Saturday 23 June 2012

Patah Hati

Kenapa orang takut patah hati?



Malam itu, saya berdiri di tepi jalan menunggu angkot untuk pulang ke kos. Seharian menghabiskan waktu di rumah teman ternyata bisa mengurangi kejenuhan yang belakangan ini saya alami. Meskipun nggak semuanya hilang, setidaknya penat di dalam kepala ini sedikit terkurangi, dan itu sudah cukup bagi saya.

Arloji di tangan kiri saya menunjukkan pukul 9 malam, tapi belum satupun angkot yang menuju kos melewati jalan ini. Meskipun baru 30 menit, tapi yang namanya menunggu itu tetap nggak enak, apalagi kalau yang ditunggu belum tentu ada kepastian. Ibaratnya kita mancing ikan di kolam, tapi kita sendiri nggak tahu apakah di kolam tersebut ada ikan atau tidak. Capek nunggu. Sumpah, itu nggak enak banget.

Daripada malam-malam berdiri sendirian di tepi jalan, nanti yang ada malah dikira laki-laki jadi-jadian lagi nyari saweran, saya putuskan untuk menunggu angkot sambil jalan. Malam itu jalanan mulai sepi di Kota Malang, ditambah udara di luar pun tidak cukup hangat untuk melepas jeket yang sedari tadi melekat di badan. Langit malam ini lumayan cerah, setidaknya saya bisa melihat bulan muda yang sedang bersinar terang, sekilas kalau diperhatikan berntuknya seperti emoticon orang tersenyum. Cukuplah untuk membuat saya tersenyum juga di tengah sepi dan dingin melanda.

Belum sepanjang lapangan bola saya berjalan, angkot yang saya tunggu pun datang, artinya saya nggak perlu berlama-lama menikmati udara malam. Begitu angkot berhenti, saya pun langsung masuk dan mencari tempat duduk. Mungkin karena sudah malam, di dalam hanya terdapat dua penumpang perempuan dan duduk di belakang. Dari perawakannya terlihat masih belia, perkiraan saya mereka masih duduk di bangku SMA atau mungkin mahasiswi baru. Terlihat salah satu diantaranya sedari tadi terus menangis terisak, dan yang lain mencoba menenangkannya. Sepanjang jalan hanya itu pemandangan yang saya lihat di dalam angkot, karena merasa seperti orang asing saya pun mencoba bertanya,

‘Temannya kenapa, Mbak?’
‘Nggak apa-apa kok, Mas. Cuma lagi ada masalah.’
‘Oh, tapi kok sampai nangis gitu ya?’
‘Ehm, barusan berantem sama pacarnya.’
‘Oh..’


Saya cuma mengangguk, kemudian diam, nggak berani tanya lagi. Karena saya tahu, masalah seperti itu sangat sensitif.

‘Dia jahat banget, Mbak. Apa dia nggak punya perasaan sampai tega ngelakuin itu sama aku? Aku salah apa sih sama dia, Mbak?’
‘Iya, kamu tenang dulu. Ini masih di dalam angkot. Malu sama orang-orang.’
‘Ngelihat laki-laki yang kita sayang selingkuh di depan mata sendiri, Mbak tahu rasanya? Sakit, Mbak. Sakiiitt banget.’
‘Iya. Mbak ngerti kok. Tapi sekarang kita masih di tempat umum. Kamu ngerti kan?’


Perempuan tadi nggak menjawab, dan masih terus menangis.
Nggak berapa lama kedua perempuan tersebut turun di sekitar Jl. Jakarta, mungkin tempat kos mereka berada. Salah seorang perempuan tadi tersenyum kearah saya, sekedar tanda untuk pamit. Saya pun menganggukan kepala, dan angkot pun kembali melanjutkan perjalanan.

*****

Di dalam angkot, di dalam kesendirian dan disepanjang jalan menunju pulang saya melamun. Pikiran saya mulai kelayapan nggak jelas entah kemana. Yang jelas, saya masih kepikiran dengan perempuan yang menangis tadi.

Mengapa dia sampai menangis seperti itu?

Apa yang dia rasakan?

