Tanpa kita sadari, hidup manusia berkaitan dengan banyak siklus.
Siklus pertama yang saya pelajari adalah siklus hujan. Saat masih SD, guru pelajaran IPA mengajarkan bahwa hujan terbentuk dari proses air laut yang menguap kemudian membentuk awan. Dari awan, turunlah hujan ke permukaan bumi. Air hujan yang turun sebagian masuk ke dalam tanah, sebagian lagi mengalir ke sungai dan bermuara di laut. Dari laut air menguap lagi, kemudian turun lagi hujan, begitu seterusnya. Entah benar atau tidak, yang jelas ketika hujan turun adalah saat paling tepat untuk menikmati semangkuk bakso pedas. Sepedas kenangan mantan. Ah.
Kehidupan yang kita jalani sehari-hari juga nggak bisa lepas dari siklus. Kita lapar, kemudian makan, nutrisi makanan menjadi energi, energi kita pakai beraktivitas dan sisanya kita buang setiap pagi. Besoknya seperti itu lagi, begitu seterusnya. Atau ketika kita beraktivitas, kemudian capek, kemudian ngantuk, maka selanjutnya kita akan tidur. Karena obat ngantuk hanya satu yaitu tidur. Suatu saat teman saya bertanya,
“Ngantuk nih. Enaknya diapain ya?”
Maka dengan penuh wibawa saya menjawab,
“Ya tidur lah, kalo ngantuk tapi nggak tidur itu artinya kamu mengingkari siklus.”
“Tapi satu jam lagi kan Final Liga Champions, Real Madrid vs Atletico Madrid. Masa kamu mau tidur, nggak mau nonton?”
“Oh iya! Nonton lah. Yuk, bikin kopi sama sambel.”
“Sambel buat apa’an?”
“Nanti kalo setelah minum kopi tapi masih ngantuk, itu sambel kamu oles-oles di pelupuk mata. Dijamin bakal kuat melek.”
“Heeh?! Kamu aja sendiri. Segala sambel dioles ke mata. Melek nggak, malah masuk rumah sakit. Lagian tadi ngasih ceramah nyuruh tidur. Pake bawa-bawa siklus segala. Giliran ada bola lupa semua!!”
“Hehehe..”
Saya cuma bisa nyengir. Yah begitulah, untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi kadang kita harus “keluar” dari siklus masing-masing.
Selain berada di kehidupan sehari-hari seperti lapar dan tidur, saya juga percaya bahwa siklus itu ada dalam perjalanan cinta setiap manusia. Mulai dari masih sendiri, kemudian mengenal seseorang, melakukan PDKT, setelah itu pacaran, kadang ada pertengkaran, selanjutnya mungkin jenuh dengan rutinitas hubungan, dan pada akhirnya harus berakhir dan sendiri lagi.
Yap, suka tidak suka itulah siklus percintaan yang tanpa kita sadari.
Sama seperti yang saya alami saat ini. Setelah dua tahun lalu hubungan berakhir, maka selama dua tahun pula saya menjalani masa-masa sendiri. Dalam masa sendiri tentu ada suka dan duka.
Sukanya, nggak seberapa.
Dukanya, tak terkira.
Pahit banget.
Apalagi kalo mengisi formulir biodata, terutama pada kolom “STATUS”. Itu yang paling bikin dilema. Pertanyaannya cuma satu kata : STATUS. Tapi nyari jawaban pas itu yang bikin dilema. Mau nulis JOMBLO kok hina banget. Mau nulis SINGLE sejatinya sama saja. Setelah merenung sekian lama dengan mantap saya mengisi kolom STATUS : BELUM TERAKREDITASI. Karena untuk saat ini hati saya belum mendapat akreditasi dari cewek manapun.
Rasanya pedih. Sakitnya tuh disini *sambil nunjuk dada*
Tapi masa-masa itu sudah berlalu, dan siklus percintaan saya kini sudah memasuki fase baru. Pedekate.
