Thursday 19 September 2013
a Moment to Remember
Entah kenapa menjalani episode kehidupan dengan predikat sebagai anak kos itu selalu menarik untuk diceritakan.
Yap, anak kos. Siapa sih yang nggak pernah denger istilah anak kos? Menurut saya hampir semua orang yang pernah kuliah pasti menyandang gelar ganda ketika mereka kali pertama masuk, yaitu predikat sebagai mahasiswa dan anak kos. Biasanya itu sudah satu paket. Kecuali kalo kampusnya dekat dengan tempat tinggal, terus tempat tinggal tersebut dijadikan rumah kos. Nah, itu predikatnya bukan anak kos lagi, tapi anak pemilik kos.
Itu beda.
Berbicara mengenai anak kos adalah berbicara mengenai episode yang paling nano-nano dalam hidup. Iya, karena di episode ini nggak hanya manis dan pahit kehidupan yang kita rasakan. Tapi juga asem, eneg, bahkan rasa hambar. Sebentar, setahu saya hambar itu nggak ada rasanya. Tapi kenapa istilahnya “rasa hambar”? Ah, sudahlah.
Salah satu hal yang paling dicari dalam rumah kos adalah suasana. Iya, suasana yang asyik di rumah kos adalah kemewahan tersendiri bagi seseorang yang menyandang predikat sebagai anak kos.
Itu sudah pasti.
Pernah salah satu penghuni di tempat kos saya memutuskan pindah dari villa keluarganya untuk menjadi seorang anak kos. Alasannya pun sederhana.
“Disini anaknya asyik-asyik.” katanya kepada Saya.
Padahal kalo dipikir ngapain juga sampai rela menjadi anak kos terus tidur di kamar sempit. Mengingat dia sudah tinggal di villa yang bagus, fasilitas lengkap serta kenyamanan terjamin. Ya..mungkin kondisi dan suasana di villa nggak “se-asyik” di tempat kos saya.
Ibaratnya kita lagi seneng banget kemudian lapar, terus makan nasi pecel di pinggir jalan. Sederhana sih, tapi rasannya pasti kenyang dan puas. Malah bisa-bisa kita nambah lagi satu porsi. Nah, beda kalo kita mau makan steak, tapi kepikiran belum bayar spp, motor diembat maling, terus diputusin pacar gara-gara nggak ada motor. Pasti itu steak rasanya campur nyesek. Nggak enak banget.
Hidup bersama di tempat yang sama itu juga nggak mudah. Kadang ada waktu dimana kita beda pendapat sampai beda pendapatan dengan penghuni kos lain. Tapi kalo punya teman kos yang asyik, semua perbedaan itu pasti bisa diatasi. Kalo ada berantem-berantem kecil karena beda pendapat itu wajar, namanya juga laki-laki. Kalo ada beda pendapatan ya diambil hikmahnya saja. Paling tidak ada tempat untuk minjem duit pas kena radang dompet di akhir bulan. *modus pertama*
Di tempat kos, biasanya kita akan bertemu dengan orang baru yang nantinya bakal menjadi teman, sahabat, bahkan saudara kita. Predikat teman diberikan kepada mereka yang mengenal kita biasa saja. Predikat sahabat diberikan kepada teman yang sangat dekat dengan kita, bahkan sampai dosa-dosa kita pun juga dia ngerti. Terakhir, predikat saudara diberikan kepada mereka yang merestui kita untuk menjadi adik iparnya. Terimakasih kakak ipar. *modus kedua*
Sering ngumpul bareng, sering main kartu bareng, sampai sering minjem duit bareng secara nggak langsung itu semua menjadikan kita lebih dekat satu sama lain. Dampaknya kita semua seperti punya keterikatan satu sama lain. Kalo pas seneng ya bareng, pas sedih juga bareng, pas galau juga bareng. Menikmati kegalauan bersama itu lebih menyenangkan daripada harus menikmatinya secara eksklusif sendirian. Paling nggak kita sadar, kita menjalani ini semua nggak sendirian. Masih ada mereka yang juga merasakan hal sama. Itu cukup menguatkan kita.
Meskipun sama-sama sebagai anak rantau yang jauh dari keluarga di rumah, ya mereka-meraka inilah yang sekarang menjadi keluarga kita. Terlepas dari rasa kesal atau gondok akibat ulah mereka, pasti kita akan merasa kangen dengan suasana itu disaat kita sudah nggak bersama karena sudah lulus dan harus melanjutkan mimpi masing-masing. Percayalah...
Jual Diri Aja!!
Akhir-akhir ini banyak sekali berita tentang ginjal. Yap, tepatnya berita tentang orang yang menawarkan ginjalnya untuk alasan tertentu.
Beberapa bulan lalu, ada berita seorang bapak yang menawarkan menjual ginjalnya untuk menebus ijazah sekolah anaknya. Sambil membawa gitar dan dan poster, kedua bapak anak tersebut berjalan di sekitaran bundaran HI untuk “menawarkan” ginjalnya. Terang saja hal itu menarik perhatian para jurnalis dan tentunya bisa diliput sebagai bahan berita.
Entah kenapa berita penjualan ginjal juga kembali terjadi. Parahnya masih mempunyai hubungan yang sama. Soal pendidikan. Bedanya, kasus pertama menjual menawarkan ginjal untuk menebus ijasah sekolah, sedangkan kali ini untuk membayar biaya kuliah. Tepatnya di malang, di kampus saya sendiri. Beberapa mahasiswa berdemo di depan rektorat sambil membawa tulisan dengan maksud menawarkan ginjal mereka untuk membayar biaya kuliah. Lagi-lagi, kejadian ini membuat para jurnalis meliputnya karena bernilai “berita”.
Sumpah, saya nggak habis pikir dengan kejadian tersebut. Menjual ginjal untuk membiayai kuliah. Memang di satu sisi, biaya kuliah di kampus terbilang mahal, bahkan semakin mahal di setiap tahun ajaran baru. Saya juga nggak habis pikir. Dan saya nggak habis pikir lagi dengan mahasiswa yang berdemo dengan cara seperti itu.
Oke mau jual ginjal. Seperti yang kita ketahui, harga ginjal di pasaran sangat mahal. Bahkan di pasar gelap harganya bisa sampai ratusan juta rupiah. Dan itu sangat rahasia. Jarang orang yang ngerti. Nah ini, menawakan ginjal tapi di depan rektorat, di pingir jalan. Ketahuan banget kalau mau cari perhatian. Biar diberitakan media, biar dapat simpati masyarakat luas, biar dapat bantuan.
Mungkin kalau beberapa tahun yang lalu sih masih bisa dapat perhatian dan simpati dari banyak kalangan. Tapi lihat sekarang, nggak punya biaya dikit-dikit mau jual ginjal, dikit-dikit mau jual ginjal. Jual ginjal kok dikit-dikit. Emang ginjal sama seperti sabu-sabu apa, jualnya dikit-dikit.
Kalau sudah sering terjadi seperti ini, paling banter juga bakal jadi bahan bercandaan. Biasanya sih yang terjadi seperti itu. Pertama mendengar berita pasti simpati, tapi semakin banyak berita yang sama malah bikin basi. Akhirnya, cuma bisa jadi bahan bercandaan terutama di dunia maya.
Saya nggak pernah membayangkan kalau ini benar-benar terjadi. Dikit-dikit berita jual ginjal. Jangan-jangan nanti ada yang bercanda seperti :
Jual ginjal buat rental PS.
Jual ginjal buat beli pulsa.
Jual ginjal buat ngasih kembalian beli pulsa.
Nah lo!
Padahal mereka mahasiswa loh. Semua organ tubuh masih lengkap. Otak juga masih dipake buat mikir. Kenapa malah mau jual ginjal. Kenapa nggak jual diri aja?
Iya, jual diri.
Tenang, itu cuma istilah yang keluar dari teman saya di kampus. Perempuan, panggil saja Nining. Nining adalah bendahara ketika kami menjadi panitia inti ospek kampus. Sebulan sebelum acara tiba, hampir setiap hari kami berada di kampus untuk rapat. Mulai dengan rapat ini itu sampai tender segala macem kebutuhan ospek, dari pagi sampai malam. Begitu terus selama sebulan.
Suatu saat Nining pamit kalo minggu depan nggak bisa ikut rapat.
“Prud, minggu depan aku nggak bisa ikut rapat.”
“Mau kemana?”
“Ke surabaya.”
“Tumben. Ada apa?”
“Lagi bokek. Mau jual diri dulu. Biar dapat banyak duit.”
Kali pertama mendengar, mata saya langsung belo, dahi juga ikut mengkerut. Masa sih mau jua diri? Padahal dia juga pakai hijab loh.
“Malah bengong.”
“Beneran jual diri?”
“Menjual potensi diri. Ada pameran hijab salah satu butik. Nah, mereka ngambil beberapa model dari agency. Termasuk aku. Begitu, Prud.”
“Oh, kirain...”
“Kirain apa?”
“Kirain kamu bakal mangkal di pinggir jalan sambil bawa papan bertuliskan “Melayani wisata BNS” alias bobok ndek songgoriti.”
“Astagfirullah.”
Saya langsung digeplak pake buku.
Iya, saya setuju sama Nining. Kalau perlu biaya, mending kita jual diri aja sekalian. Menjual potensi diri maksudnya. Setiap diri kita pasti punya potensi masing-masing, silakan diasah terus dijual. Bisa jadi model seperti Nining tadi, nyanyi, main musik, jadi jurnalis, atau berwirausaha. Apapun potensi yang dimiliki, jual aja.
Ternyata Nining masih suka jual diri loh.
Yah, tentu kita semua nggak pernah mau membebani orang tua kita, termasuk untuk biaya kuliah. Tapi bukan dengan cara seperti itu, bukan dengan cara nyari perhatian dengan “jual ginjal”. Selama kedua tangan dan kaki masih ada, selama semua anggota badan sehat, selama otak masih bisa dipakai mikir, jangan pernah berfikir deh mau jual-jual begituan. Sudah syukur dikasih badan lengkap dan sehat. Malah mau dijual dengan alasan yang nggak seimbang. Butuh biaya kuliah.
Mending jual diri. Menjual segala potensi yang ada dalam diri. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang diberikan. Bukan malah menjualnya.
Thursday 5 September 2013
Khop Khun Krap..
Sore itu jam menunjukan setengah lima sore. Namun, bus yang saya tumpangi baru saja parkir dengan manis di sekitar kawasan Candi Prambanan. Telat setengah jam dari jadwal semula. Begitu turun, suasana masih terlihat ramai. Pancaran sinar matahari terbilang masih terang untuk ukuran menjelang senja. Hembusan angin juga terasa lumayan kencang. Terlihat beberapa ibu-ibu menghampiri kami lantas menawarkan jasa “mandi”.
Sore itu badan saya sudah payah setelah seharian berpindah-pindah dari kawasan wisata satu ke wisata lainnya. Terakhir kali saya mandi tadi subuh, pas baru tiba di sekitar kawasan Candi Borobudur. Itu pun cuma menuntaskan “hajat” gara-gara semalam banyak makan selama perjalanan. Lagian di belakang saya masih puluhan teman yang antri. Sementara kamar mandi dan WC hanya sekitar belasan. Makanya saya lebih memilih masuk ke dalam WC daripada kamar mandi. Saya lebih memilih menuntaskan hajat daripada membersihkan badan. Badan masih bisa dibersihkan nanti, tapi hajat harus dituntaskan saat itu juga. Nggak bisa ditawar. Ini urusannya nama baik. Iya, daripada harus “keguguran” di depan teman-teman? Sekali lagi, ini urusannya nama baik.
“Ayo yang mandi. Silakan..silakan..”
Kalimat itu yang terus keluar dari beberapa ibu-ibu yang menjajakan sewa tempat mandi. Wah, boleh juga nih pikir saya. Lagian badan sudah kusut nggak karuan. Saya mengajak Luhur, teman sebangku saya. Dia pun mengangguk.
“Mas..mau mandi?”
“Boleh, Bu. Tempatnya dimana?”
“Oh. Nggak jauh kok, Mas. Nanti biar diantar anak saya. Mas tinggal ngikutin saja.”
Saya mengangguk. Kemudian ibu tadi memanggil anaknya. Kami berdua berjalan mengikuti anak tersebut. Ternyata tempatnya nggak begitu jauh dari kawasan Candi Prambanan. Seperti halaman rumah yang dibangun banyak kamar mandi. Saya langsung masuk dan melepas rindu dengan air. Karena pagi tadi nggak sempat merasakan mandi. Begitu keluar badan terasa segar. Semua kepayahan dan beban terasa hilang bersama dengan air yang jatuh dari badan. Mengalir sampai ke laut. (halah, malah ngaco)
“Berapa?”
“Satu orang dua ribu, Mas.”
Dua ribu yang mengobati kerinduan dengan air. Dua ribu yang berhasil membuat badan menjadi segar kemabali. Dua ribu yang bisa menaikkan kadar kegantengan kami berdua hingga 50%. Benar-benar dua ribu yang penuh arti.
Kami berdua kembali ke kawasan prambanan dengan tampilan interface yang sudah diupgrade menjadi lebih ganteng bagi orang yang melihat kami. Yah, paling tidak bila dibandingakan kondisi 10 menit yang lalu. Masih kusut dan berminyak.
Di parkiran saya tidak melihat teman-teman saya. Karena saya tidak menjumpai anak SMP pakai kaos sama dengan yang saya kenakan. Mungkin mereka kami sudah masuk terlebih dulu saat kami asik melepas rindu dengan air di kamar mandi. Saya tetap tenang, toh kami berdua sudah membawa tiket masuk. Proses masuk pun bukan menjadi masalah.
Ternyata prambanan itu luas banget. Luhur meminta saya untuk mengambil gambarnya dengan latar belakang Candi Prambanan. Begitu saya ngasih aba-aba, tustel itu nggak mau nyala karena baterainya habis. Luhur langsung ngumpat nggak karuan. Terlebih dia lupa membawa baterai cadangan dari rumah. Yah, maklum saja teknologi jaman segitu kalau mau berlibur masih pakai tustel, klise cadangan juga baterai cadangan. Itu sudah satu paket. Kemudian dia bertanya ke penjaga pintu masuk, kali aja ada yang jual baterai. Saya menunggu sambil duduk di bongkahan batu bekas reruntuhan candi.
Sore itu suasananya pas banget. Matahari mulai terlihat besar dan turun ke peraduannya. Sinarnya nggak begitu silau, tapi mulai memerah jingga menerpa bongkahan batu candi prambanan yang tersusun dengan kokoh. Semilir angin menambah efek keindahan yang ada. Keindahan itu bernama “Senja di Prambanan”. Beuuhh...
Saya sudah nggak peduli lagi dengan Luhur yang belum juga kembali dari berburu baterai. Yang jelas, saya masih belum beranjak dari tempat duduk saya. Membiarkan semua indera yang ada untuk menikmati perpaduan keindahan alam dan buatan manusia yang sudah tersaji di depan mata. Masih dengan duduk, hingga matahari perlahan bergerak menuju peraduan hingga semburat merah jingga yang semakin jelas di atas langit. Awesome!
Itulah cara saya menikmati keindahan. Termasuk keindahan paras wanita. Uhuk!
Tiba-tiba saya dikagetkan dengan suara seorang ibu yang menghampiri saya. Sekilas tampak bukan seperti orang Indonesia, karena kulitnya lumayan putih. Kalau orang Indonesia itu identik dengan warna kulit sawo matang. Kadang ada juga yang berwarna sawo busuk. Mungkin terlalu lama menyimpannya sehingga “terlalu matang”. Hehehe...
