strata akademisnya dapat dianalogikan sebagai “rakyat jelata”, berada di semester tujuh adalah neraka bagi mereka. Jangankan harus berurusan dengan BPN (buku, perpus dan nunggu), diperbolehkan masuk kelas dan duduk dengan tenang saat berlangsungnya kuliah sudah menjadi kebanggaan bagi mereka. Karena pada dasarnya mahasiswa dengan strata akademis “rakyat jelata” ini kurang begitu akrab dengan kegiatan akademis mahasiswa pada umumnya. Mereka terbiasa dengan kondisi santai kaya berjemur di pantai, tenang kaya ngambang di selokan, dan makmur kaya pas nyemplung sumur. Oleh karena itu, ketika berada di semester tujuh, strata merekalah yang paling tidak siap ketika harus menghadapi kenyataan. Mereka cenderung tidak siap dengan akhir dari perjalanan cerita mereka. Apalagi jika ditambah dengan berbagai beban target yang harus dicapai seperti nilai IPK kumlot, lulus dalam waktu 3,5 tahun atau apalah targetnya. Terlepas siapapun yang telah memberikan target tersebut, yang jelas mereka tertekan secara akademis.
Kedua, tertekan secara psikologis adalah dimana ketika kita disibukkan dengan mencari pendamping saat foto wisuda. Perlu diperjelas disini, bahwa pendamping foto wisuda yang dimaksud bukanlah orang tua, saudara, atau teman sejawat, bukan itu semua. Kalau dengan mereka sudah merupakan suatu keharusan dan tidak perlu dicari lagi keberadaannya. Akan tetapi yang dimaksud adalah pendamping foto wisuda yang setidaknya bisa dijadikan kenangan sekaligus cerita untuk anak cucu kita nantinya.
Ada semacam fenomena menarik ketika memasuki semester tujuh, terlebih bagi mahasiswa yang sedang berada di dalamnya. Bisa dibilang semester tujuh adalah semester kawin bagi para mahasiswa, dimana banyak ditemukan para mahasiswa yang mulai sibuk untuk mencari pasangan, entah itu untuk foto pendamping wisuda atau alasan lainnya. Sudah seperti musim kawin beruang ketika selesai masa hibernasi di musim dingin. Ramai.
Bagi mereka yang telah mendapatkan pandamping foto wisuda tentu tekanan psikologis yang mereka rasakan saat semester tujuh tidak sebesar mereka yang belum memiliki pasangan foto pendamping wisuda. Jika para mahasiswa yang belum mempunyai pasangan cenderung bergeriliya siang malam untuk mencari pendamping poto wisuda, bagi mereka yang telah memiliki mulai melakukan hal yang membuat “mereka” yang belum punya pasangan menjadi semakin gerah. Hal itu adalah : merilis foto bersama pasangan di jejaring sosial. Sudah semacam melakukan foto prawedding stratanya. Ironis.
Adanya istilah STMJ (semester tujuh masih jomblo) di kalangan para mahasiswa telah membuat para mahasiswa semester tujuh semakin tertekan secara psikologis. Anehnya, tekanan psikologis ini tidak membeda-bedakan jenis kelamin maupun “strata akademis” mereka, mau pria, wanita, pintar, atau lumayan pintar, bagaimanapun keadaan mereka, tekanan psikologis dapat menghampiri mereka kapan saja.
Ah, semester tujuh. Aku padamu..
No comments:
Post a Comment