Friday 14 June 2013

Selembar Kertas Kusut..

“Kamu kok aneh sih?”

Entah sudah berapa banyak orang yang bilang kalo saya ini aneh. Saya nggak tahu berapa jumlah resminya, karena pihak BPS nggak pernah ngasih data pas diminta. Yang jelas banyak. Berawal dari beberapa teman saya di SMA sampai sekarang jadi mahasiswa. Mereka sering nyeletuk, “kamu kok aneh sih?”. Satu, dua, tiga orang bilang seperti itu saya cuek saja. Tapi semakin lama satu, dua, tiga orang tadi berubah jadi puluhan jumlahnya. Sekarang hampir setiap orang yang mengenal saya bilang seperti itu.

Apa yang salah dengan saya?

Saya jadi bingung. Saya manusia, jenis kelamin laki-laki (dilihat dari gambar), doyan makan, suka sama cewek, punya SIM dan KTP, punya seragam sekolah, makan juga nasi. Terus anehnya dimana? Saya mau bertanya tapi bingung kemana..

Saya teringat Ebit G Ade pernah berkata dalam liriknya, “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.” Nah, saya coba saran itu dan segera mencari tanah lapang dimana terdapat banyak rumput disana. Setelah ketemu rumput, saya mencoba bertanya pada mereka. Satu, dua, tiga kali saya bertanya tapi rumput itu tidak menjawab, hanya bergoyang. Ternyata rumput memang nggak bisa ngomong, hanya bisa bergoyang. Terus kenapa tadi saya bertanya? Saya merasa bego. Sebagai seorang akademisi saya merasa gagal.

Salah satu teman saya bilang, “Tanya sama diri kamu sendiri, kenali diri kamu sendiri!”

Saya berfikir bagaimana caranya bertanya pada diri sendiri? Oh, iya pakai cermin. Kalo kita bercermin, kita bisa melihat diri kita sendiri di dalam cermin. Oke, saya langsung berdiri di depan cermin. Satu, dua, tiga kali saya bertanya, tapi bayangan di dalam cermin malah ikut-ikutan nanya balik. Saya coba lagi terus bertanya. Lama di depan cermin sampai cerminnya bosan. Tapi dia nggak ngasih jawaban. Malah ikut-ikutan bertanya. Kampret!!

Saya kembali bingung.

Sampai saya menemukan selembar kertas kusut yang terselip di dalam sebuah buku pas beres-beres. Iya, selembar kertas kusut yang saya corat-coret pas masih menjadi mahasiswa baru. Selembar kertas kusut yang mungkin sengaja saya simpan. Selembar kertas kusut yang sedikit memberikan jawaban atas pertanyaan, “kok kamu aneh sih?”

***

Saya masih ingat betul, pertengahan tahun 2008 saat masih berstatus mahasiswa baru. Saya mengikuti hampir seluruh kegiatan ospek di kampus. Sebenarnya semua kegiatan tersebut bisa ditebak arahnya bakal kemana, kan namanya juga “pengenalan kehidupan kampus”. Apalagi ospek di fakultas saya berlangsung selama satu semester, dan saya termasuk angkatan pertama sebagai percobaan. Lumayan kampret sih. Kalo dipikir paling dari baca buku, lihat peraturan, tanya kakak tingkat semua pasti kelar. Bisa saja semua itu saya lakukan dan nggak harus capek-capek bangun pagi buta, berpanas ria, dan baru pulang saat matahari sudah lenyap. Tapi satu hal yang nggak bakal saya peroleh kalo memutuskan seperti itu. Saya nggak akan punya kenangan tentang masa itu.

Pas ospek kami dibagi per pleton barisan. Suatu saat di pleton saya hanya 4 orang saja yang hadir, kalo formasi lengkap sekitar 30 orang. Hal itu juga terjadi pada pleton lain. Mungkin pada bosen dan males, makanya acara ospek yang total peserta 1200 lebih berasa semacam konser besar yang nggak laku. Karena panitianya lebih banyak daripada penonton yang datang.

Sepi.

Saat itu mentor (pendamping) saya mengadakan game untuk “menghibur” empat orang anak yang telah sok rajin dan “rela” hadir di hari itu, termasuk saya. Mas Faris (mentor saya) menyuruh kami semua mengambil selembar kertas. Pokoknya selembar kertas, bagaimana pun cara kami mendapatkan, apakah dengan cara halal atau haram yang penting siapakan selembar kertas. Waktu itu saya minta kepada teman, karena nggak bawa apa-apa. Modal saya ke kampus cuma dua : nyawa sama papan nama.

Sambil posisi duduk Mas Faris menjelaskan peraturannya. Selembar kertas itu dibagi dua bagian. Bagian atas untuk menggambar sedangakan bagian bawah dibagi lagi mejadi dua kolom. Kemudian memberikan instruksi yang hanya sekali diberikan, tanpa diulangi lagi.

“Dibagian atas, silakan kalian gambar sosok manusia. Terserah kalian. Bebas. Nah, kolom sebelah kiri kalian isi dengan 4 kelebihan gambar kalian, dan yang kanan kalian isi dengan 4 kekurangan gambar kalian. Waktu menyelesaikan hanya satu setengah menit. Nggak ada perpanjangan. Jadi, selesai tidak selesai harus dikumpulkan. Oke, waktu dimulai!”