Ketika masuk fase pedekate seperti sekarang ini, ada banyak hal yang berubah dari kebiasaan yang saya lakukan. Misalnya dalam hal menelpon cewek, dulu ketika saya bilang,
“Hallo..”
Maka dengan tegas, cewek diujung telepon menjawab,
“MAAF, SISA PULSA ANDA TIDAK CUKUP UNTUK MELAKUKAN PANGGILAN INI. SILAKAN LAKUKAN PENGISIAN PULSA..BLA..BLA..BLA..”
Rasanya pedih. Sakitnya tuh disini *sambil nunjuk dompet*
Tapi sekarang beda. Ketika saya menelepon cewek dan berkata,
“Hallo..”
Maka cewek di ujung telepon menjawab,
“Hallo.. Hei, kamu lagi ngapain?”
“Kan lagi nelpon kamu.”
“Hahaha.. Iya tau.”
Dari pertanyaan sederhana “Kamu lagi ngapain?”, bisa jadi obrolan yang panjang. Yang awalnya cuma sepuluh menit, kini menjadi satu jam. Dari yang satu jam, pada akhirnya akan berjam-jam. Yang tadinya ngobrol panjang, kini menjadi panjang x lebar x tinggi. Tapi itu semua terasa sebentar. Iya, masih terasa sebentar.
Jatuh cinta memang bikin aneh. Tapi nagih.
Dan.. cewek itu bernama Fika. Teman satu kampus tapi beda jurusan, beda fakultas juga beda jenis kelamin. Sebenarnya Fika adalah teman sekolah saya di SMA. Selama 3 tahun disekolah, tak sekalipun saya pernah berbicara dengannya. Sederhana, dari dulu kelas kita selalu berjauhan. Makanya saya juga tau cuma dari kejauhan.
Tapi bukan Tuhan namanya kalo tidak bisa membuat yang tadinya jauh menjadi dekat. Saat itu saya berada di stasiun, rencana liburan pulang ke rumah setelah bergelut dengan seabrek kegiatan kampus. Di stasiun itu juga, untuk pertama kali setelah lulus sekolah saya melihat Fika kembali, dan masih dari tetap dari kejauhan.
Iya, dari kejauhan.
Naluri saya mulai aktif kembali setelah sekian lama berusaha menyembuhkan diri. Dari sana saya mulai berani menyapa dan berusaha untuk bisa lebih dekat. Meskipun cuma sedikit kata. Tapi saya senang, setidaknya kini naluri saya mulai bermain.
Naluri seorang lelaki.
Sampai suatu hari saya beranikan diri untuk mengajak jalan Fika. Rasanya sudah terlalu sering ngobrol panjang lebar di telepon, saya pengen ngobrol dan bertemu langsung. Rasanya pasti beda. Ya, niatnya kencan pertama, tapi alasannya jalan-jalan. Ya pokoknya begitulah.
Ternyata Fika setuju, saya senang bukan main. Menjelang malam ada sebuah pesan datang,
“Aku baru selesai mandi. Kamu sudah berangkat?”
Begitu pesan dari Fika. Saya pun membalas,
“Iya, ini mau berangkat.”
Yah, ini adalah salah satu hari bersejarah dalam hidup saya selain berhasil keluar selamat dari ruang dokter sunat, juga mendengar kata putus dari mantan. Ah, sudahlah.
Saat itu saya memakai setelan celana jin dan kemeja hitam berlengan pendek. Kata orang, hitam itu menunjukkan sisi misterius. Malam itu saya ingin terlihat misterius, cool dan bikin penasaran. Jadi kalo saat itu saya mati, bisa diangkat jadi film dengan judul “Arwah Cowok Misterius Penasaran.”
Amit-amit!
Berbekal alamat yang diberikan tempo hari, saya berangkat mengendarai motor menuju rumah Fika. Lumayan jauh perjalanan, harus mendaki gunung, melewati lembah, sungai, dan samudera, mirip lagunya Ninja Hatori. Tapi akhirnya saya berhasil mendarat dengan selamat di depan rumah berwarna hijau, Rumah Fika.