Asumsi saya semakin kuat karena dia menggunakan bahasa yang sama sekali tidak saya mengerti. Mungkin dia turis asing. Tapi saya yakin dia bukan dari China, karena saya punya teman di kelas dari etnis Thionghoa jadi sedikit tahu. Dari bahasanya sudah berbeda.
Ibu itu tidak sendiri. Dia bersama seorang anak perempuannya. Mungkin sebaya dengan saya yang saat itu masih kelas 2 SMP. Dengan tersenyum, ibu tersebut seperti meminta tolong saya untuk mengambil foto mereka dengan latar belakang Candi Prambanan. Karena hampir tiga kali dia terus menunjukkan tustel yang dia bawa dan arah Candi Prambanan, sambil tentunya mengucapkan bahasa yang nggak pernah saya dengar sebelumnya. Saya pun mengangguk mantap. Pura-pura ngerti. Padahal modal nekad. Dari mulut saya keluar s ebuah kata...
“Yes!”
Ibu itu juga tersenyum sambil mengangguk. Ini adalah kali pertama saya bertemu dengan turis dan diajak berdialog langsung. Sebelumnya saya cuma pernah berdialog dengan Sutris, bukan Turis. Bahasa inggris saya pas SMP memang bisa dibilang tiarap. Selain kata “Yes” dan “No”, bahasa inggris lainnya yang saya paham cuma “I Love You”. It’s so kampret!
Ibu tersebut menyerahkan tustel kepada saya. Sebelum mengambil foto, saya memberikan aba-aba lewat jari tangan. Sesekali mengucapkan one..two..three (bodo amat dia ngerti apa nggak). Setelah beberapa kali mengambil foto, tiba-tiba ibu tersebut mengajak saya berfoto bersama. Saya mengannguk. Entah apa yang mereka katakan, yang penting saya ngerti maksudnya. Bukankan itu subtansi dari sebuah komunikasi? Nggak penting pakai bahasa apa. Yang penting paham. Apakah juga dengan bahasa hati? Ah, sudahlah...
Pertama ibu tersebut berdiri di samping saya, sementara anaknya yang mengambil foto. Setelah itu mereka bergantian, anaknya berdiri di samping saya dan ibu tersebut yang mengambil foto.
“Hey..”
Sambil tersenyum, cuma itu kata yang keluar dari mulut saya. Cewek tersebut membalas dengan tersenyum pula, sambil berkata yang lagi-lagi saya nggak tahu. Yang saya tahu dia cantik dan senyumnya manis. Alamak. Untung saat itu saya tidak mimisan. Maklum biasanya sehari-hari melihat barang lokal, sekalinya ketemu barang impor malah diajakin foto. Jadi nggak sia-sia kegantengan saya yang naik 50% setelah mandi kemudian diabadikan. Huraayyy...
Setelah itu saya nggak ngerti mereka ngomong apa. Sepertinya mereka mengenalkan nama mereka berdua, dan saya tetap pede dengan terus bilang “YES” disetiap akhir kalimat yang mereka ucapkan. Tiba-tiba mereka berdua menangkupkan kedua telapak tangan mereka di depan dada, kemudian berkata...
“Khop Khun Kha..”
Dan, lagi-lagi...
“Yes!”
Cuma kata itu yang keluar dari mulut saya. Mereka berdua pamit. Kami pun berpisah. Sinar matahari sudah mulai redup tinggal menyisakan guratan merah di atas langit. Saya pun mulai berjalan menyusuri kompleks candi prambanan ini sambil tersenyum. Dari kejauhan, Luhur berlarian mengejar saya. Saya lupa kalau sedang menunggu dia. Lagi-lagi dia mengumpat nggak karuan. Terlebih saya tahu kalau dia gagal berburu baterai.
“Sudah.. Nanti minta sama yang lain. Yang klise sama baterainya masih ada. Yuk jalan, udah mulai gelap.”
Luhur mengangguk. Kami berdua berjalan menyusuri prambanan ditemani senja yang mulai temaram.
Saya baru ngerti kalau bahasa itu adalah bahasan Thai dari negara Thailand. Coba kalau kejadian itu terjadi sekarang, mungkin bukan cuma kata “Yes” yang keluar dari mulut saya. Tapi juga kalimat seperti..
“Eh, nanti fotonya jangan lupa twitpic ya..”
Yah, beruntunglah remaja sekarang yang bisa mengabadikan setiap moment dalam hidup mereka dengan mudah. Tidak perlu tustel, klise cadangan, juga baterai cadangan apabila pergi berlibur. Apapun itu, yang jelas saya punya kenangan menarik saat itu. Prambanan, Senja, dan Gadis Thailand.
Khop Khun Krap...
Sore itu badan saya sudah payah setelah seharian berpindah-pindah dari kawasan wisata satu ke wisata lainnya. Terakhir kali saya mandi tadi subuh, pas baru tiba di sekitar kawasan Candi Borobudur. Itu pun cuma menuntaskan “hajat” gara-gara semalam banyak makan selama perjalanan. Lagian di belakang saya masih puluhan teman yang antri. Sementara kamar mandi dan WC hanya sekitar belasan. Makanya saya lebih memilih masuk ke dalam WC daripada kamar mandi. Saya lebih memilih menuntaskan hajat daripada membersihkan badan. Badan masih bisa dibersihkan nanti, tapi hajat harus dituntaskan saat itu juga. Nggak bisa ditawar. Ini urusannya nama baik. Iya, daripada harus “keguguran” di depan teman-teman? Sekali lagi, ini urusannya nama baik.
“Ayo yang mandi. Silakan..silakan..”
Kalimat itu yang terus keluar dari beberapa ibu-ibu yang menjajakan sewa tempat mandi. Wah, boleh juga nih pikir saya. Lagian badan sudah kusut nggak karuan. Saya mengajak Luhur, teman sebangku saya. Dia pun mengangguk.
“Mas..mau mandi?”
“Boleh, Bu. Tempatnya dimana?”
“Oh. Nggak jauh kok, Mas. Nanti biar diantar anak saya. Mas tinggal ngikutin saja.”
Saya mengangguk. Kemudian ibu tadi memanggil anaknya. Kami berdua berjalan mengikuti anak tersebut. Ternyata tempatnya nggak begitu jauh dari kawasan Candi Prambanan. Seperti halaman rumah yang dibangun banyak kamar mandi. Saya langsung masuk dan melepas rindu dengan air. Karena pagi tadi nggak sempat merasakan mandi. Begitu keluar badan terasa segar. Semua kepayahan dan beban terasa hilang bersama dengan air yang jatuh dari badan. Mengalir sampai ke laut. (halah, malah ngaco)
“Berapa?”
“Satu orang dua ribu, Mas.”
Dua ribu yang mengobati kerinduan dengan air. Dua ribu yang berhasil membuat badan menjadi segar kemabali. Dua ribu yang bisa menaikkan kadar kegantengan kami berdua hingga 50%. Benar-benar dua ribu yang penuh arti.
Kami berdua kembali ke kawasan prambanan dengan tampilan interface yang sudah diupgrade menjadi lebih ganteng bagi orang yang melihat kami. Yah, paling tidak bila dibandingakan kondisi 10 menit yang lalu. Masih kusut dan berminyak.
Di parkiran saya tidak melihat teman-teman saya. Karena saya tidak menjumpai anak SMP pakai kaos sama dengan yang saya kenakan. Mungkin mereka kami sudah masuk terlebih dulu saat kami asik melepas rindu dengan air di kamar mandi. Saya tetap tenang, toh kami berdua sudah membawa tiket masuk. Proses masuk pun bukan menjadi masalah.
Ternyata prambanan itu luas banget. Luhur meminta saya untuk mengambil gambarnya dengan latar belakang Candi Prambanan. Begitu saya ngasih aba-aba, tustel itu nggak mau nyala karena baterainya habis. Luhur langsung ngumpat nggak karuan. Terlebih dia lupa membawa baterai cadangan dari rumah. Yah, maklum saja teknologi jaman segitu kalau mau berlibur masih pakai tustel, klise cadangan juga baterai cadangan. Itu sudah satu paket. Kemudian dia bertanya ke penjaga pintu masuk, kali aja ada yang jual baterai. Saya menunggu sambil duduk di bongkahan batu bekas reruntuhan candi.
Sore itu suasananya pas banget. Matahari mulai terlihat besar dan turun ke peraduannya. Sinarnya nggak begitu silau, tapi mulai memerah jingga menerpa bongkahan batu candi prambanan yang tersusun dengan kokoh. Semilir angin menambah efek keindahan yang ada. Keindahan itu bernama “Senja di Prambanan”. Beuuhh...
Saya sudah nggak peduli lagi dengan Luhur yang belum juga kembali dari berburu baterai. Yang jelas, saya masih belum beranjak dari tempat duduk saya. Membiarkan semua indera yang ada untuk menikmati perpaduan keindahan alam dan buatan manusia yang sudah tersaji di depan mata. Masih dengan duduk, hingga matahari perlahan bergerak menuju peraduan hingga semburat merah jingga yang semakin jelas di atas langit. Awesome!
Itulah cara saya menikmati keindahan. Termasuk keindahan paras wanita. Uhuk!
Tiba-tiba saya dikagetkan dengan suara seorang ibu yang menghampiri saya. Sekilas tampak bukan seperti orang Indonesia, karena kulitnya lumayan putih. Kalau orang Indonesia itu identik dengan warna kulit sawo matang. Kadang ada juga yang berwarna sawo busuk. Mungkin terlalu lama menyimpannya sehingga “terlalu matang”. Hehehe...
Asumsi saya semakin kuat karena dia menggunakan bahasa yang sama sekali tidak saya mengerti. Mungkin dia turis asing. Tapi saya yakin dia bukan dari China, karena saya punya teman di kelas dari etnis Thionghoa jadi sedikit tahu. Dari bahasanya sudah berbeda.
Ibu itu tidak sendiri. Dia bersama seorang anak perempuannya. Mungkin sebaya dengan saya yang saat itu masih kelas 2 SMP. Dengan tersenyum, ibu tersebut seperti meminta tolong saya untuk mengambil foto mereka dengan latar belakang Candi Prambanan. Karena hampir tiga kali dia terus menunjukkan tustel yang dia bawa dan arah Candi Prambanan, sambil tentunya mengucapkan bahasa yang nggak pernah saya dengar sebelumnya. Saya pun mengangguk mantap. Pura-pura ngerti. Padahal modal nekad. Dari mulut saya keluar s ebuah kata...
“Yes!”
Ibu itu juga tersenyum sambil mengangguk. Ini adalah kali pertama saya bertemu dengan turis dan diajak berdialog langsung. Sebelumnya saya cuma pernah berdialog dengan Sutris, bukan Turis. Bahasa inggris saya pas SMP memang bisa dibilang tiarap. Selain kata “Yes” dan “No”, bahasa inggris lainnya yang saya paham cuma “I Love You”. It’s so kampret!
Ibu tersebut menyerahkan tustel kepada saya. Sebelum mengambil foto, saya memberikan aba-aba lewat jari tangan. Sesekali mengucapkan one..two..three (bodo amat dia ngerti apa nggak). Setelah beberapa kali mengambil foto, tiba-tiba ibu tersebut mengajak saya berfoto bersama. Saya mengannguk. Entah apa yang mereka katakan, yang penting saya ngerti maksudnya. Bukankan itu subtansi dari sebuah komunikasi? Nggak penting pakai bahasa apa. Yang penting paham. Apakah juga dengan bahasa hati? Ah, sudahlah...
Pertama ibu tersebut berdiri di samping saya, sementara anaknya yang mengambil foto. Setelah itu mereka bergantian, anaknya berdiri di samping saya dan ibu tersebut yang mengambil foto.
“Hey..”
Sambil tersenyum, cuma itu kata yang keluar dari mulut saya. Cewek tersebut membalas dengan tersenyum pula, sambil berkata yang lagi-lagi saya nggak tahu. Yang saya tahu dia cantik dan senyumnya manis. Alamak. Untung saat itu saya tidak mimisan. Maklum biasanya sehari-hari melihat barang lokal, sekalinya ketemu barang impor malah diajakin foto. Jadi nggak sia-sia kegantengan saya yang naik 50% setelah mandi kemudian diabadikan. Huraayyy...
Setelah itu saya nggak ngerti mereka ngomong apa. Sepertinya mereka mengenalkan nama mereka berdua, dan saya tetap pede dengan terus bilang “YES” disetiap akhir kalimat yang mereka ucapkan. Tiba-tiba mereka berdua menangkupkan kedua telapak tangan mereka di depan dada, kemudian berkata...
“Khop Khun Kha..”
Dan, lagi-lagi...
“Yes!”
Cuma kata itu yang keluar dari mulut saya. Mereka berdua pamit. Kami pun berpisah. Sinar matahari sudah mulai redup tinggal menyisakan guratan merah di atas langit. Saya pun mulai berjalan menyusuri kompleks candi prambanan ini sambil tersenyum. Dari kejauhan, Luhur berlarian mengejar saya. Saya lupa kalau sedang menunggu dia. Lagi-lagi dia mengumpat nggak karuan. Terlebih saya tahu kalau dia gagal berburu baterai.
“Sudah.. Nanti minta sama yang lain. Yang klise sama baterainya masih ada. Yuk jalan, udah mulai gelap.”
Luhur mengangguk. Kami berdua berjalan menyusuri prambanan ditemani senja yang mulai temaram.
Saya baru ngerti kalau bahasa itu adalah bahasan Thai dari negara Thailand. Coba kalau kejadian itu terjadi sekarang, mungkin bukan cuma kata “Yes” yang keluar dari mulut saya. Tapi juga kalimat seperti..
“Eh, nanti fotonya jangan lupa twitpic ya..”
Yah, beruntunglah remaja sekarang yang bisa mengabadikan setiap moment dalam hidup mereka dengan mudah. Tidak perlu tustel, klise cadangan, juga baterai cadangan apabila pergi berlibur. Apapun itu, yang jelas saya punya kenangan menarik saat itu. Prambanan, Senja, dan Gadis Thailand.
Khop Khun Krap...
Friday 23 August 2013
Move On!
Hmm ..move on.
Entah siapa yang pertama kali mempopulerkan istilah tersebut, sehingga kini hampir kita semua mengenal, familiar, bahkan terlalu “asyik” berurusan dengan istilah tersebut.
Move on.
Mungkin pengertian yang lebih tepat adalah pindah. Iya, pindah. Pindah kemana? itu semua tergantung kita “move on” dari hal apa, dan pasti semua itu punya alasan. Misalnya pindah kebiasaan buruk karena sudah terlalu biasa, pindah rumah karena pengen merasakan suasana baru, pindah tempat nongkrong karena tempat sebelumnya digusur, bahkan sampai kepada pindah hati.
Iya, pindah hati.
Pindah karena hatinya memang sudah seharusnya pindah. Bisa karena sudah merasa nggak nyaman, nggak pernah berjalan maju karena terus menatap ke belakang, atau memang harus move on. Harus, karena hanya move on pilihan terakhir yang membuat kita bisa terus berjalan, menatap ke depan dan memiliki lagi harapan.
Pindah? Apalagi pindah hati. Emang gampang?