Tiga orang teman saya buru-buru menggambar, dan saya buru-buru mengambil pulpen dari tangan Mas Faris dengan paksa kemudian buru-buru ikutan menggambar. Kertas saja minta apalagi pulpen. Kan sudah saya bilang, saat itu modal saya ke kampus cuma dua : nyawa sama papan nama.

Menggambar di kejar waktu itu rasanya nggak enak banget. Nggak jauh beda pas boker tapi diluar ada yang terus gedor-gedor pintu. Jadi kurang khusyuk. Apalagi Mas Faris berdiri sambil teriak kalo waktu sudah mau habis.

“30 detik lagi...20 detik lagi..”

Menjelang sepuluh detik terakhir, hasil gambar saya selesai. Saya menggambar seorang nenek penjual jamu gendong, bawa tongkat. Ya, apapun hasilnya saya mengganggap itu gambar orang. Lantas buru-buru saya mengisi dua kolom dibawahnya. Otak saya mampet, detak jantung meningkat, keringat dingin keluar, tangan semakin pegel.

“3 detik lagi..”

Saya isi apa yang terlintas di kepala.

“Stop. Waktu habis!!”

Otak saya kram. Kampret!!

Kemampuan menggambar saya memang cetek. Apalagi ini waktunya cepet banget, ditambah mengisi ini itu pula. Perpaduan yang pas untuk membuat otak serta tangan kram. Awal masuk SMP saya pernah menulis surat cinta, biar lebih keren saya kasih gambar hati warna merah. Tapi pas saya kasih malah dikira gambar apel di pasar. Payah. Sebagai penggemar rubrik gambar di Majalah Bobo saya gagal.

Setelah menerima hasil gambar kami semua, Mas Faris tersenyum. Semacam senyum puas melihat hasil kebrutalan 4 mahasiswa baru yang “sok rajin”. Sok rajin karena mahasiswa lain pada bolos ospek, eh malah nongol di kampus. Kemudian menjelaskan maksud dari kebrutalan barusan.

“Jadi game tadi adalah untuk mengenal diri sendiri. Karena saat kita terdesak, kita akan menampilkan diri kita sendiri. Kalo masalah gambar itu imajinasi kalian. Nah, kalo yang kalian tuliskan di kolom kelebihan dan kekurangan, kemungkinan besar itu ya kelebihan dan kekurangan kalian sendiri.” kata Mas Faris kemudian menyerahkan hasil karya kebrutalan kepada kami sambil menahan tawa.

Berarti dia mengetahui kelemahan saya. Sial!

Saya langsung melihat selembar kertas hasil minta-minta sama teman yang sekarang sudah terisi coretan hasil kebrutalan. Gambarnya lumayan ancur. Apakah saya juga ancur?? Entahlah..


Saya membaca kedua kolom yang dibawah, kelebihan dan kekurangan. Di kolom kelebihan tertulis : GAMBAR SUPERHERO, PEJUANG, KREATIF, PANTANG MENYERAH.


Sedangkan di kolom kekurangan tertulis : GAK JELAS, BIKIN BINGUNG, KASIHAN, PAS!!. Saya diam memandangi selembar kertas itu. Dari keduanya, saya lebih percaya apa yang tertulis di kolom kekurangan. Absurd banget.


Selembar kertas itu langsung saya simpan sampai sekarang.

Pernah juga saya melakukan permainan ini ketika diminta mengisi pembekalan kepada panitia ospek baru. Masih dengan peraturan yang sama mulai selembar kertas, dua bagian, dua kolom, satu setengah menit. Saat mereka mengisi selembar kertas, sengaja saja berjalan sambil melihat apa yang mereka gambar dan tulis.

Dari gambar saya menjumpai Naruto, Son Go Ku, sampai jin botol. Saya tertawa. Saya terpaksa geleng-geleng melihat salah seorang dengan pede menuliskan kata : Macho, Cool, Keren, Cakep di kolom kelebihan. Pas saya lihat mukanya kayak (maaf) muntahan biawak. Juga nahan ketawa pas ada cowok nulis kata : Banci, Maho di kolom kekurangan. Andai dia tahu telah menyebarkan aib sendiri.

That’s a game!

Terlepas dari permainan itu, terlepas dari itu semua, paling tidak saya sedikit tahu kenapa banyak orang yang bilang saya ini aneh. Mengetahui kelebihan dan kekurangan itu memang penting untuk menjalani hidup ini. Namun bagi saya pribadi, lebih penting mengetahui kelemahan kita lebih awal daripada kelebihan. Mencari kelebihan itu gampang karena kita sendiri yang menentukan. Tapi untuk mencari kelemahan, kadang kita perlu kebesaran hati untuk menerima pernyataan dari orang lain yang bisa saja pedas, nggak ngenakin, dan bikin kesal, padahal itu jujur.

***

“Mas, kamu kok aneh sih?”
Ah, sudahlah....

No comments:

Post a Comment