“Assalamualaikum..Permisi..”
Saya mulai teriak-teriak di depan pagar rumah. Bolak-balik tapi nggak ada jawaban. Benar-benar mirip orang minta sumbangan. Tapi kalo dilihat dari setelan pakaian yang saya pakai, malam itu saya mirip sales panci lagi nyari mangsa malam-malam. Nggak berapa lama pintu dibuka, terlihat sesosok cewek keluar, kemudian tersenyum.
“Hei, akhirnya sampai juga. Kok gak masuk, malah di depan pagar?”
Jari saya menunjuk ke arah benda yang menggantung di pagar,
“Pagarnya digembok.”
“Oh iya lupa.”
Ngajak masuk rumah tapi pagarnya masih digembok. Itu sama aja seperti pengen move on dan nyari pacar baru tapi hatinya masih ditutup rapat. Pake gembok pula. Ya mana mungkin bisa!
“Kok sepi, yang lain pada kemana?”
“Lagi keluar ada acara.”
“Kamu nggak ikut?”
“Kan sudah ada acara sama kamu.”
Saya cuma nyengir. Hati rasanya seperti disiram obat batuk rasa mint. Semriwiiing..
“Mau pergi kemana?”
“Ngopi-ngopi aja yuk.”
“Boleh. Aku ambil jaket sama helm dulu ya.”
Sebelum berangkat, saya memandang langit di atas. Saya berdoa sederhana, Tuhan lancarkanlah hariku. Amin.
Motorpun melaju pelan, menyusuri ruas jalan. Menikmati saat berdua di atas motor. Sampai akhirnya kami berdua berhenti di sebuah kedai kopi yang nggak begitu ramai. Kami memesan dua cangkir kopi dan sepiring kentang goreng. Sambil menunggu pesanan datang saya pamit ke kamar kecil. Sedikit gugup dan hawa dingin adalah perpaduan yang pas untuk memaksa urine gak bisa ditahan. Begitu mau balik ke meja, saya melihat dua orang bapak-bapak memanggil saya. Saya sempat menoleh ke kanan kiri, nggak ada orang lain, berarti memang saya yang dipanggil. Firasat saya nggak enak, jangan-jangan mereka ini adalah Om-Om penyuka sesama jenis. Soalnya dulu pas naik kereta pernah kejadian. Keringat dingin mulai keluar.
“Bapak memanggil saya?”
“Iya, Mas. Em.. minta lihat daftar menunya.”
“Heeh?!
Kampret. Saya dikira pelayan.
“Maaf, Pak. Saya bukan pelayan sini.”
“Oh ya? Maaf.. habis bajunya hitam-hitam begitu.”
Saya langsung ngacir. Niat awal pake baju hitam-hitam biar dianggap misterius, cool dan bikin penasaran, jatohnya malah pelayan. Dari jauh Fika tertawa, meskipun sambil menutup mulutnya.
“Habisnya kamu pake hitam-hitam sih.”
Sesekali Fika masih tertawa. Justru itu yang menambah kecantikannya. Menurut saya, cewek itu keluar kecantikan alaminya saat dia sedang tertawa. Tentu tawa yang jujur dan nggak dibuat-buat. Apalagi dibayar untuk tertawa. Nggak banget. Atau tertawa cekikikan tengah malem. Itu serem banget.
Kami pun mulai ngobrol tentang banyak hal. Saya lebih banyak mendengar, sambil sesekali meminum kopi hitam di atas meja. Sampai saya agak terganggu dengan dua orang di sebelah saya. Terlihat seorang cewek dan cowok yang sedang ribut. Si cowok mencoba menjelaskan sesuatu, dan cewek lebih banyak diam. Sampai tiba-tiba,
Byuuurr...
