Sunday 5 August 2012

Kumis Oh Kumis....

Kumis itu sering dikaitkan dengan pilkada.



….

Tentu masih segar dalam ingatan kita tentang Pemilukada DKI Jakarta yang tinggal menyisakan dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur untuk bertarung di putaran kedua. Mereka adalah pasangan petahana Foke-Nara dan penantangnya Jokowi-Ahok.
Disini saya bukan ingin mengomentari tentang peluang menang kedua pasangan tersebut di putaran kedua, karena saya bukan ahlinya.

Saya hanya ingin membahas soal kumis, kebetulan salah satu kandidat cagub DKI Jakarta ada yang berkumis, yaitu Bang Foke. Kumis seakan sudah menjadi “trademark” dari Bang Foke sendiri. Pun demikian pada saat berlangsungnya masa kampanye, banyak atribut-atribut kampanye seperti kaos, baliho spanduk, poster dan stiker yang hanya bergambar “kumis”, dan itu sudah cukup untuk menggambarkan sekaligus memberikan dukungan kepada Bang Foke. Kumis di pilkada Jakarta sangat identik dengan sosok Bang Foke. Nggak ada yang lain.

Saya pernah melihat berita baik di media cetak maupun elektronik mengenai adanya sebuah stan di Pekan Raya Jakarta (PRJ), dimana stan tersebut berlatar belakang gambar gedung-gedung bertingkat, jalan layang, monorail dan juga ikon Jakarta yaitu monas. Namun satan tersebut dibiarkan kosong tanpa penjaga, dan yang menarik adalah adanya logo bergambar kumis yang bertuliskan,

“Kumisku Harapanku”

Sampai sekarang, baik dari pihak penyelenggara maupun pengunjung “belum” ada yang mengetahui siapa dan untuk apa stan ini berada di PRJ. Namun, saya yakin banyak orang yang sudah paham dengan hal ini karena berdekatan dengan adanya Pemilukada di Jakarta.

Begitu eratnya tampilan “kumis” dengan sosok Bang Foke membuat saya berpendapat bahwa kumis adalah salah satu bahasa komunikasi politik paling sederhana saat diadakannya sebuah pemilihan, dalam hal ini adalah pemilihan kepala daerah. Pendapat saya bukan tanpa alasan, karena saya pernah menemukan beberapa kasus semacam ini.

…..

Pertama, saya masih ingat betul sekitar tahun 2009 ketika Pemilukada Jawa Timur berlangsung. Salah satu calon gubernur pada saat itu adalah Soekarwo atau yang lebih dikenal dengan Pakde Karwo, sosok yang juga identik dengan kumis sebagai ciri khas. Tentu untuk masyarakat Jawa Timur pasti ingat betul dengan berbagai poster, spanduk, baliho maupun kaos-kaos yang digunakan selama masa kampanye. Disitu terdapat tulisan yang berisi ajakan untuk memilih Pakde Karwo dalam Pemilukada Jawa Timur, dan ajakan tersebut dituliskan…

“Ojo lali, Coblos Brengose!”

Ya, waktu itu brengos alias kumis sangat mencirikan Pakde Karwo sebagai salah satu calon gubernur dalam Pemilukada Jawa Timur. Pada akhirnya, Pakde Karwo terpilih menjadi Gubernur Jawa Timur sampai sekarang.

Ketiga, ternyata bukan hanya dalam pemilukada saja saya menjumpai “kumis”. Pada tahun 2008, tepat di usia saya diperbolehkan untuk menggunakan hak pilih, di desa saya terdapat pemilihan kepala desa. Ada tiga calon yang berebut kursi orang nomor satu di desa saya. Karena saat itu saya sudah menjadi anak kos yang jauh dari rumah, saya kurang begitu tahu bagaimana kampanye yang dilakukan oleh masing-masing calon. Yang jelas saya menerima uang dari salah satu calon, cukuplah untuk beli pulsa dan uang saku di malam minggu. Untuk anak SMA saat itu “gambar I Gusti Ngurah Rai” sangat lumayan.

Hahahaha.

Pas hari pemilihan tiba, saya meminta izin sekolah untuk menyalurkan hak pilih saya karena berbarengan dengan hari aktif sekolah. Sebenarnya saya kurang minat dengan hal seperti ini, apalagi saya terpaksa harus izin sekolah segala. Namun, rasa penasaran saya mengalahkan segalanya, penasaran bagaimana rasanya ikut memilih seorang pemimpin dan untuk kali pertama. Penasaran akan “pesta demokrasi” yang berada di desa.