Jujur sih, enggak. Apalagi kita ini manusia biasa. Bukan seseorang yang bisa memindahkan Istana Ratu Balqis lebih cepat dari kedipan mata. Lagian ini juga hati, perasaan. Bentuknya pun nggak nyata, nggak bisa dipegang. Tapi semua orang mempunyai dan bisa merasakan. Pasti punya kesulitan tersendiri saat “memindahkannya”.
Pasti.
Selama menjalin hubungan dan bersama dengan pasangan tentu semua itu melibatkan hati, melibatkan perasaan. Semuanya terekam, bukan hanya dalam pikiran tapi juga perasaan. Nah, ketika jalinan dan kebersamaan itu harus berakhir setelah mendapat “gelar” mantan, ya memang harus berakhir. Tapi sayangnya kita masih mempunyai banyak file rekaman dalam pikiran juga perasaan. Namanya kenangan. #tsaaahh....
Apa harus file kenangan tersebut dihapus?
Kalo bisa sih, iya. Tapi kemungkinan besar berhasil juga kecil. Apalagi “dia” sudah banyak menghiasi hari-hari kita. Mulai dari bertukar pikiran, memberi kasih sayang, sampai secara nggak sadar telah membuat kita menjadi pribadi yang lebih baik. Itu jelas susah untuk menghapusnya. Terlebih dalam tempo yang sesingkat-sesingkatnya.
Sebenarnya yang lebih tepat bukan menghapus, tapi merapikannya kembali. Otak dan perasaan bukanlah hardisk eksternal yang dengan mudah kita dapat menghapus file di dalamnya. Tapi otak dan perasaan kita punya mekanisme sendiri, saya lebih suka menyebutnya dengan “mekanisme merapikan”. Karena pikiran dan perasaan adalah dua komponen yang nggak bisa dipisahkan, saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Perasaan yang berantakan cuma perlu dirapikan untuk bisa baik kembali. Nggak perlu dihapus segala.
Contoh..
Saat perasaan kita bahagia pasti pikiran kita juga ikut merasakan kebahagiaan itu, dampaknya kita jadi mudah berfikir, mengingat sesuatu atau hal positif apapun. Gampangnya, kalau perasaan kita seneng, mau lima menit lagi ada ujian dan semalam kurang belajar, nggak jadi masalah. Toh, pasti kita bisa melaluinya dengan mudah. Itu yang pernah saya rasakan. Begitu pun sebaliknya. Kalau perasaan kita lagi nggak enak, pasti pikiran kita juga kena dampaknya. Itu pasti. Karena sampai sekarang saya belum menemukan orang yang lagi badmood tapi encer pas ngerjain tugas. Apalagi ada orang badmood dibecandain, diejekin, atau di bully. Kalau pas seneng sih mungkin nggak masalah, tapi kalau pas lagi badmood jangan ditanya. Mungkin kalau saat itu tangannya megang pistol, udah pada di dor semua yang becandaain dia satu per satu. Soalnya pikiran dan perasaannya lagi kacau.
Senggol bacok. Sereeemm....
Maka dari itu, yang bisa kita lakukan merapikan bukan menghapusnya. Merapikan semua kenangan, semua rasa serapi mungkin. Kalau bisa ngalahin rapi ahmat. Biar yang ada di pikiran dan perasaan nggak semrawut, nggak tabrak sana-sini, bikin cepet pusing. Kalau perlu dijadikan arsip. Jadi kalau sewaktu-waktu kita menghadapi hal yang sama, bisa kita buka, bisa kita pelajari, supaya kita nggak melakukan kesalahan yang sama berkali-kali. Dan kalau semuanya sudah rapi, kita jadi enak mau mengisi bagian yang masih tersisa dengan apa yang menurut kita baik.
Mudah kan?
Menurut saya, move on itu nggak hanya sekedar dibuktikan dengan pacar baru. Iya, nggak hanya dengan punya pacar baru. Kenapa? Ada yang bilang kalau “obat” move on itu ada dua cara : Pertama dengan orang baru. Kedua, dengan waktu.
Saya lebih sepakat dengan pilihan kedua, dengan waktu.
Kenapa?
Seperti yang saya tulis diatas, pikiran dan perasaan kita punya kemampuan yang saya sebut “mekanisme merapikan”. Merapikan kesemrawutan akibat patah hati, badmood, galau mungkin juga sakit hati. Dan semua itu butuh waktu. Bisa sebentar, bisa lama, nggak menutup kemungkinan juga sangat lama. Seperti yang konselor sering katakan, semua kembali kepada pribadi masing-masing.
Sekarang bayangkan, ketika di dalam masih semrawut, perasaan campur aduk, tiba-tiba memasukkan “hal” baru, orang baru. Bukannya malah bikin tambah semrawut?
Oke. Mungkin dengan adanya perasaan baru tersebut, bisa mengurangi kesemrawutan di yang berada di dalam, saat masih dirapikan. Jika itu yang terjadi, itu harus disyukuri. Tapi kalau justru sebaliknya yang terjadi, maksain perasaan baru buat masuk dan berharap dengan itu bisa mengurangi kesemarawutan di dalam? Malah bikin nggak nyaman tau nggak. Istilahnya pelarian. Melarikan kesemrawutan yang ada pada orang lain sebelum kita berhasil merapikannya. Yang ada juga kasihan sama orang yang kita jadikan pelarian. Mending lari pagi aja, ketahuaan sehat.
Ibarat kita minum secangkir kopi. Setelah kopi habis, pasti ada sisa kopi yang mengendap di dasar cangkir. Namanya ampas kopi. Setelah itu kita pengen bikin teh di cangkir yang sama. Nah, apakah kita langsung menyeduh teh di dalam cangkir yang masih berampas kopi tersebut? Kan tidak. Mending ampasnya dibuang dulu, cangkirnya dicuci dulu sampai bersih, abis itu cangkirnya dikeringin. Biar kalau mau bikin teh di cangkir tersebut sudah nggak ada campuran kopi, nggak ada rasa kopi. Kecuali kalau memang mau minum teh bercampur kopi. Iya, kecuali kalau mau menjalin hubungan baru bercampur bayang-bayang mantan. Uhuk!
Setelah waktu, yang terpenting dalam move on itu adalah ikhlas.
Mau pergi ke psikiater, pergi ke mbah dukun, mencari banyak kesibukan, naik ke puncak-puncak gunung tertinggi, sampai berenang di selat sunda, semua bakal percuma kalau kita nggak ikhlas. Namanya juga perasaan. Dan istilah “melepaskan” dalam perasaan itu bernama ikhlas. Sudah ikhlasin aja...
Finally...move on itu cuma masalah waktu dan keikhlasan. Kalau sudah melalui waktu yang lama tapi masih belum bisa juga, mungkin karena kita belum ikhlas. Kalau sudah merasa ikhlas tapi masih belum bisa juga, itu cuma masalah waktu kok.
Sabar aja..
Friday 14 June 2013
uj(i)an dan (h)ujan
..hujan.. anugerah yang datang bersama setiap rintiknya.
Itulah filosofi sebuah band asal Jogja bernama The Rain. Saya setuju, karena memang di setiap hujan selalu membawa anugerah. Karena dari hujan selalu ada yang bisa diceritakan. Termasuk ujian!
Loh, kok ujian?
Iya, soalnya sekarang para mahasiswa sedang berada dalam musim ujian, juga musim hujan. Nah, kalo ngomongin hujan dan ujian saya punya banyak cerita.
Cekibrooottt..
Ujian + Hujan = Bikin Cepat Lapar.
Sebenarnya nggak ada yang salah dengan adanya ujian yang datang kepada mahasiswa setiap akhir semesternya. Tapi kalo datangnya barengan hujan bisa lain ceritanya. Musim ujian tentu intensitas belajar kita menjadi meningkat dibandingkan hari-hari biasa. Kalo biasanya belajar itu cuma lihat jadwal kuliah besok pagi apa saja, ada tugas apa nggak. Kalo sekarang belajar itu lebih ke arti sebenarnya. Buka buku, buka catatan, buka fotokopian sambil bengong berjam-jam. Nah, asal kita tahu selama belajar otak kita butuh asupan energi. Energi diperoleh dari makanan yang kita makan. Makanya kalo keseringan belajar, otak jadi cepat capek dan bikin perut cepat lapar. Apalagi ditambah sekarang musim hujan. Semakin membuat cepat lapar.
Ujian Itu = Olahraga Absurd.
Iya absurd. Terutama untuk mahasiswa jurusan sosial seperti saya. Sebelum ujian memang disarankan berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuh. Biar pas ujian nggak jatuh sakit. Maklum sekarang kan musim hujan. Tapi pas ujian, secara tidak langsung kita juga melakukan kegiatan olahraga. Cuma kita kurang menyadarinya seperti :
Olahraga Tangan. Di jurusan sosial, ada disparitas (kesenjangan) besar yang terjadi dalam ujian. Antara soal ujian dengan jawaban ujian. Dimana soal ujian biasanya pendek, satu atau dua kalimat selesai. Tapi jawabannya bisa ngabisin berlembar-lembar kertas ujian dan nggak selesai-selesai. Kalo dipikir, lebih mirip nyalin dari buku daripada menjawab soal. Malah terkadang ada yang sampai nambah kertas jawaban ke petugas jaga. Biasanya tipe-tipe anak perfeksionis atau punya ukuran font tangan yang gede. Kalo sampai nambah tiga kali, berarti dia gabungan antara keduanya.
Olahraga Mata. Karena terlalu banyak hafalan dan jawaban, terkadang baru sampai soal nomor dua otak kita sudah blank, gelap, kosong. Akhirnya kita berusaha agar lembar jawaban kita nggak ikutan kosong. Dan cara yang paling cepat adalah dengan bertanya kepada teman. Sayangnya cara itu nggak mudah. Apalagi kalo pas penjaganya kebagian yang tipe “mata elang”. Tapi biarpun mata elang, toh mereka manusia juga yang nggak luput dari keteledoran. Nah, disaat itulah kita harus pintar memanfaatkan situasi. Lirik kanan kiri. Melatih otot pergerakan otot mata.
Olahraga Otak. Di sosial yang terjadi biasanya jawaban nggak cukup satu atau dua kalimat, panjang dan banyak banget. Kalo otak sudah nggak kuat, ujung-ujungnya juga bakalan ngarang jawaban. Nah, disini diperlukan otak yang terlatih. Terutama berlatih imajinasi. Supaya pas ngarang jawaban nggak ngelantur. Salah-salah bukan jawaban yang ditulis, tapi malah curhat. Itu ngelantur tingkat dewa!
Ujian Itu = Membuat Akrab Dengan Teman.
Iya akrab. Apalagi sama teman yang pinter, jadi tambah cepat akrabnya. Kalo di hari biasa, biasanya cuma bertegur sapa pas ketemu. Sekarang pas ujian jadi seneng deket, ngajak ngobrol, nawarin rokok, makan sampai ngajak duduk sebelahan di pas ujian. Tapi bagi yang punya otak pas-pasan menjadi serba salah. Mau ngasih contekan, kita sendiri nggak yakin sama jawaban sendiri, apalagi mau dikasih ke orang lain. Karena nggak dikasih teman kita marah, bilang nggak sohib. Eh, giliran dikasih jawaban malah dimaki-maki, disalah-salahin. Bilang jawabannya nggak bener lah, kurang tepat lah. Kalo ngerti begitu kenapa nggak belajar sendiri KAMPRET!!
Ujian + Hujan = Susah Mengatur Jadwal Tidur Dan Belajar.
Iya susah. Karena hujan jadwal tidur dan belajar menjadi berantakan. Pas semangat belajar, sudah nyiapin beberapa buku dan camilan di meja, eh malah turun hujan. Hawa menjadi sejuk dan adem. Mengunyah makanan tetap semangat, tapi tidak dengan semangat belajar. Akhirnya nyender bantal sedikit langsung bablas. Pas bangun hampir pagi hari, terpaksa kebut belajar. Tapi mata terasa masih ngantuk, jadi lumayan berat. Akhirnya tidur lagi dan susah bangun pagi. Maksudnya bangun pagi kemudian beraktifitas. Bukan bangun, melek, merem, melek lagi, merem lagi, kemudian bablas. Begitu bangun sudah terlambat masuk ujian. Itu juga kampret!
Ujian Pagi + Boleh Buka Buku = Bikin Mata Melek.
Iya, ada tipe ujian boleh buka buku. Kalo mendengar boleh buka buku harusnya gampang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Soalnya saya nggak tahu buku mana yang harus dibuka. Saya cuma punya buku catatan, isinya juga corat-coret semua. Nggak jauh beda sama tembok kamar mandi zaman sekolah. Akhirnya cuma bisa bolak-balik buku sampai kertasnya kusut. Begitu nggak nemu jawaban, gantian muka yang kusut.
Ujian Itu = Kampret!
Iya, kampret! Sudah capek-capek belajar, mondar-mandir nyari pinjeman catatan, bukunya juga bahas inggris level 3 (bahasa inggris anak sosial), tebel-tebel pula. Kemarin sebelum ujian nggak dikasih tugas pengganti ujian. Berarti memang ada ujian. Sumpah, semua itu bikin kelimpungan setengah mati. Tapi pagi harinya di ruang ujian, nggak ada soal yang dibagikan. Nggak ada soal yang harus kami kerjakan. Semua itu diganti dengan tanda tangan di lembar presensi. Iya, cuma tanda tangan doang. Baru kali ini nilai ujian semester dipertaruhkan hanya dengan tanda tangan. Jujur setengah hati saya seneng nggak jadi ulangan. Tapi setengah hati saya gondok banget. Tau seperti ini semalam saya tidur. Demi apa coba ini semua?? (tiba-tiba Arya Wiguna muncul dari bawah meja, kemudian menggebrak meja keras sambil berkata, “Demi..Kiaaaaaann!!)
Ujian Itu = Bikin Freak.
Saat itu ujian sifanya boleh buka buku. Beberapa teman ada yang sampai buka laptop, karena beberapa materi berada disana. Pikir saya masih wajar. Tapi di sebelah saya duduk seorang cowok (kebetulan kakak tingkat), dari tampilan sih kelihatan banget anak rajin. Tapi yang bikin saya nggak habis pikir adalah, dia mengeluarkan jam weker yang berbunyi kriiiiiing, menyetel ke jam tertentu, kemudian meletakkan didepan tempat duduknya. Saya cuma bengong pas melihat. Padahal dia juga pakai jam tangan. Terus jam weker tadi buat apa? Kalo sekedar untuk pengingat kan sudah aja jam tangan. Setiap 5 menit sekali dilihat kan juga nggak masalah. Malah masang jam weker. Kenapa nggak sekalian aja Jam Gadang ditaruh disebelahnya. Atau kalo masih kurang mantap, elpiji 3 kilogram aja dipasangi sumbu. Biar semangat ngerjain ujiannya. Biar tepat waktu. Biar greget!!
Yah, itulah sedikit cerita dari ujian di musim hujan. Memang yang namanya ujian kita harus tetap belajar sebelumnya, biar bisa mengerjakan. Tapi kalo untuk ujian hidup, kita harus merasakan ujian terlebih dulu, baru bisa mengambil pelajaran. Uhuk!
Itulah filosofi sebuah band asal Jogja bernama The Rain. Saya setuju, karena memang di setiap hujan selalu membawa anugerah. Karena dari hujan selalu ada yang bisa diceritakan. Termasuk ujian!
Loh, kok ujian?