Si cewek menyiram air minum ke tubuh cowok itu. Saya kira adegan seperti itu cuma ada di FTV. Ternyata di dunia nyata juga ada. Mungkin mereka penggemar FTV, makanya melakukan hal yang sama. Saya terdiam sambil terus melihat mereka berdua. Begitu juga pengunjung lain. Terlihat cewek itu berlari keluar, sementara cowoknya berdiri dan melihat sekeliling dan menjatuhkan pandangan ke arah saya. Karena saya yang berada tepat di sampingnya, kemudia melotot sambil berkata,
“Ngapain lihat-lihat?”
Spontan saya menjawab,
“Kan situ yang lihat saya duluan.”
Cowok itu langsung pergi keluar, mengejar sang pujaan hati. Setelah cowok itu pergi, giliran saya yang dilihatin pengunjung lain. Duh, malu abis. Fika malah cekikikan di depan saya. Puas banget.
“Kamu kok malah ketawa?”
“Habis kamu, orang berantem dilihatin. Kena semprot kan akhirnya.
Kami ngobrol kembali, sesekali Fika masih suka meledek kejadian tadi. Hari beranjak semakin malam, kami memutuskan untuk pulang. Kami menuju ke kasir untuk membayar makan dan minum. Sambil nunggu kembalian, saya melihat di sekitar. Tepat di samping meja kasir terdapat sebuah sofa panjang. Disana duduk seorang Om-Om bersama seorang cewek yang masih muda. Sebenarnya biasa aja sih, tapi yang membuat saya risih adalah si cewek itu gelendotan mesra di pundak Om-Om itu. Sadar saya lihatin, Om-Om itu lantas balik melihat saya,
“Ngapain lihat-lihat? Nggak pernah lihat orang pacaran ya?”
Saya nyengir, kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Om-om itu kembali bermesran dan bergelendotan ria. Semetara Fika kembali tertawa, kali ini nggak peke menutup mulut seperti sebelumnya. Saya berjalan menunduk, berharap lupa ingatan. Sumpah, malu banget.
Di tengah perjalanan pulang, Fika masih membahas kejadian tadi. Begitu sampai, Fika turun dan berkata,
“Kamu sih. Orang mesra-mesraan dilihatin.”
“Udah deh. Nggak usah dibahas terus.”
“Iya-iya. Makasih ya untuk malam ini.”
“Jangan kapok ya.”
Fika mengangguk. Saya pamit, menyalakan motor dan bergegas pulang. Tapi baru 5 meter, saya berhenti, kemudian menengok ke belakang. Terlihat Fika belum masuk rumah, masih berdiri di depan pagar. Saya tersenyum, dia lantas berkata,
“Ngapain lihat-lihat? Belum pernah lihat cewek cantik ya?”
Kami berdua tertawa bersama.
“Belum salam. Assalamualaikum..”
“Walaikumsalam..”
Motor pun melaju menyusuri jalan. Melewati gunung, lembah, sungai, sampai akhirnya berhenti di rumah saya. Sebelum tidur, saya melihat ponsel dan menemukan satu pesan masuk, dari Fika.
“Udah nyampe rumah? Sekali lagi makasih ya.”
Saya tersenyum dan langsung membalas pesan itu. Sumpah, pesan yang seperti ini malah bikin nggak bisa tidur. Lama saya nungguin di tengah ngantuk, tapi belum juga ada tanda-tanda ada pesan masuk. Saya membuka ponsel, ada pemberitahuan tapi bukan pesan masuk, melainkan baterai saya lobet. Kalo ponsel saya bisa bicara, mungkin saat itu dia bilang,
“Ngapain lihat-lihat? Nggak ada pesan masuk woy! Gue udah mau mati nih! Buruan isi!”
Saya langsung tidur. Biarin aja itu ponsel mati.
Bodo amat!
wah kalo cewek abis jalan terus bilang "makasih" itu dapet lampu hijau tuh buat ajang pdkt ke sesi selanjutnya :D
ReplyDeleteDan sayangnya lampu hijaunya sudah diserobot pengendara lain. Amblas.. :D
DeleteAbsurd ceritanya :)
ReplyDeleteNamanya juga di bawah pengaruh parasetamol pas bikinnya.. :D
ReplyDelete