Mendengar apa yang dia ucapkan, ditambah sedikit pernyataan dari perempuan disebelahnya tadi, saya pun mengambil kesimpulan kalau dia pasti sedang patah hati. Ya, patah hati. Apalagi hal yang menjengkelkan sekaligus menyakitkan dalam sebuah hubungan percintaan kalau bukan patah hati. Perasaan kita terluka, perasaan yang remuk, perasaan hancur berkeping-keping, itu yang kerap kali saya dengar dari cerita teman-teman soal patah hati.

Bahkan bagi sebagian orang sangat takut dengan yang namanya patah hati.

Saya masih ingat betul kejadian 5 tahun silam, saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA, dan orang yang sedang patah hati itu adalah salah satu teman saya, Anto. Singkat cerita, Anto diputusin pacarnya karena ternyata dia hanya dijadikan pelarian oleh mantan pacarnya tersebut. Dia bercerita ditemani secangkir kopi susu saat kami menghabiskan malam minggu di Kota Kediri. Saat dia bercerita, sesekali air matanya jatuh menetes di pipinya, saya ingat betul itu meskipun kondisi sekitar agak temaram. Berbeda dengan saya yang sesekali meneteskan air liur sewaktu tidur dengan kondisi sekitar yang temaram pula.

Menurut saya, butuh alasan yang kuat bagi seorang laki-laki untuk bisa meneteskan air mata. Meskipun itu sulit, tapi saya yakin kalau Anto punya alasan kuat mengapa dia sampai meneteskan air mata.

‘Emang rasanya gimana, To?’
‘Ehm. Sewaktu kecil kamu pernah jatuh nggak, Ndut. Terus kakimu luka sampai berdarah gitu?’
‘Pernah. Pas balapan sepeda terus jatuh ke got.’
‘Terus, apa yang kamu lakuin saat itu?’
‘Nangis lah, teriak sekenceng-kencengnya, orang pahaku sobek kena paku. Sakit tau, masa suruh cengengesan.’
‘Persis. Itu juga yang aku rasain.’
‘Tapi kamu kok nggak teriak-teriak kalo sakit, To?’
‘Soalnya sakitnya di dalam, bukan di luar. Tapi justru yang ini lebih sakit, Ndut. Lagian ngapain juga teriak-teriak, nanti dikira orang gila.’
‘Oh, kirain.’
‘Eh, Ndut. Kapan-kapan kamu perlu patah hati. Biar kamu tahu sendiri bagaimana rasanya.’
‘Begitu ya.’


Sampai lulus sekolah, Anto belum pernah pacaran lagi. Dia masih takut untuk patah hati. Ya, takut untuk patah hati lagi.

*****

‘Turun di mana, Mas?’
Pertanyaan sopir angkot membuyarkan lamunan saya.
‘Oh, Jl. MT Haryono, Pak. Turunin di depan Indomart.’

Patah hati.

Kondisi dimana dapat mengacaukan siklus kehidupan sebagian besar orang. Keadaan yang dapat merusak sistem berjalannya kehidupan seseorang setiap harinya. Merusak mood yang sedang baik, sampai kita nggak tahu harus mengerjakan apa untuk dapat mengembalikan mood menjadi baik lagi. Parahnya perasaan itu bisa datang setiap saat. Ibaratnya datang nggak diundang, perginya nggak tahu sampai kapan. Dan itu merupakan ‘dampak sistemik’ dari hal yang bernama : patah hati.

Banyak lagu atau cerita film yang isinya adalah cerita soal patah hati. dan nggak tahu kenapa, saat lagu atau film tersebut diputar perasaan kita seperti terwakili. Padahal kan sebenarnya hal seperti itu bisa menaikkan ‘level’ patah hati kita menjadi akut, dan itu bahaya. Hmm, ternyata benar juga kalau perasaan itu kadang mengalahkan logika.

Mungkin karena itulah, mengapa sebagain orang merasa sakit sewaktu patah hati, dan cenderung takut untuk ‘bermesraan’ kembali dengan yang bernama patah hati. Saya pun sempat sepakat dengan hal tersebut, sampai suatu saat saya menemukan jawaban ilmiah mengapa kita nggak boleh takut dengan yang namanya patah hati.