Iya, soalnya sekarang para mahasiswa sedang berada dalam musim ujian, juga musim hujan. Nah, kalo ngomongin hujan dan ujian saya punya banyak cerita.
Cekibrooottt..
Ujian + Hujan = Bikin Cepat Lapar.
Sebenarnya nggak ada yang salah dengan adanya ujian yang datang kepada mahasiswa setiap akhir semesternya. Tapi kalo datangnya barengan hujan bisa lain ceritanya. Musim ujian tentu intensitas belajar kita menjadi meningkat dibandingkan hari-hari biasa. Kalo biasanya belajar itu cuma lihat jadwal kuliah besok pagi apa saja, ada tugas apa nggak. Kalo sekarang belajar itu lebih ke arti sebenarnya. Buka buku, buka catatan, buka fotokopian sambil bengong berjam-jam. Nah, asal kita tahu selama belajar otak kita butuh asupan energi. Energi diperoleh dari makanan yang kita makan. Makanya kalo keseringan belajar, otak jadi cepat capek dan bikin perut cepat lapar. Apalagi ditambah sekarang musim hujan. Semakin membuat cepat lapar.
Ujian Itu = Olahraga Absurd.
Iya absurd. Terutama untuk mahasiswa jurusan sosial seperti saya. Sebelum ujian memang disarankan berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuh. Biar pas ujian nggak jatuh sakit. Maklum sekarang kan musim hujan. Tapi pas ujian, secara tidak langsung kita juga melakukan kegiatan olahraga. Cuma kita kurang menyadarinya seperti :
Olahraga Tangan. Di jurusan sosial, ada disparitas (kesenjangan) besar yang terjadi dalam ujian. Antara soal ujian dengan jawaban ujian. Dimana soal ujian biasanya pendek, satu atau dua kalimat selesai. Tapi jawabannya bisa ngabisin berlembar-lembar kertas ujian dan nggak selesai-selesai. Kalo dipikir, lebih mirip nyalin dari buku daripada menjawab soal. Malah terkadang ada yang sampai nambah kertas jawaban ke petugas jaga. Biasanya tipe-tipe anak perfeksionis atau punya ukuran font tangan yang gede. Kalo sampai nambah tiga kali, berarti dia gabungan antara keduanya.
Olahraga Mata. Karena terlalu banyak hafalan dan jawaban, terkadang baru sampai soal nomor dua otak kita sudah blank, gelap, kosong. Akhirnya kita berusaha agar lembar jawaban kita nggak ikutan kosong. Dan cara yang paling cepat adalah dengan bertanya kepada teman. Sayangnya cara itu nggak mudah. Apalagi kalo pas penjaganya kebagian yang tipe “mata elang”. Tapi biarpun mata elang, toh mereka manusia juga yang nggak luput dari keteledoran. Nah, disaat itulah kita harus pintar memanfaatkan situasi. Lirik kanan kiri. Melatih otot pergerakan otot mata.
Olahraga Otak. Di sosial yang terjadi biasanya jawaban nggak cukup satu atau dua kalimat, panjang dan banyak banget. Kalo otak sudah nggak kuat, ujung-ujungnya juga bakalan ngarang jawaban. Nah, disini diperlukan otak yang terlatih. Terutama berlatih imajinasi. Supaya pas ngarang jawaban nggak ngelantur. Salah-salah bukan jawaban yang ditulis, tapi malah curhat. Itu ngelantur tingkat dewa!
Ujian Itu = Membuat Akrab Dengan Teman.
Iya akrab. Apalagi sama teman yang pinter, jadi tambah cepat akrabnya. Kalo di hari biasa, biasanya cuma bertegur sapa pas ketemu. Sekarang pas ujian jadi seneng deket, ngajak ngobrol, nawarin rokok, makan sampai ngajak duduk sebelahan di pas ujian. Tapi bagi yang punya otak pas-pasan menjadi serba salah. Mau ngasih contekan, kita sendiri nggak yakin sama jawaban sendiri, apalagi mau dikasih ke orang lain. Karena nggak dikasih teman kita marah, bilang nggak sohib. Eh, giliran dikasih jawaban malah dimaki-maki, disalah-salahin. Bilang jawabannya nggak bener lah, kurang tepat lah. Kalo ngerti begitu kenapa nggak belajar sendiri KAMPRET!!
Ujian + Hujan = Susah Mengatur Jadwal Tidur Dan Belajar.
Iya susah. Karena hujan jadwal tidur dan belajar menjadi berantakan. Pas semangat belajar, sudah nyiapin beberapa buku dan camilan di meja, eh malah turun hujan. Hawa menjadi sejuk dan adem. Mengunyah makanan tetap semangat, tapi tidak dengan semangat belajar. Akhirnya nyender bantal sedikit langsung bablas. Pas bangun hampir pagi hari, terpaksa kebut belajar. Tapi mata terasa masih ngantuk, jadi lumayan berat. Akhirnya tidur lagi dan susah bangun pagi. Maksudnya bangun pagi kemudian beraktifitas. Bukan bangun, melek, merem, melek lagi, merem lagi, kemudian bablas. Begitu bangun sudah terlambat masuk ujian. Itu juga kampret!
Ujian Pagi + Boleh Buka Buku = Bikin Mata Melek.
Iya, ada tipe ujian boleh buka buku. Kalo mendengar boleh buka buku harusnya gampang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Soalnya saya nggak tahu buku mana yang harus dibuka. Saya cuma punya buku catatan, isinya juga corat-coret semua. Nggak jauh beda sama tembok kamar mandi zaman sekolah. Akhirnya cuma bisa bolak-balik buku sampai kertasnya kusut. Begitu nggak nemu jawaban, gantian muka yang kusut.
Ujian Itu = Kampret!
Iya, kampret! Sudah capek-capek belajar, mondar-mandir nyari pinjeman catatan, bukunya juga bahas inggris level 3 (bahasa inggris anak sosial), tebel-tebel pula. Kemarin sebelum ujian nggak dikasih tugas pengganti ujian. Berarti memang ada ujian. Sumpah, semua itu bikin kelimpungan setengah mati. Tapi pagi harinya di ruang ujian, nggak ada soal yang dibagikan. Nggak ada soal yang harus kami kerjakan. Semua itu diganti dengan tanda tangan di lembar presensi. Iya, cuma tanda tangan doang. Baru kali ini nilai ujian semester dipertaruhkan hanya dengan tanda tangan. Jujur setengah hati saya seneng nggak jadi ulangan. Tapi setengah hati saya gondok banget. Tau seperti ini semalam saya tidur. Demi apa coba ini semua?? (tiba-tiba Arya Wiguna muncul dari bawah meja, kemudian menggebrak meja keras sambil berkata, “Demi..Kiaaaaaann!!)
Ujian Itu = Bikin Freak.
Saat itu ujian sifanya boleh buka buku. Beberapa teman ada yang sampai buka laptop, karena beberapa materi berada disana. Pikir saya masih wajar. Tapi di sebelah saya duduk seorang cowok (kebetulan kakak tingkat), dari tampilan sih kelihatan banget anak rajin. Tapi yang bikin saya nggak habis pikir adalah, dia mengeluarkan jam weker yang berbunyi kriiiiiing, menyetel ke jam tertentu, kemudian meletakkan didepan tempat duduknya. Saya cuma bengong pas melihat. Padahal dia juga pakai jam tangan. Terus jam weker tadi buat apa? Kalo sekedar untuk pengingat kan sudah aja jam tangan. Setiap 5 menit sekali dilihat kan juga nggak masalah. Malah masang jam weker. Kenapa nggak sekalian aja Jam Gadang ditaruh disebelahnya. Atau kalo masih kurang mantap, elpiji 3 kilogram aja dipasangi sumbu. Biar semangat ngerjain ujiannya. Biar tepat waktu. Biar greget!!
Yah, itulah sedikit cerita dari ujian di musim hujan. Memang yang namanya ujian kita harus tetap belajar sebelumnya, biar bisa mengerjakan. Tapi kalo untuk ujian hidup, kita harus merasakan ujian terlebih dulu, baru bisa mengambil pelajaran. Uhuk!
Selembar Kertas Kusut..
“Kamu kok aneh sih?”
Entah sudah berapa banyak orang yang bilang kalo saya ini aneh. Saya nggak tahu berapa jumlah resminya, karena pihak BPS nggak pernah ngasih data pas diminta. Yang jelas banyak. Berawal dari beberapa teman saya di SMA sampai sekarang jadi mahasiswa. Mereka sering nyeletuk, “kamu kok aneh sih?”. Satu, dua, tiga orang bilang seperti itu saya cuek saja. Tapi semakin lama satu, dua, tiga orang tadi berubah jadi puluhan jumlahnya. Sekarang hampir setiap orang yang mengenal saya bilang seperti itu.
Apa yang salah dengan saya?
Saya jadi bingung. Saya manusia, jenis kelamin laki-laki (dilihat dari gambar), doyan makan, suka sama cewek, punya SIM dan KTP, punya seragam sekolah, makan juga nasi. Terus anehnya dimana? Saya mau bertanya tapi bingung kemana..
Saya teringat Ebit G Ade pernah berkata dalam liriknya, “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.” Nah, saya coba saran itu dan segera mencari tanah lapang dimana terdapat banyak rumput disana. Setelah ketemu rumput, saya mencoba bertanya pada mereka. Satu, dua, tiga kali saya bertanya tapi rumput itu tidak menjawab, hanya bergoyang. Ternyata rumput memang nggak bisa ngomong, hanya bisa bergoyang. Terus kenapa tadi saya bertanya? Saya merasa bego. Sebagai seorang akademisi saya merasa gagal.
Salah satu teman saya bilang, “Tanya sama diri kamu sendiri, kenali diri kamu sendiri!”
Saya berfikir bagaimana caranya bertanya pada diri sendiri? Oh, iya pakai cermin. Kalo kita bercermin, kita bisa melihat diri kita sendiri di dalam cermin. Oke, saya langsung berdiri di depan cermin. Satu, dua, tiga kali saya bertanya, tapi bayangan di dalam cermin malah ikut-ikutan nanya balik. Saya coba lagi terus bertanya. Lama di depan cermin sampai cerminnya bosan. Tapi dia nggak ngasih jawaban. Malah ikut-ikutan bertanya. Kampret!!
Saya kembali bingung.
Sampai saya menemukan selembar kertas kusut yang terselip di dalam sebuah buku pas beres-beres. Iya, selembar kertas kusut yang saya corat-coret pas masih menjadi mahasiswa baru. Selembar kertas kusut yang mungkin sengaja saya simpan. Selembar kertas kusut yang sedikit memberikan jawaban atas pertanyaan, “kok kamu aneh sih?”
***
Saya masih ingat betul, pertengahan tahun 2008 saat masih berstatus mahasiswa baru. Saya mengikuti hampir seluruh kegiatan ospek di kampus. Sebenarnya semua kegiatan tersebut bisa ditebak arahnya bakal kemana, kan namanya juga “pengenalan kehidupan kampus”. Apalagi ospek di fakultas saya berlangsung selama satu semester, dan saya termasuk angkatan pertama sebagai percobaan. Lumayan kampret sih. Kalo dipikir paling dari baca buku, lihat peraturan, tanya kakak tingkat semua pasti kelar. Bisa saja semua itu saya lakukan dan nggak harus capek-capek bangun pagi buta, berpanas ria, dan baru pulang saat matahari sudah lenyap. Tapi satu hal yang nggak bakal saya peroleh kalo memutuskan seperti itu. Saya nggak akan punya kenangan tentang masa itu.
Pas ospek kami dibagi per pleton barisan. Suatu saat di pleton saya hanya 4 orang saja yang hadir, kalo formasi lengkap sekitar 30 orang. Hal itu juga terjadi pada pleton lain. Mungkin pada bosen dan males, makanya acara ospek yang total peserta 1200 lebih berasa semacam konser besar yang nggak laku. Karena panitianya lebih banyak daripada penonton yang datang.
Sepi.
Saat itu mentor (pendamping) saya mengadakan game untuk “menghibur” empat orang anak yang telah sok rajin dan “rela” hadir di hari itu, termasuk saya. Mas Faris (mentor saya) menyuruh kami semua mengambil selembar kertas. Pokoknya selembar kertas, bagaimana pun cara kami mendapatkan, apakah dengan cara halal atau haram yang penting siapakan selembar kertas. Waktu itu saya minta kepada teman, karena nggak bawa apa-apa. Modal saya ke kampus cuma dua : nyawa sama papan nama.
Sambil posisi duduk Mas Faris menjelaskan peraturannya. Selembar kertas itu dibagi dua bagian. Bagian atas untuk menggambar sedangakan bagian bawah dibagi lagi mejadi dua kolom. Kemudian memberikan instruksi yang hanya sekali diberikan, tanpa diulangi lagi.
“Dibagian atas, silakan kalian gambar sosok manusia. Terserah kalian. Bebas. Nah, kolom sebelah kiri kalian isi dengan 4 kelebihan gambar kalian, dan yang kanan kalian isi dengan 4 kekurangan gambar kalian. Waktu menyelesaikan hanya satu setengah menit. Nggak ada perpanjangan. Jadi, selesai tidak selesai harus dikumpulkan. Oke, waktu dimulai!”
Tiga orang teman saya buru-buru menggambar, dan saya buru-buru mengambil pulpen dari tangan Mas Faris dengan paksa kemudian buru-buru ikutan menggambar. Kertas saja minta apalagi pulpen. Kan sudah saya bilang, saat itu modal saya ke kampus cuma dua : nyawa sama papan nama.
Menggambar di kejar waktu itu rasanya nggak enak banget. Nggak jauh beda pas boker tapi diluar ada yang terus gedor-gedor pintu. Jadi kurang khusyuk. Apalagi Mas Faris berdiri sambil teriak kalo waktu sudah mau habis.
“30 detik lagi...20 detik lagi..”
Menjelang sepuluh detik terakhir, hasil gambar saya selesai. Saya menggambar seorang nenek penjual jamu gendong, bawa tongkat. Ya, apapun hasilnya saya mengganggap itu gambar orang. Lantas buru-buru saya mengisi dua kolom dibawahnya. Otak saya mampet, detak jantung meningkat, keringat dingin keluar, tangan semakin pegel.
“3 detik lagi..”
Saya isi apa yang terlintas di kepala.
“Stop. Waktu habis!!”
Otak saya kram. Kampret!!
Kemampuan menggambar saya memang cetek. Apalagi ini waktunya cepet banget, ditambah mengisi ini itu pula. Perpaduan yang pas untuk membuat otak serta tangan kram. Awal masuk SMP saya pernah menulis surat cinta, biar lebih keren saya kasih gambar hati warna merah. Tapi pas saya kasih malah dikira gambar apel di pasar. Payah. Sebagai penggemar rubrik gambar di Majalah Bobo saya gagal.
Setelah menerima hasil gambar kami semua, Mas Faris tersenyum. Semacam senyum puas melihat hasil kebrutalan 4 mahasiswa baru yang “sok rajin”. Sok rajin karena mahasiswa lain pada bolos ospek, eh malah nongol di kampus. Kemudian menjelaskan maksud dari kebrutalan barusan.
“Jadi game tadi adalah untuk mengenal diri sendiri. Karena saat kita terdesak, kita akan menampilkan diri kita sendiri. Kalo masalah gambar itu imajinasi kalian. Nah, kalo yang kalian tuliskan di kolom kelebihan dan kekurangan, kemungkinan besar itu ya kelebihan dan kekurangan kalian sendiri.” kata Mas Faris kemudian menyerahkan hasil karya kebrutalan kepada kami sambil menahan tawa.
Berarti dia mengetahui kelemahan saya. Sial!
Saya langsung melihat selembar kertas hasil minta-minta sama teman yang sekarang sudah terisi coretan hasil kebrutalan. Gambarnya lumayan ancur. Apakah saya juga ancur?? Entahlah..
Saya membaca kedua kolom yang dibawah, kelebihan dan kekurangan. Di kolom kelebihan tertulis : GAMBAR SUPERHERO, PEJUANG, KREATIF, PANTANG MENYERAH.
Sedangkan di kolom kekurangan tertulis : GAK JELAS, BIKIN BINGUNG, KASIHAN, PAS!!. Saya diam memandangi selembar kertas itu. Dari keduanya, saya lebih percaya apa yang tertulis di kolom kekurangan. Absurd banget.
Selembar kertas itu langsung saya simpan sampai sekarang.
Pernah juga saya melakukan permainan ini ketika diminta mengisi pembekalan kepada panitia ospek baru. Masih dengan peraturan yang sama mulai selembar kertas, dua bagian, dua kolom, satu setengah menit. Saat mereka mengisi selembar kertas, sengaja saja berjalan sambil melihat apa yang mereka gambar dan tulis.
Dari gambar saya menjumpai Naruto, Son Go Ku, sampai jin botol. Saya tertawa. Saya terpaksa geleng-geleng melihat salah seorang dengan pede menuliskan kata : Macho, Cool, Keren, Cakep di kolom kelebihan. Pas saya lihat mukanya kayak (maaf) muntahan biawak. Juga nahan ketawa pas ada cowok nulis kata : Banci, Maho di kolom kekurangan. Andai dia tahu telah menyebarkan aib sendiri.
That’s a game!
Terlepas dari permainan itu, terlepas dari itu semua, paling tidak saya sedikit tahu kenapa banyak orang yang bilang saya ini aneh. Mengetahui kelebihan dan kekurangan itu memang penting untuk menjalani hidup ini. Namun bagi saya pribadi, lebih penting mengetahui kelemahan kita lebih awal daripada kelebihan. Mencari kelebihan itu gampang karena kita sendiri yang menentukan. Tapi untuk mencari kelemahan, kadang kita perlu kebesaran hati untuk menerima pernyataan dari orang lain yang bisa saja pedas, nggak ngenakin, dan bikin kesal, padahal itu jujur.
***
“Mas, kamu kok aneh sih?”
Ah, sudahlah....
Entah sudah berapa banyak orang yang bilang kalo saya ini aneh. Saya nggak tahu berapa jumlah resminya, karena pihak BPS nggak pernah ngasih data pas diminta. Yang jelas banyak. Berawal dari beberapa teman saya di SMA sampai sekarang jadi mahasiswa. Mereka sering nyeletuk, “kamu kok aneh sih?”. Satu, dua, tiga orang bilang seperti itu saya cuek saja. Tapi semakin lama satu, dua, tiga orang tadi berubah jadi puluhan jumlahnya. Sekarang hampir setiap orang yang mengenal saya bilang seperti itu.
Apa yang salah dengan saya?
Saya jadi bingung. Saya manusia, jenis kelamin laki-laki (dilihat dari gambar), doyan makan, suka sama cewek, punya SIM dan KTP, punya seragam sekolah, makan juga nasi. Terus anehnya dimana? Saya mau bertanya tapi bingung kemana..
Saya teringat Ebit G Ade pernah berkata dalam liriknya, “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.” Nah, saya coba saran itu dan segera mencari tanah lapang dimana terdapat banyak rumput disana. Setelah ketemu rumput, saya mencoba bertanya pada mereka. Satu, dua, tiga kali saya bertanya tapi rumput itu tidak menjawab, hanya bergoyang. Ternyata rumput memang nggak bisa ngomong, hanya bisa bergoyang. Terus kenapa tadi saya bertanya? Saya merasa bego. Sebagai seorang akademisi saya merasa gagal.
Salah satu teman saya bilang, “Tanya sama diri kamu sendiri, kenali diri kamu sendiri!”
Saya berfikir bagaimana caranya bertanya pada diri sendiri? Oh, iya pakai cermin. Kalo kita bercermin, kita bisa melihat diri kita sendiri di dalam cermin. Oke, saya langsung berdiri di depan cermin. Satu, dua, tiga kali saya bertanya, tapi bayangan di dalam cermin malah ikut-ikutan nanya balik. Saya coba lagi terus bertanya. Lama di depan cermin sampai cerminnya bosan. Tapi dia nggak ngasih jawaban. Malah ikut-ikutan bertanya. Kampret!!
Saya kembali bingung.
Sampai saya menemukan selembar kertas kusut yang terselip di dalam sebuah buku pas beres-beres. Iya, selembar kertas kusut yang saya corat-coret pas masih menjadi mahasiswa baru. Selembar kertas kusut yang mungkin sengaja saya simpan. Selembar kertas kusut yang sedikit memberikan jawaban atas pertanyaan, “kok kamu aneh sih?”
***
Saya masih ingat betul, pertengahan tahun 2008 saat masih berstatus mahasiswa baru. Saya mengikuti hampir seluruh kegiatan ospek di kampus. Sebenarnya semua kegiatan tersebut bisa ditebak arahnya bakal kemana, kan namanya juga “pengenalan kehidupan kampus”. Apalagi ospek di fakultas saya berlangsung selama satu semester, dan saya termasuk angkatan pertama sebagai percobaan. Lumayan kampret sih. Kalo dipikir paling dari baca buku, lihat peraturan, tanya kakak tingkat semua pasti kelar. Bisa saja semua itu saya lakukan dan nggak harus capek-capek bangun pagi buta, berpanas ria, dan baru pulang saat matahari sudah lenyap. Tapi satu hal yang nggak bakal saya peroleh kalo memutuskan seperti itu. Saya nggak akan punya kenangan tentang masa itu.
Pas ospek kami dibagi per pleton barisan. Suatu saat di pleton saya hanya 4 orang saja yang hadir, kalo formasi lengkap sekitar 30 orang. Hal itu juga terjadi pada pleton lain. Mungkin pada bosen dan males, makanya acara ospek yang total peserta 1200 lebih berasa semacam konser besar yang nggak laku. Karena panitianya lebih banyak daripada penonton yang datang.
Sepi.
Saat itu mentor (pendamping) saya mengadakan game untuk “menghibur” empat orang anak yang telah sok rajin dan “rela” hadir di hari itu, termasuk saya. Mas Faris (mentor saya) menyuruh kami semua mengambil selembar kertas. Pokoknya selembar kertas, bagaimana pun cara kami mendapatkan, apakah dengan cara halal atau haram yang penting siapakan selembar kertas. Waktu itu saya minta kepada teman, karena nggak bawa apa-apa. Modal saya ke kampus cuma dua : nyawa sama papan nama.
Sambil posisi duduk Mas Faris menjelaskan peraturannya. Selembar kertas itu dibagi dua bagian. Bagian atas untuk menggambar sedangakan bagian bawah dibagi lagi mejadi dua kolom. Kemudian memberikan instruksi yang hanya sekali diberikan, tanpa diulangi lagi.
“Dibagian atas, silakan kalian gambar sosok manusia. Terserah kalian. Bebas. Nah, kolom sebelah kiri kalian isi dengan 4 kelebihan gambar kalian, dan yang kanan kalian isi dengan 4 kekurangan gambar kalian. Waktu menyelesaikan hanya satu setengah menit. Nggak ada perpanjangan. Jadi, selesai tidak selesai harus dikumpulkan. Oke, waktu dimulai!”
Tiga orang teman saya buru-buru menggambar, dan saya buru-buru mengambil pulpen dari tangan Mas Faris dengan paksa kemudian buru-buru ikutan menggambar. Kertas saja minta apalagi pulpen. Kan sudah saya bilang, saat itu modal saya ke kampus cuma dua : nyawa sama papan nama.
Menggambar di kejar waktu itu rasanya nggak enak banget. Nggak jauh beda pas boker tapi diluar ada yang terus gedor-gedor pintu. Jadi kurang khusyuk. Apalagi Mas Faris berdiri sambil teriak kalo waktu sudah mau habis.
“30 detik lagi...20 detik lagi..”
Menjelang sepuluh detik terakhir, hasil gambar saya selesai. Saya menggambar seorang nenek penjual jamu gendong, bawa tongkat. Ya, apapun hasilnya saya mengganggap itu gambar orang. Lantas buru-buru saya mengisi dua kolom dibawahnya. Otak saya mampet, detak jantung meningkat, keringat dingin keluar, tangan semakin pegel.
“3 detik lagi..”
Saya isi apa yang terlintas di kepala.
“Stop. Waktu habis!!”
Otak saya kram. Kampret!!
Kemampuan menggambar saya memang cetek. Apalagi ini waktunya cepet banget, ditambah mengisi ini itu pula. Perpaduan yang pas untuk membuat otak serta tangan kram. Awal masuk SMP saya pernah menulis surat cinta, biar lebih keren saya kasih gambar hati warna merah. Tapi pas saya kasih malah dikira gambar apel di pasar. Payah. Sebagai penggemar rubrik gambar di Majalah Bobo saya gagal.
Setelah menerima hasil gambar kami semua, Mas Faris tersenyum. Semacam senyum puas melihat hasil kebrutalan 4 mahasiswa baru yang “sok rajin”. Sok rajin karena mahasiswa lain pada bolos ospek, eh malah nongol di kampus. Kemudian menjelaskan maksud dari kebrutalan barusan.
“Jadi game tadi adalah untuk mengenal diri sendiri. Karena saat kita terdesak, kita akan menampilkan diri kita sendiri. Kalo masalah gambar itu imajinasi kalian. Nah, kalo yang kalian tuliskan di kolom kelebihan dan kekurangan, kemungkinan besar itu ya kelebihan dan kekurangan kalian sendiri.” kata Mas Faris kemudian menyerahkan hasil karya kebrutalan kepada kami sambil menahan tawa.
Berarti dia mengetahui kelemahan saya. Sial!
Saya langsung melihat selembar kertas hasil minta-minta sama teman yang sekarang sudah terisi coretan hasil kebrutalan. Gambarnya lumayan ancur. Apakah saya juga ancur?? Entahlah..
Saya membaca kedua kolom yang dibawah, kelebihan dan kekurangan. Di kolom kelebihan tertulis : GAMBAR SUPERHERO, PEJUANG, KREATIF, PANTANG MENYERAH.
Sedangkan di kolom kekurangan tertulis : GAK JELAS, BIKIN BINGUNG, KASIHAN, PAS!!. Saya diam memandangi selembar kertas itu. Dari keduanya, saya lebih percaya apa yang tertulis di kolom kekurangan. Absurd banget.
Selembar kertas itu langsung saya simpan sampai sekarang.
Pernah juga saya melakukan permainan ini ketika diminta mengisi pembekalan kepada panitia ospek baru. Masih dengan peraturan yang sama mulai selembar kertas, dua bagian, dua kolom, satu setengah menit. Saat mereka mengisi selembar kertas, sengaja saja berjalan sambil melihat apa yang mereka gambar dan tulis.
Dari gambar saya menjumpai Naruto, Son Go Ku, sampai jin botol. Saya tertawa. Saya terpaksa geleng-geleng melihat salah seorang dengan pede menuliskan kata : Macho, Cool, Keren, Cakep di kolom kelebihan. Pas saya lihat mukanya kayak (maaf) muntahan biawak. Juga nahan ketawa pas ada cowok nulis kata : Banci, Maho di kolom kekurangan. Andai dia tahu telah menyebarkan aib sendiri.
That’s a game!
Terlepas dari permainan itu, terlepas dari itu semua, paling tidak saya sedikit tahu kenapa banyak orang yang bilang saya ini aneh. Mengetahui kelebihan dan kekurangan itu memang penting untuk menjalani hidup ini. Namun bagi saya pribadi, lebih penting mengetahui kelemahan kita lebih awal daripada kelebihan. Mencari kelebihan itu gampang karena kita sendiri yang menentukan. Tapi untuk mencari kelemahan, kadang kita perlu kebesaran hati untuk menerima pernyataan dari orang lain yang bisa saja pedas, nggak ngenakin, dan bikin kesal, padahal itu jujur.
***
“Mas, kamu kok aneh sih?”
Ah, sudahlah....
Monday 10 June 2013
Alone again naturally....
Paijo terbangun dari tidurnya sekitar pukul 8 malam, setelah memulainya 4 jam sebelumnya. Begitu nyawanya terkumpul, Paijo bergegas keluar kamar dan mencari penghuni kos lainnya. Namun Paijo tidak menemukan satu manusia pun di tempat kosnya. Semuanya lenyap entah kemana. Paijo terus mondar-mandir, bolak-balik dari kamar satu ke kamar lainnya. Tapi hasinya tetap sama. Nihil. Nggak ada satu pun penghuni kos yang ditemuinya. Paijo langsung mengambil handuk dan peralatan mandi, kemudian berkata, “Jancuk! Iki kosan ta kuburan seh. Arek-arek nangdi kabeh ini?”
Malam itu pun Paijo sendirian di tempat kos. Kesepian.
***
Pasti semua orang pernah mengalami kejadian seperti Paijo di atas. Meskipun bukan berlabel anak kos, tapi setiap orang pernah terlibat dengan rasa sepi atau kesepian.
Nah, kalo ngomongin soal pengalaman-pengalaman kesepian, ternyata bukan hanya keripik maicih, mie setan, sama game angry birds saja yang punya level, kesepian pun juga punya level sendiri. Sesuai dengan “kadar” kesepian yang dialami, saya mencoba mengklasifikasikan level kesepian tersebut...
Langsung aja nih, cekibrooott...
Level SATU!
Pada level satu ini, bisa dibilang kalo kesepian yang dialami hanya bersifat sementara. Misalanya terjadi saat kita bangun tidur atau seharian nyepi di dalam kamar sendirian. Nah, pas kita bosen terus pengen ngobrol sama temen, ternyata mereka semua nggak ada di tempat, lagi keluar beli makan atau camilan. Yah, paling setengah jam juga sudah balik. Akhirnya sambil menunggu mereka pulang kita mainan henpon, mulai nelpon temen, pacar (kalo punya), buka-buka situs jejaring sosial atau iseng narsis di depan kamera. Begitu teman kita kembali, udah nggak kesepian lagi. Sederhana banget.
Level DUA!
Pada level ini juga nggak jauh beda dengan level sebelumnya. Namun, dalam segi waktu, kesepian di level ini “lumayan” lebih lama bila dibandingkan dengan level pertama (ya iyalah, namanya juga level diatasnya!). Misalnya ini terjadi pas masuk minggu tenang sebelum ujian. Ketika para penghuni kos lain mudik ke rumahnya masing-masing selama seminggu, tapi kita justru bertahan di kos karena masih terbelit “urusan”. Nah, selama itu kita harus bersiap untuk “terlibat” dengan kesepian setiap hari, selama seminggu.
Mau main PES nggak ada lawan, mau ngajak ngopi bareng nggak ada temen. Akhirnya kita yang gantian pergi ke tempat kos teman kita lainnya, bahkan kalo perlu sampai nginep. Yah, itung-itung sekedar mencari musuh untuk bermain PES atau nongkrong sambil minum kopi. Kalo bertahan sendiri di kos paling juga baca buku, bertemu teman dunia maya, ngerjain tugas (sok rajin). Kalo laper ya keluar beli makan. Kalo sudah capek ya tidur. Siapa tahu di dunia mimpi kita bertemu cewek impian. Masa di dunia nyata kesepian, di dalam mimpi kesepian juga. Itu apes banget.