******

Suatu malam saya nonton acara semacam talk show di KompasTV, kalo nggak salah judul acaranya adalah ‘Tanya Dokter’. Pikir saya, nggak ada salahnya kalau mahasiswa yang tiap hari belajar ilmu politik dan birokrasi nonton acara soal kedokteran, itung-itung nambah pengetahuan. Kebetulan tema pada waktu itu adalaha soal ‘Transplantasi Hati’, dimana akhir-akhir ini banyak diberitakan di berbagai media mengenai transplantasi hati atau cangkok hati tersebut, salah satunya yanga saya ingat adalah Menteri BUMN saat ini, Dahlan Iskan.
Acara tersebut dipandu olah seorang dokter dengan narasumber beberapa dokter ahli soal hati, tentu dengan pakaian kebesaran mereka jas putih-putih. Intinya di berbagai negara maju sudah sering dilakukan operasi transplantasi hati, dan berlangsung sukses. Baik si pendonor dan juga penerima donor bisa hidup sehat kembali. Sampai suatu pertanyaan yang menyita perhatian saya.

‘Jadi, apakah aman seseorang mendonorkan hatinya, Dok?’
‘Tentu saja aman. Nggak perlu khawatir.’
‘Maksud saya begini, Dok. Hati kita kan dipotong, diambil kemudian dicangkokkan ke hati orang lain. Tentunya hati kita nggak utuh lagi kan, apa nggak bahaya, Dok?’
‘Saya perlu memberitahukan bahwa hati adalah satu-satunya organ tubuh yang dapat beregenerasi sendiri.’
‘Maksudnya beregenerasi sendiri, Dok?’
‘Maha Besar Tuhan yang telah menciptakan hati kita semua. Organ hati adalah satu-satunya organ di dalam tubuh manusia yang dapat melakukan regenerasi sendiri. Misalnya volume seluruh hati kita adalah 1000ml, kemudian diambil 300ml untuk didonorkan. Kita tidak perlu khawatir, karena maksimal dalam jangka waktu sekitar 3 bulan hati kita akan beregenerasi sendiri menggantikan bagian yang hilang sebesar 300ml tadi. Sehingga volume hati kita akan kembali seperti semula yaitu 1000ml. Artinya, hati kita akan berfungsi sebagaimana sebelumnya, malah digantikan dengan bagian yang baru.’
‘Wow. Itulah alasan mengapa kita nggak perlu takut untuk mendonorkan hati kita, Dok. Karena hati kita akan beregenerasi?’
‘Iya, seperti itulah.’
‘Mungkin juga kita nggak perlu lagi khawatir dengan yang namanya patah hati, Dok?’
‘Benar juga. Begitu juga bisa. Hahahahaha..’


Saya cuma bisa bengong sambil ngangguk-ngangguk. Jawaban yang ilmiah dan cerdas menurut saya. Mungkin kalau Mario Teguh ada disini nonton bareng saya, pasti dia sudah bilang,
’Jawaban yang supeeerr sekali..’

*****

‘Kiri, Pak. Halte depan Indomart.’

Saya pun turun dari angkot. Akhirnya saya sampai juga di kos. Sebelum menyeberang jalan dan masuk ke dalam gang, saya kembali melihat ke atas. Bulan tanggal muda tadi masih tersenyum manis di luasnya langit biru malam itu. Udara pun masih tidak terlalu hangat untuk melepaskan jakat di badan ini.

Jika malam itu ada Anto disini, saya ingin bilang kalau saya sudah pernah merasakan yang namanya patah hati. Dan itu sakit. Tapi saya juga ingin mengatakan kalau saya tidak takut patah hati, karena saya yakin hati yang ‘patah’ ini pasti akan berganti dengan yang baru. Saya yakin itu.

*****

Patah hati itu membuat perasaan kita sakit. Tapi kita nggak boleh takut, karena Tuhan pasti akan mengganti bagian yang sakit itu dengan yang lebih baik. Sesuai dengan jawaban dari Dokter diatas, karena hati akan beregenerasi. Meskipun, beda pengertian antara hati dalam bentuk ‘organ tubuh’ dengan hati dalam bentuk ‘perasaan’.

Masih takut untuk patah hati?