Level TIGA!
Level ini lumayan mulai berat, karena sudah masuk di level tiga. Dimana di level ini yang dimaksud adalah kondisi kesepian karena kita nggak punya siapa-siapa lagi. Tinggal kita sendiri. Temen nggak ada, sodara jauh, pacar entah kemana. Dan parahnya itu berlangsung dalam jangka waktu lama. Biasa dibayangin dong bagaimana rasanya. Yah, mungkin rasanya nggak jauh beda dengan puisi di film AADC...
Ku lari ke hutan kemudian menyanyiku
Ku lari ke pantai kemudian teriakku
Sepi, sepi dan sendiri aku benci
Ingin bingar aku mau di pasar
.......
Pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh
......
Atau aku harus lari ke hutan lalu balik ke pantai?
Entah apa yang dirasakan oleh pembuat puisi saat itu. Coba kita pikir, dia sampai lari ke hutan cuma buat nyanyi-nyayi. Jauh-jauh ke pantai cuma buat teriak-teriak. Sampai pergi ke pasar cuma pengen merasakan ramai, dan akhirnya cuma bisa mecahin gelas biar ada suara, biar ramai. Sama ceritanya kayak jomblo yang tiap malem nggak pernah matiin tipi di kamar. Nggak ditonton sih, tapi biar ada suara-suara aja. Kasihan. *pukpuk*
Level EMPAT!
Yang namanya level pasti ada yang paling tinggi, dan seperti yang lain kalo level tinggi itu sudah pasti yang paling susah. Karena ini kesepian, jadi level tinggi itu lebih kepada “mengenaskan”. Mengenaskan level dewa lah kalo istilah sekarang. Nah, ini biasanya terjadi pada sebagian kecil orang. Dimana orang tersebut justru merasakan kesepian padahal dia sedang berada di tengah-tengah keramaian. Bingung? Iya, KESEPIAN DI TENGAH KERAMAIAN!
Misalnya pas jalan bareng teman-teman, ngobrol sambil ngopi, ketawa haha-hihi bareng. Tapi dalam hati kita merasa sepi. Semacam sepi yang nggak lazim, karena berada dalam kondisi yang semestinya nggak memungkinkan untuk merasa sepi. Tapi justru kita merasa sepi. Kita merasa kosong. Kosong karena biasanya kita melewatkan keramaian ini bersama seseorang, dan untuk kali ini orang tersebut sedang tidak bersama kita. Entah nggak bersama untuk saat ini saja, sudah pergi entah kemana, atau memang telah tiada. Hmm..meskipun ramai, tapi seperti ada yang hilang. Setiap orang yang pernah mengalami, pasti punya cara masing-masing untuk mengatasinya. Yah, inilah kesepian level dewa!
...menikmati pedihnya cinta, pria kesepian...
...menikmati dinginnya hati, pria kesepian... (Pria Kesepian – Sheila On 7)
Yah, itulah sepi. Semua orang pasti pernah merasakan yang namanya sepi. Entah berada di level berapapun. Entah pelarian apa yang dilakukan untuk mengusir sepi. Karena sepi, nggak akan pernah sederhana.
Hantu, Riwayatmu Kini...
Kalo ngomongin soal hantu, saya teringat dengan salah satu penghuni kos, namanya Mas Andy. Sepengetahuan saya, dia takut banget sama yang namnya hantu. Jangankan ketemu hantu, denger suara tetesan air yang mengenai selembar seng saja langsung mengeluarkan jurus langkah seribu. Itu baru denger dan beranggapan itu adalah setan yang sedang iseng. Apalagi kalo sampai ketemu dengan hantu beneran. Mungkin bisa dapat medali emas olimpiade lantaran kecepatan larinya ngalahin Usain Bolt, sangking kencengnya.
Tapi itu dulu, dan semua berubah ketika saya punya member rental DVD. Suatu saat tinggal kami berdua saja di tempat kos, sedangkan penghuni lain mudik. Saya mengajak Mas Andy untuk menyewa beberapa kaset film untuk ditonton sampai pagi. Itung-itung menghabiskan waktu selain main PES. Ternyata mas Andy setuju, malah dia yang membayar semua kaset sejumlah 5 buah.
Alhamdulillah.
Hampir setengah jam berada di rental kaset, kesana-kemari sambil memilih kaset mana yang mau dipinjam. Formasi pinjam kasetnya sih, 4 buah kaset film beneran, dan yang terakhir film buat seneng-seneng. Refresing buat otak. Nah, saya tawarin film hantu kepada Mas Andy pas melihat ada salah satu judulnya yang “serem”.
“Mas, berani nonton film hantu nggak?”
“Hantu Indonesia?”
Saya ngangguk.
“Nggak ah. Takut, Kim. Mending hantu impor aja deh.”
“Kan sama-sama hantu, Mas?”
“Kalo hantu impor itu nunggu diperiksa bea cukai dulu, baru bisa masuk kesini. Nah, kalo hantu lokal kan sudah lama bertebaran bebas disini. Siapa tau nanti pas pulang tiba-tiba sudah ada di sebelah. Serem. Ogah ah.”
“Yaelah. Nggak ada horornya.”
“Beneran? Awas sampai ninggal tidur!.”
“Sip!”
Mas Andy langsung melihat film dalam daftar katalog yang dipajang. Karena kami cowok maka kriteria yang dicari adalah : yang ada cewek cakepnya. Yah, wajarlah namanya juga cowok, masa mau lihat hantu terus. Kan bisa menyebabkan mata kering dan pecah-pecah, makanya butuh yang “seger-seger”. Akhirnya ditentukan film soal pocong dengan cover bergambar Donita. Sip. Saya setuju.
Seger abis.
Malam harinya, kami berdua langsung memutar film soal pocong itu. Ajaib, selama menonton Mas Andy nggak terlihat ada wajah takut saat pocong sedang mengeluarkan bakat aktingnya. Malah ketawa ngakak sambil terus ngunyah kacang. Apalagi pas lihat Donita bangun tidur cuma pake hot pans sama kaos ketat banget. Sumpah, pupil mata langsung membesar.
Seger abis.
Sejak malam itu, Mas Andy malah ketagihan terus nonton film “horor” Indonesia. Tapi masih takut kalo harus berhadapan satu lawan satu di dunia nyata.
Saya juga sih.
Soalnya film horor Indonesia itu nggak bikin serem tapi malah bikin tegang. Entah bagian tubuh mana yang tegang. Pokonya tegang aja. Beda kayak dulu pas jamannya Suzana. Lihat cover kasetnya aja udah minta dianterin kalo pergi ke kamar kecil. Udah gitu efek tegangnya itu berasa banget. Padahal ceritanya juga sederhana, ada cewek mati diperkosa, terus jadi sundel bolong, cekikikan malem-malem. Tapi serem abis. Abis itu nggak bisa tidur karena ketakutan.
Nah kalo sekarang, sama sih nggak bisa tidur juga, cuma beda kasus, nggak bisa tidur karena mikir yang nggak-nggak. Terus jadi sering pergi ke kamar mandi sendiri tanpa perlu minta ditememin. Di dalem lama, nggak tau pada ngapain.
Pas nyewa kaset film, ada beberapa film yang bikin otak saya lumayan berfikir. Ada film horor judulnya “Pocong Minta Kawin”. Sumpah! Pertama kali pegang katalog film itu, saya mikir film itu bercerita tentang pocong yang nggak laku-laku sehingga mengalami masa kegalauan akut. Masalahnya, pocong cuma bisa loncat-loncat, kalo melihat ke judul filmnya yaitu “Pocong Minta Kawin”...Nah, pertanyaannya cuma satu : bagaimana cara pocong ngasih tau ke orang-orang kalo dia lagi ngebet banget pengen kawin?
Saya nggak tau. Nggak pernah juga belajar bahasa isyarat pocong. Bisa jadi jejak loncatannya itu berbentuk semacam sandi morse. Ada titik ada garis panjang. Jadi bisa dibaca. Entahlah, belum pernah gaul sama pocong.
Tapi memang lima tahun terakhir ini dunia perfilman Indonesia sedang ramai dengan film-film hantu. Hampir tiap tahun selalu ada judul film baru soal hantu. Mulai pocong yang dibikin seri 1,2....sudah kayak sinetron tersanjung. Ada pocong yang diadu sama kuntilanak. Suster ngesot sampai keramas. Tapi dari mereka semua nggak ada satupun yang pernah meraih piala citra. Jangankan meraih, masuk nominasi juga nihil. Harusnya kan ada kategori untuk menghormati keberadaan mereka. Seperti kategori artis tersering dalan setahun. Nah, mereka sudah pasti dapat piala tuh.
Okelah, kalo soal film itu urusan produser yang punya duit. Mau bikin apa nggak terserah mereka. Kalo kita mau nonton atau tidak juga terserah masing-masing. Tapi masalahnya bukan itu saja, lantaran terlalu sering film hantu muncul, ada pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat, terutama di kalangan remaja dan anak-anak. Iya, ada penurunan nilai “serem” ketika nama-nama hantu itu disebut. Anak kecil sekarang nggak takut lagi kalo mendengar kata pocong, kuntilanak, atau suster ngesot. Yang ada malah nafsu gara-gara melihat artis pemainnya.
Bukan itu saja, para wirausaha muda juga melirik ini bukan sebagai sebuah hal yang harus ditakuti, tapi sebaliknya ini adalah peluang untuk menciptakan usaha. Makanya muncullah nama makanan seperti mie setan, rawon setan, sambel iblis, singkong setan. Seperti orang latah, sekarang ini semua orang berlomba-lomba bikin usaha makanan dengan embel-embel nama setan. Mungkin beberapa tahun lagi, bukan hanya usaha kuliner yang memakai nama setan, tapi merambah ke usaha lain, laundry setan mungkin. Dimana setan-setan sedang dioutsourcing untuk mencuci pakaian sambil ketawa cekikikan. Hihihhiiii..
Nggak ada serem-seremnya.
Yah, kalo fenomena semacam ini terus-menerus terjadi, para hantu dan setan diekploitasi habis-habisan cerita pribadinya, bahkan dipaksain ke cerita yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan setan, bukan tidak mungkin anak-anak kita nanti nggak takut sama sekali pas dengar nama hantu. Malah kemungkinan besar para hantu itu dijadikan bahan becandaan.
Saya nggak bisa ngebayangin cewek-cewek sedang ngumpul di kantin, tiba-tiba ada cowok culun yang ngajak kenalan mereka, tapi mereka malah bilang..
“ Ngaca dong, muka culun kayak pocong pake mau ngajak kenalan!”
Atau pas naik motor sama pacar...
“Sayang, ini motor apa suster ngesot sih? Lelet banget jalannya.”
Atau, ketika mamanya nelpon malem-malem...
“Aduh, Ma. Kuntilanak aja jam segini belum pulang, masa aku udah harus pulang sih.”
Dan masih banyak lagi...
..Oh, paraaa hantuu...riwayatmuu kiniiii.... (nyanyi ala bengawan solonya Mbah Gesang)
Meskipun saya bukan presiden, tapi kalo hal ini bener-bener terjadi, saya ikut PRIHATIN...
Monday 3 June 2013
Childhood..!!
Baru tidur beberapa jam setelah melihat final liga champions. Pagi ini anak-anak kecil di samping kos sudah pada teriak-teriak sambil main bola. Tendang sana-sini. Berisik banget. Kenapa anak-anak ini nggak pada siap-siap berangkat sekolah? Saya baru sadara kalau hari ini adalah hari minggu. Merasa terganggu saya langsung keluar kamar. Pengennya saya marahin. Karena ini bukan yang pertama. Sudah sering!
Tapi begitu melihat mereka bermain bola dengan tampang polosnya dan ini juga hari minggu, saya batalkan niat memarahi mereka. Melihat mereka, justru teringat masa kecil saya. Ya, masa-masa yang membuat saya kangen di tengah kantuk yang melanda.
***
Saya kangen. Kangen pas jalan di depan rumah pertama kali dibikin aspal mulus. Hampir tiap minggu saya nggak pernah absen untuk lari pagi. Setelah sholat subuh berjamaah di masjid sebelah rumah, saya dan beberapa temen langsung berlari-lari sambil menanti datangnya mentari. Kadang seorang teman saya berkata kalo ada anjing yang mengejar, karena masih agak gelap kami semua berlarian sekuat tenaga. Padahal dia berbohong. Dia puas banget bisa ngerjain. Setelah jauh tertentu dan capek, kami memutuskan pulang tapi nggak pakai lari lagi. Melainkan menunggu cikar (gerobak gede yang ditarik sapi, bahasa Indonesianya sih pedati), sambil menunggu biasanya beli jajanan di tukang sayur yang lewat. Entah itu gorengan atau kue pasar itung-itung bekal selama naik cikar. Kami duduk di belakang dan menghadap ke belakang pula. Benda itu pun berjalan pelan karena menggunakan tenaga sapi. Sambil makan jajanan itu sesekali salah satu mulut diantara kami menyanyikan lagu “Damai”-nya Wayang. “Oh, damainya hatiku...kala mentari...bersinar lagi..”. Pas saya kecil lagu itu populer sekali.
Saya kangen. Kangen pernah ikutan lomba cerdas cermat tingkat SD. Saat itu saya masih duduk di kelas 5. Entah apa yang terjadi, saya dan guru di sekolah lupa kalau lomba dilaksanakan hari itu. Baru sadar setelah hampir pukul 9 pagi. Saya sudah payah karena jam pertama sudah habis-habisan bermain bola pas jam olahraga. Pak Karni (guru saya) langsung memacu motornya kenceng, berharap saya bisa cepat sampai. Akhirnya kami sampai jam 9, padahal lomba dimulai dua jam sebelumnya. Saya telat, tapi tetap masuk ke dalam kelas dan diketawain peserta lainnya. Saya cuma cengengesan kemudian duduk di kursi yang tersisa. Cuma satu, di pojok paling belakang. Waktu yang tersisa nggak ada satu jam, saya kebut mampus itu lima lembar soal dari lima mata pelajaran berbeda. Begitu keluar, saya ngobrolin bola dengan salah satu peserta, kebetulan dia sama-sama Milanisti (fans AC Milan). Bosan menunggu pengumuman yang lama, kami ke kantin yang agak jauh sambil beli gorengan. Pas asyik ngobrol, saya dicari Pak Karni kesana kemari, dan cuma geleng-geleng pas menemukan saya sedang asyik ngunyah pisang goreng di kantin. Saya disuruh berdiri di lapangan, di depan peserta lain, mereka semua tepuk tangan, saya masih celingak-celinguk kayak orang bego. Ternyata saya berhasil masuk lima besar, dan lolos untuk tingkat kabupaten. Pas pulang, Pak Karni bilang, “Tadi banyak guru yang protes karena kamu menang. Mereka nggak percaya dan minta dikoreksi ulang. Makanya lama..”. Saya cuma nyengir, sambil nggunyah kue jatah Pak Karni.
Saya kangen. Kangen pernah ikut lomba 17 Agustus antar TK di kecamatan. Pagi-pagi sekali, saya diantar Bapak ke TKP (tempat keberlangsungan perlombaan). Begitu sampai, disana sudah berkumpul peserta dari TK lain. Ramai sekali. Pedagangnya malah lebih ramai daripada pesertanya. Melihat peserta lain yang posturnya tubuhnya lebih kecil, Bapak saya langsung bilang, “Alah, yang lain pada kecil-kecil, Pras. Sikat habis!”. Saya ngangguk. Bapak saya senyum setelah berhasil memprovokatori anak laki-lakinya. Saya kebagian lomba lari, bolak balik mengambil dan menaruh bola. Ada lima bola yang harus diambil. Pas bola terakhir saya paling depan. Saya yakin pasti menang. Entah karena terlalu semangat atau perintah otak yang salah, tiba-tiba saya kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling di lapangan. Alhasil, si kampret di belakang saya yang jadi juara, dan saya kalah. Bapak saya malah ngetawain. Pas ditolong, saya langsung nangis di tempat. Bukan karena kalah, tapi lebih kepada malu. Malu sama anak cewek Bu Guru TK yang ikut melihat “akrobat” saya barusan. Soalnya saya suka sama dia. Uhuk!
Saya kangen. Kangen pernah ngasih sesuatu untuk sekolah saya. Sejak kecil saya pramuka-holic. Makanya saya dan beberapa teman dilatih khusus untuk dikirim mewakili SD di perlombaan Itajamnas (Ikatan Jambore Nasional). Saat itu saya masih kelas 6, dan dipilih menjadi ketua regu dengan alasan : suara saya paling kenceng kalau teriak. Alasan yang sederhana sekaligus kampret sekali. Disaat para regu lain menggunakan nama regu mereka dengan para “raja hutan” seperti singa, harimau, ular, dan elang. Regu kami malah menggunakan nama “kijang”. Bukan karena anti mainstream, tapi pas saya beli di toko yang tersisa hanya bendera dengan gambar kijang. Ah, sudahlah...(dengan logat babe cabita). Berkemah di tanah lapang selama 4 hari, tidur di dalam tenda, dinginnya angin malam, serta harus mandi di sungai pagi-pagi buta itu rasanya nggak enak banget. Sumpah. Tapi kami tetap semangat mengikuti semua perlombaan yang ada. Mulai tali temali, baris-berbaris, semaphore, morse, cerdas tangkas, jelajah alam, sampai kenalan dengan cewek (yang terakhir itu saya sendiri yang mengadakan, khusus untuk regu kami). Di hari terakhir, regu kami dinobatkan sebagai juara pertama, juara umum. Saya maju untuk mendapat hadiah, juga pegang piala. Pas balik ke barisan regu, teman-teman sudah bersorak kegirangan, saya memasang tampang cool ke peserta lain yang semalam nyela kami gara-gara bernama “regu kijang”. Saya menatap wajah songong mereka seolah berkata, “Lu orang boleh pakai nama raja hutan. Tapi disini kami yang jadi rajanya, Bung!”. Puas banget. Perjalanan pulang kami lebih memilih menaiki mobil bak terbuka bersama barang-barang. Di atas mobil, pegang piala, nyanyi rame-rame, itu kemenagan kita. Saya sudah berasa seperti Paolo Maldini pas AC Milan jadi juara Liga Champions. Great!
Saya kangen. Kangen menikmati setiap kali hujun turun. Berlari-lari di jalanan bersama teman-teman. Bersorak, berteriak, apapun itu yang penting batin senang. Membuat perahu dari batang pisang, menaiki kemudian menghanyutkan perahu itu di sungai. Mengikuti arus sungai sampai entah kemana ujungnya. Kemudian pulang melihat orang dewasa yang berteduh di emperan toko, dan menganggap bahwa mereka semua itu aneh karena takut dengan hujan. Juga tak lupa berbuat sedikit maksiat dengan mencuri mangga atau rambutan yang ditemukan di jalan. Saat pemilik memilih berdiam diri di dalam rumah karena di luar sedang hujan deras, kami memanfaatkan kesempatan itu. Bagai sebuah geng yang terlatih, salah satu dari kami hanya memberi aba-aba dengan kata “beraksi”, tanda persiapan harus dimulai. Saat itu, salah satu dari kami bilang, “Saatnya kita beraksi!”. Terdengar keren banget. Padahal mau nyolong mangga. Ampun deh...
Saya kangen. Kangen kucing-kucingan dengan ibu soal tidur siang. Ibu saya adalah orang yang sangat menganggap penting tidur siang. Makanya sejak kecil saya dilatih untuk tidur siang. Tapi karena saya kecil pengen banget keluar rumah, bermain bersama teman-teman di luar. Yang ada setiap kali disuruh tidur siang, saya hanya berpura-pura masuk ke dalam kamar. Setelah semua tenang, saya berjalan dengan berjinjit keluar rumah. Kemudian main dengan teman-teman. Begitu pulang dan ketahuan, sebuah jeweran mampir di telinga. Panas banget. Tapi saya nggak pernah kapok. Dasar badung!
Saya kangen. Kangen pernah ikut karnaval anak TK. Saya dipasangkan dengan anak guru TK yang cantik (sebut saja Ira), dan diam-diam saya suka dengan Ira. Cinta monyet lah. Saat itu saya didandai pakaian adat betawi. Saya jadi abang, dan dia jadi none. Pakaian saya lengkap sampai bawa golok beneran segala. Pas selesai karnaval, saya istirahat dengan duduk di bangku bawah pohon. Tiba-tiab Ira juga duduk disamping saya. Saya bingung langsung bertanya, “Kok kamu ikutan duduk disini sih?” dan dengan lugu Ira menjawab, “Kan aku jadi pasangaan kamu sekarang.”. saya pasang tampang cool, padahal batin seneng banget. Kemudian ibunya memberi roti isi untuk Ira. Karena terlalu gede dia bilang pada saya, “Pras, yang separuh buat kamu. Kan kita pasangan.”. Saya mengangguk, kemudian mengambil potongan itu. Ira tersenyum, tapi saya tetap pasang tampang cool. Dalam hati seneng mampus. Sumpah. Begitu lulus TK, kami nggak pernah ketemu lagi karena dia pindah. Sampai tiga belas tahun kemudian, saat saya menjadi mahasiswa, semesta mempertemukan kami kembali. Ira tumbuh menjadi gadis dewasa, dan masih tetap cantik. Bedanya saat itu dia sudah punya pacar, begitu pula dengan saya. Dia juga bilang, “Aku nggak pernah lupa atas kejailan-kejailan kamu dulu.”. Kami berdua tertawa bersama.
Saya kangen. Kangen pernah main bola voli satu tim sama bapak. Bapak pas muda pernah jadi pemain boal voli, makanya badannya terbilang tinggi. Begitupun saya ketika masuk SMP juga terbilang lumayan tinggi. Makanya pas di desa ada pertandingan bola voli antar RT dalam rangka 17 Agustus, saya diajak main. Saya bagian tosser (pengumpan), sedangkan bapak dan yang lain bagian smash. Peserta antusias, meskipun hadiahnya “hanya” beberapa ekor ayam dan bebek (yang menang langsung pesta bakar-bakar). Saat itu RT kami nggak sempat masuk final, dan tidak tidak mendapatkan hadiah apa-apa. Tapi saya mendapatkan pengalaman berharga. Ya, bisa main satu tim dengan bapak.
Saya kangen. Kangen dimarahin ibu gara-dara Sheila on 7. Sekitar akhir 90-an, Sheila On 7 muncul sebagai grup band fenomenal. Album pertama mereka tembus satu juta kopi, dan saya langsung jatuh hati dengan karya-karya mereka. Sampai sekarang. Saat itu ada sebuah TV swasta yang menayangkan langsung konser mereka di Jakarta, bertepatan dengan musim ujian kenaikan kelas. Karena suka, saya ngotot untuk melihat konser tersebut sampai habis, baru belajar untuk ujian. Tapi ibu malah marah, tapi saya tetap ngotot. Akhirnya ibu bilang sambil marah, “Kalu begitu, besok jawaban ujiannya diisi semua dengan Sheila On 7!”. Malam itu saya tetap menonton konser sampai habis, dan puas banget. Pas pembagian raport kenaikan, ibu nggak pernah marah lagi setiap kali saya “terlibat” dengan Sheila On 7. Karena saya berhasil mendapat angka satu pada kolom bertuliskan “peringkat”. Sampai sekarang, setiap saya minta izin untuk melihat konser Sheila On 7, ibu hanya bilang, “Ati-ati..”. Thank’s Mom..:)
***
Saya kangen banget dengan masa kecil saya...
Saya jadi senyum-senyum sendiri kalau mengingat itu semua. Ya, disaat semakin bertambahnya umur, bertambah ilmu, juga bertambah beban pikiran. Paling tidak saya menikmati betul masa kecil saya, masa kenakalan, dan masa pembelajaran.
Andai kalau bisa, saya ingin pinjam mesin waktu milik Doraemon dan kembali ke masa kecil saya dulu. Bukan untuk memperbaiki hal yang buruk, dan menggantinya dengan yang baik. Itu sudah terjadi, dan biarlah. Saya hanya ingin melihat kepolosan wajah saya saat kecil. Saat melakukan apa yang disenanginya. Belum tahu itu benar atau salah. Saya pengen mengucapkan selamat atas keberhasilan saya, memberi dukungan atas kegagalan saya. Atau menertawakan habis-habisan kekonyolan saya, terutama saat jatuh dan harus menangis. Menangis karena rasa malu dilihat cewek yang saya suka.
Masa-masa itu saya belajar dan tumbuh, sampai sekarang. Saya kangen masa-masa itu...
Wednesday 3 April 2013
Gravitasi Cinta
Sejak kecil saya suka mendengarkan radio. Karena radio adalah hiburan alternatif selain media televisi tentunya. Menikmati siaran radio juga bisa dengan melakukan aktivitas lain, misalnya baca buku atau bengong ngeliatin cicak kawin di tembok. Karena yang kita perlu hanya mendengarkan. Lewat radio saya mendapat banyak hiburan, mulai dari sandiwara radio yang marak di tahun 90-an, berita yang terjadi sehari-hari, sampai perkembangan musik yang ada di negeri ini.
Sampai ada saat dimana radio menjadi bagian penting dalam hidup saya.
Saat itu saya masih duduk di kelas satu SMA, masih dengan kebiasaan suka mendengarkan siaran radio. Apalagi saat malam hari, lumayan buat menemani belajar selain LKS juga buku pelajaran yang nggak pernah abstain dari meja belajar. Berawal dari mendengarkan radio, saya berkenalan dengan seorang cewek, namanya Fransiska. Dia bukan pendengar, tapi sebagai penyiar tamu. Beberapa kali saya sempat mengikuti pas dia siaran. Singkat cerita kita menjadi sering ketemu terus ngobrol banyak hal. Entah kenapa ngobrol dengan penyiar radio itu bisa nyambung ke banyak hal. Mungkin karena tuntutan profesi yang memaksanya untuk punya pengetahuan luas. Dan itu saya suka. Jadi kalo ketemu nggak garing.
Kebetulan Siska keturunan Tionghoa, makanya setiap ngobrol saya selalu dipanggil dengan sebutan "Koko". Dulu saya sempat protes kenapa nama saya Rudi tapi malah dipanggil Koko. Ternyata Koko itu panggilan untuk kakak laki-laki, kalo dalam bahasa Jawa mungkin seperti "Mas". Padahal kita seumuran, tapi kenapa saya dipanggil dengan imbuhan Koko? Apakah saat itu wajah saya kelihatan lebih tua? Entahlah, yang jelas pas ngaca saya mengambil kesimpulan kalo wajah saya ini bukan hasil impor.
Dan haripun terus berlalu. Cerita selanjutnya, mungkin kalian sudah bisa menebak.
Sampai masuk bangku kuliah pun saya masih suka mendengarkan radio, terutama yang siaran diatas jam 8 malam. Lagu yang diputar juga nggak sekenceng pas pagi atau siang hari, lebih pelan musiknya. Jadi enak buat teman ngetik tugas, atau bahkan lagu pengantar tidur. Mau ngerti lagunya atau nggak, bukan masalah. Yang penting anggota badan semuanya kerja. Mulai otak yang disuruh mikir, mata disuruh menatap layar monitor, hidung untuk narik nafas, mulut untuk ngunyah, kedua tangan untuk ngetik juga ngupil, makanya sambil dengerin musik lewat radio biar kedua telingga ada kerjaan. Soalnya kalo kedua telinga sudah nggak bekerja, sudah nggak bisa mendengar, itu tandanya saya sudah masuk ke alam mimpi disertai linangan air liur.
Beberapa hari kemarin pas saya asyik ngetik di komputer, ada sebuah lagu permintaan pendengar yang diputar oleh penyiar radio. Katanya lagu itu single terbaru dari Tangga, saya nggak begitu denger apa judulnya. Sebenarnya lagunya nggak jauh beda dengan aliran musik Tangga pada umumnya. Namun ada satu baris lirik yang membuat kepala saya terpaksa berfikir. Kalo nggak salah seperti ini...
..cinta tak mungkin berhenti, secepat saat aku jatuh hati..
..jatuhkan hatiku kepadamu, sehingga hidupku pun berarti..
Dari lirik tersebut, saya mengartikan bahwa rasa cinta kita kepada seseorang nggak mungkin berhenti dalam waktu yang singkat. Sesingkat saat kita mengalami jatuh cinta kepada seseorang.
Pertanyaannya sekarang..
Apakah jatuh hati atau jatuh cinta itu bisa terjadi dalam waktu yang cepat?
Mungkin bisa saja. Karena nggak sedikit teman yang bilang kepada saya kalo hanya berinteraksi dalam beberapa kali saja dia sudah bisa menyimpulkan sendiri. Dengan yakin mengatakan kepada saya..
"Prud, sepertinya saya jatuh cinta."
Oke! Tapi kenapa jatuh cinta itu bisa dikatakan berlangsung cepat?
Namanya saja jatuh cinta.
Lihat saja buah durian yang jatuh dari pohon. Pasti cepet banget.
Dalam ilmu fisika yang saya pelajari pas SMA kemarin hal itu dinamakan dengan GJB, artinya bukan Gak Jelas banget. Tapi Gerak Jatuh Bebas, yaitu jika sebuah benda dijatuhkan dari suatu ketinggian tertentu, maka kecepatannya semakin lama semakin besar yang diakibatkan oleh pengaruh gravitasi, dalam hal ini tentu gravitasi bumi karena jatuhnya ke bumi. Kalau jatuhnya ke empang itu juga pengaruh gravitasi bumi, karena empang masih berada di dalam bumi. Apasih!
Nah, pengertian gravitasi sendiri adalah gaya tarik menarik yang terjadi antara molekul semua partikel yang mempunyai massa di alam semesta ini. Besarnya percepatan gravitasi bumi adalah 9,8 m/s2, atau untuk mempermudah pas ngerjain soal ulangan saya dulu dibulatkan menjadi 10 m/s2.
Sebenarnya partikel buah durian dan bumi saling tarik menarik, karena besarnya gaya tarik partikel bumi maka buah durian akhirnya bergerak jatuh ke bumi dengan cepat. Bahkan jika kita melempar buah durian itu ke atas, memang buah durian itu akan terlempar menjauh dari bumi tapi hanya pada sampai titik tententu (disebutnya titik maksimum) kemudian kembali jatuh ke bumi dengan semakin cepat. Makanya kalo melempar buah durian ke atas jangan lupa untuk segera lari dari posisi semula, kecuali kalo melempar buah duriannya pake roket yang dikasih pesawat ulang alik. Nanti setelah melempar kita bisa dadah dadah ke buah duriannya. Apasih!
Dan mungkin itulah kenapa dinamakan jatuh cinta. Mungkin juga ini adalah jawaban ilmiah kenapa jatuh cinta itu bisa berlangsung cepat. Karena setiap manusia adalah susunan partikel yang mempunyai massa.
Misalnya ketika seorang cowok bertemu dengan cewek cantik, baik hati, tidak sombong, rajin bangun pagi. Nah, sifat baik hati, tidak sombong, cantik dan suka bangun pagi ini bisa dianalogikan sebagai gravitasi yang mampu menarik molekul-molekul dari susunan partikel bermassa yang bernama cowok. Begitu pun sebaliknya terhadap cowok, karena cowok juga masuk ke dalam susunan partikel yang mempunyai massa, artinya punya gaya tarik juga. Tinggal seberapa besar saja kekuatan gaya tarik yang dimiliki seorang cewek itu, atau sebaliknya, gaya tarik yang dimiliki cowok.
Ketika bertemu, ngobrol bareng, atau bentuk interaksi lain yang dilakukan, disaat itulah gaya tarik menarik antar molekul terjadi. Mungkin agak alot, karena sama-sama kuat, makanya butuh waktu sampai salah satu diantaranya kalah dan tertarik menuju lawannya. Disaat itulah, salah satu pihak mengalami jatuh cinta. Jatuh karena nggak kuat lagi melawan gaya tarikan yang begitu kuat. Uhuk!
Ada pepatah mengatakan “cinta pada pandangan pertama”, dan banyak yang mengamini. Tapi tidak dengan saya. Mungkin yang lebih tepat adalah tertarik pada pandangan pertama. Karena memang hanya ketertarikan yang terjadi ketika kita memandang seseorang untuk kali pertama. Bisa karena dia cantik, ganteng, berwibawa, berkharisma, atau mempunyai senyum yang manis. Senyum sehabis menenggak sebotol madu dari Belanda. Manis Banget. Apasih!
Tapi kalo cinta itu butuh proses, butuh tarik-tarikan molekul dulu, bahkan lumayan alot sampai ada yang kalah dan menjatuhkan hatinya. Dan itu semua butuh waktu. Makanya pepatah Jawa mengatakan, Tresno Jalaran Soko Kulino. Cinta itu datang karena terbiasa. Ya, mulai terbiasa bertemu, terbiasa ngobrol bareng, terbiasa jalan bareng, terbiasa ngerjain tugas bareng, terbiasa tidur bareng. Eh, bukan!
Bahkan terbiasa saling ngejekin bareng. Itu semua butuh proses, butuh waktu sampai cinta datang karena terbiasa dengan hal itu semua.
..beri sedikit waktu, biar cinta datang karena telah terbiasa...(Dewa 19 - Risalah Hati)
Sunday 24 March 2013
Segelas Es Cincau dan Kenangan Masa Sekolah
Nggak tahu kenapa, siang hari itu panas sekali. Kota Malang yang bagi sebagian orang dianggap dingin, kini mulai beranjak panas. Entah karena sekarang banyak volume kendaraan yang beredar, berkurangnya lahan hijau di perkotaan, atau mungkin benar yang disampaikan BMKG tempo hari kalo tahun ini musim kemarau akan datang lebih cepat. Entahlah, yang jelas helm di kepala saya ini harus segera dibuka. Gerah mampus, sampai kepala rasanya cenat-cenut.
Saya pun meminggirkan kendaraan ke tepi jalan dan buru-buru membuka helm di kepala, kebetulan juga ada yang jualan es cincau. Ah, suasana siang hari yang panas dan segelas es cincau adalah perpaduan yang pas untuk meredam otak yang panas agar tetap terkendali. Begitu masuk mulut rasanya langsung seger, mata melek merem, dan pikiran langsung adem. Kalo dilihat sih nggak ada yang spesial, masih dengan es cincau yang biasa, penjual yang biasa, resep yang biasa. Mungkin faktor kondisi panas hari ini yang membuat segelas es cincau biasa itu menjadi lebih dari biasanya. Ya, terkadang kondisi dan suasana membuat hal yang terbilang biasa dan sederhana menjadi lebih dari arti dua kata itu sendiri.
Sambil ngadem, itung-itung juga istirahat bentar, saya melihat beberapa anak berseragam sekolah SMA yang duduk di sebelah sedang ketawa-ketiwi, ngobrol kesana kemari, nggak ngerti apa yang mereka jadikan topik obrolan. Apakah siang tadi mereka ketahuan nyontek karena kurang profesional? jadi sasaran guru matematika karena duduk di pojok belakang? atau berhasil ngerjain teman sekelas yang sok pinter dan berkuasa? Entahlah..yang jelas diantara obrolan mereka selalu diakhiri dengan tawa lepas. Salah satu jenis tawa yang menandakan kejujuran pemiliknya dalam berekspresi.
Masa muda selalu menarik untuk dibicarakan, terlepas mereka yang membicarakanya masih terbilang muda atau malah sebaliknya, semua tetap menarik. Apalagi kalo sudah masuk dalam topik masa sekolah. Masa yang menurut saya adalah masa paling indah juga mewah. Menghabiskan masa muda dengan banyak belajar, bukan hanya Matematika dan Fisika, tapi juga tentang cinta dan persahabatan. Mungkin waktu bisa berlalu dengan cepat, harga BBM bisa naik turun, polusi semakin meningkat, usia semakin bertambah sampai pacar berganti untuk yang kesekiankalinya. Dan itu semua bisa menggusur keberadaan file-file lain di dalam memori otak kita. Tapi kenangan manis di sekolah, akan terus tersimpan rapi dalam sebuah folder. Nggak akan pernah tergusur, apalagi sampai hilang dari otak setiap pemiliknya.
Pernah ketika saya bercerita masa sekolah saya yang lumayan absurd kepada salah seorang teman saya, dia hanya tertawa dan bilang kalo saya ini bego. Setelah tawanya reda, dia diam sesaat kemudian berkata,
"Sayang, Prud. Saya nggak pernah mengalami episode seperti itu pas sekolah kemarin."
Dari air mukanya jelas terlihat ada penyesalan, mungkin dulu dia menghabiskan masa mudanya dengan hal yang monoton. Sampai akhirnya waktu terus berlalu, membawanya melewati masa itu menuju saat ini, dan dia tersadar. Nggak banyak kenangan manis yang dia buat sewaktu sekolah kemarin.
Memang hal yang menyenangkan itu bisa dibuat kapan saja, dengan siapa saja. Tapi kalo pas di sekolah rasanya beda. Ada seragam, teman sekelas yang tiap hari bersama selama 7-8 jam sehari, kemajuan isi kepala dan masih banyak yang lain lagi . Lebih kepada momentum, makanya saya sebut mewah. Karena waktunya terbatas, nggak bisa seterusnya.
Makanya ketika masa muda banyak-banyaklah berbuat sesuatu, belajar tentang apapun, nikmati dan habiskanlah. Karena dengan begitu kita akan banyak memiliki kenangan. Yah, setidaknya kalo diingat masih menyisakan senyum di saat kita nggak lagi muda. Ditengah tekanan ketika memasuki fase "orang dewasa" atau berlanjut ke “orang tua”.
Memang kalo dipikir-pikir, benar juga apa yang dinyanyikan Sheila On 7 dalam lagunya...
...bersenang-senanglah, karena hari ini akan kita rindukan di hari nanti..
...bersenang-senanglah, karena waktu ini akan kita banggakan di hari tua..
Bagi saya kenangan itu adalah kebanggaan. Karena bagi seorang yang pernah berlabel "siswa", kenangan adalah harta yang tak pernah bisa dibeli dan tergantikan. That's all.
Extra Large!
Kalo ngomongin soal berat badan, menurut sebuah survei yang pernah saya baca, ternyata nggak hanya wanita saja yang nggak suka ditanyain berapa berat badannya, akhirnya berbohong. Betul?
Nah, laki-laki juga sebagian besar demikian, banyak yang berbohong apabila ditanyain berapa berat badannya. Kalo saya jujur, berat badan saya 83kg. Diambil dari data BULOG bulan Desember 2012. Waktu itu saya ditimbang bareng raskin.
Setelah melahap banyak bacaan, ternyata ada tiga macam sebab kenapa orang bisa gendut :
1. Gendut karena keturunan, misalnya kedua orang tuanya gendut, biasanya anaknya juga ikutan gendut biar pas, biar tetangganya percaya kalo itu anaknya. Soalnya kalo bapak ibunya gendut terus anaknya kurus, nanti dikira anak yang tertukar
2. Gendut karena usaha, misalnya dulu badannya kurus terus pengen lebih berisi akhirnya ikut program penggemukan badan, diglonggong misalnya. Akhirnya jadi gendut.
3. Gendut karena dipaksa, ini biasanya terjadi pada anak-anak balita. Orang tuanya pengen anaknya kelihatan sehat, montok. Maka dikasihlah makanan-makanan yang bergizi dalam porsi yang banyak biar cepat terlihat montok. Begitu anaknya udah montok kalo ketemu temen-temen arisannya dipamerin, bikin gemes, dicubitin, diremes-remes. Dan itu sakit. Sumpah.
Makanya kalo saya lihat balita yang montok terus dicubitin ibu-ibu, saya jadi iba. Terus bilang, tenang brother..you'll never walk alone. Soalnya saya juga pernah ngerasain.
Menjadi orang gendut itu serba salah kalo melakukan aktivitas. Misalnya naik lift. Saya pernah naik lift dari lantai 1 mau menuju ke lantai 5, kebetulan liftnya kosong, saya langsung masuk. Begitu nyampe lantai 2, ada segerombolan cewek-cewek masuk barengan, buru-buru, berisik pula. Begitu masuk semua, alarm berbunyi, ternyata kelebihan beban. Bukannya salah satu dari mereka keluar tapi malah ngeliatin saya yang terpojok di belakang. Matanya sinis, seolah ngomong, "Eh, gendut keluar dong. Nyadar kalo punya badan gede."
Dipelototin seperti itu, akhirnya saya mengalah dan keluar. Sambil nyanyi lagunya Sheila On 7 - Berhenti berharap. Kampret!
Serba salah yang lain adalah ketika naik kendaraan umum, bus misalnya. Apalagi bus kecil yang jumlah tempat duduknya masing-masing dua, baik disebelah kanan atau kiri. Kalo saya duduk di deket jendela, terus busnya belok dengan kenceng, pasti orang disebelah saya langsung jatuh. Terdorong sama ayunan badan saya. Nah, kalo saya duduk di kursi satunya, terus busnya belok kenceng, pasti orang yang duduk di sebelah saya kejepit. Ketimpa badan saya lagi. Akhirnya kalo saya pas duduk di bus terus ada penumpang yang mau duduk di sebelah saya, katakanlah seorang cewek, saya mesti langsung bilang, "Mbak, mau duduk dipinggir atau di deket jendela." Itu adalah bentuk basa-basi saya yang sedang menawarkan, apakah mau sering terlempat dari kursi, atau kejepit? Sederhana.
Serba salah ketiga adalah pas di toko pakaian. Bagi orang gendut seperti saya, berada di toko pakaian adalah neraka jahanam. Karena kita hanya bisa melihat model baju-baju yang bagus, tapi nggak pernah ada yag muat. Ibarat pungguk merindukan kue terang bulan.
Setiap baju kan mempunyai ukuran masing-masing, mulai S, M, L, XL. Kalo ditujukan untuk orang gendut, ukuran tersebut ada artinya masing-masing :
S, Sori bro kagak muat. Cari yang lain aja ya!
M, Maaf...kagak muat, yang lain aja ya!
L, Lupain deh, dijamin kagak bakal muat!
XL, xlalu. Dan akhirnya, minimal hanya ukuran inilah yang bisa kita pakai.
Oleh karena itu, banyak orang gendut yang kalo mau beli pakaian nggak pergi ke toko baju, tapi ke toko kain. Belinya meteran terus dibawa ke tukang jahit. Biar pas!
Kalo dalam urusan berpakaian, orang gendut nggak bisa dipaksaian, Kalo orang kurus kerempeng enak, pakai baju apa aja juga jadi. Misalnya bajunya kekecilan, bisa aja mereka ngomong kalo itu model "junkies" yang lagi musim. Jatohnya keren. Kalo pas bajunya kegedean, bisa aja mereka ngomong kalo lagi ngikutin model "hip-hop", tambah kalung hardisk komputer jadi mirip Igor Saykoji. Jatohnya keren lagi.
Nah, kalo orang gendut mau maksain baju jadinya malah aneh. Misalnya bajunya kecil terus dipaksain dipakai. Yang ada nggak mirip anak junkies, tapi kayak ketupat yang diangkat dari kukusan. Karena pasti ada bagian yang nyembul-nyembul di sela-sela pakaian karena bajunya nggak muat. Kalo bajunya kegedean, bukan mirip anak hip-hop, tapi Rama Aipama lagi obesitas. Nggak pas banget. Aneh.
Orang gendut kalo pacaran juga nggak bisa romantis. Sama kayak pakai baju tadi, mau dipaksain jadinya malah aneh. Misalnya di kampus turun hujan, mau pergi bareng sama pacar ke kantin dengan membawa satu payung, biar romantis. Tapi begitu jalan berdua di bawah payung, yang ada payungnya nggak muat dipakai berdua. Terpaksa kita ngalah demi pacar, biar dia nggak kehujanan, dan cuma bisa jalan ngikutin di belakang sambil kehujanan. Niatnya mau romantis, tapi jatohnya malah kayak tukang ojek payung. Bedanya begitu nyampe nggak dapet goceng.
Tapi, terlepas dari ketidak-enakan menjadi orang gendut. Ternyata ada beberapa hal yang membuat orang gendut itu mempunyai nilai lebih dari manusia berukuran di bawahnya. Karena orang gendut itu :
1. Punya jiwa sosial tinggi. Lihat aja tiap ada acara donor darah, pasti mayoritas yang menjadi pendonor adalah mereka orang-orang yang gendut. Nggak ada orang kurus, apalagi ditambahi kerempeng ikutan donor darah. Syarat utamanya aja harus mempunyai berat badan diatas 45kg. Kalo mereka orang kurus sampai berani ikut donor darah, pas berangkatnya sih nggak apa-apa cuma pas pulang bentuk mereka nggak jauh dari jenglot. Kering kerontang nggak punya darah.
2. Punya ikatan batin yang kuat. Karena setiap orang gendut, entah siapa pun itu, mau cantik, mau ganteng, mau jelek, atau mau ngondek sekalipun pasti pernah dipanggil dengan sebutan "ndut". Kalo nggak percaya coba aja pas jalan di mall, terus ketemu dengan beberapa orang gendut, panggil aja langsung dengan "ndut", pasti semuanya akan menoleh. Suer. Nggak bohong.
3. Enteng jodoh. Dalam kebudayaan jawa ada kalo mau mencari jodoh ada istilah harus melihat bibit, bebet, bobot. Bibit adalah asal usul keluarga. Bebet adalah kemampuan kita dalam bekerja. Dan untuk urusan bobot, orang gendut nggak usah diragukan. Timbangannya pasti mantep. Anget.
“…Tuhan nggak pernah memandang seseorang dari berapa digit berat badannya, tapi dari iman, takwa dan karya yang bermanfaat bagi orang lain…” (diipras, 2013)