Sebelum berangkat, Bapak saya memperlihatkan tiga lembar foto berukuran kertas A4 yang ternyata adalah foto dari ketiga calon yang ikut pemilihan kepala desa tersebut. Sekilas memang nggak ada yang aneh dengan ketiga foto tersebut, karena semuanya diperlihatkan setengah badan dan memakai setelan jas, bahkan ada yang memakai kopyah di kepalanya. Namun, salah satu diantara ada yang berkumis tebal di foto tersebut. Wajarlah, pikir saya waktu itu.

Sekitar pukul 09.00 pagi saya berangkat bersama keluarga ke TPS yang hanya ada di aula kantor desa. Saya sudah sering melihat bagaimana cara memilih di TPS melalui berbagai sosialisai di televisi sewaktu ada berita pilkada ataupun pilpres. Pikir saya waktu itu, pasti nggak jauh beda dengan yang ada di televisi tersebut, yaitu datang, antre, dipanggil, nyoblos, celup tinta, selesai.

Akan tetapi, begitu memasuki pelataran kantor desa, di depan gerbang sampai menuju TPS berjejer puluhan orang yang berbaris rapi. Sumpah saya kaget, karena keberadaan mereka ini nggak pernah saya lihat saat sosialisasi TPS di televisi. Sebelum masuk saya sempet bengong bentar sambil bertanya sendiri, orang sebanyak ini mau ngapain coba berjejer di depan pintu TPS??

Ternyata mereka adalah keluarga dan tim sukses dari masing-masing calon kepala desa. Tugas mereka adalah : mengajak jabat tangan pemilih yang mau masuk TPS sekalian “mengingatkan” untuk memilih jagoan mereka. Sumpah bikin males banget, sudah panas-panas, suruh jabat tangan pula sama orang sebanyak itu. Menurut perhitungan saya, yang bertugas untuk satu orang calon paling nggak ada 10 orang, kalo ada tiga calon berarti ada sekitar 30 orang yang harus kita jabat tangannya. Bukan hanya jabat tangan, tapi juga dikasih wejangan.

Inilah saatnya saya harus bilang WOW.

Tapi yang menarik dari proses “jabat tangan” itu adalah soal pesan-pesan yang disampaikan selama kita berjabat tangan. Berbagai ajakan mereka sampaikan mulai dari yang sederhana seperti,

“ojo lali, Mas. Nomor 1..”

Atau…

“gambare sing paling kanan yo, Mas.”

Sampai yang bikin ketawa adalah pas jabat tangan dengan nenek-nenek, tangan saya dipegang kenceng banget, pundak saya ditepok-tepok, terus bilang…

“dicoblos brengose lho, Mas.”

Begitu selesai sesi “jabat tangan” dan masuk ke TPS saya langsung ngakak sendiri. Geli aja kalo inget nenek-nenek tadi.

….

Setelah saya pikir-pikir, menurut saya kumis adalah hal paling tepat untuk mempromosikan calon jagoan kita untuk dipilih.

Kenapa harus kumis??

Pertama, Karena dalam kertas suara nanti foto calon paling hanya wajah sampai dada. Dari tanda tubuh yang ada seperti tahi lalat, rambut kribo, kepala botak, dagu panjang, hidung mancung memang hanya kumis bagian paling “mewah” yang bisa dijadikan pengingat. Kan nggak mungkin misalnya kalo calonnya botak terus kita pakai itu sebagai ajakan memilih, misalnya…

“Ayo Jangan Lupa Yang Botak!”

“Pilih Si Botak, Pasti Jaya.”

“Botakku, Harapanku.”

Kan nggak enak banget, apa yang bisa diharapkan dari botak? Orang rambutnya aja sudah nggak ada harapan buat numbuh kok malah janji ngasih harapan orang lain. Hal semacam itu bukan malah menaikkan nilai calon tapi malah menjatuhkan calon yang kita usung.

Kasihan.

Kedua, sesi “jabat tangan” sebelum memasuki TPS dengan jumlah peserta sebanyak itu tentu dapat menggiring pemilih untuk mengikuti ajakannya. Karena secara ilmu psikologi, repetisi atau pengulangan ajakan seperti itu dapat mempengaruhi alam pikiran seseorang. Apalagi bagi pemilih yang sudah lanjut usia, jangankan untuk mencari foto calon yang sudah ditetapkan dari rumah, begitu melihat keramaian dan “jabat tangan” dengan orang sebanyak itu pasti membuat bingung. Ditambah dengan tata cara pemilihan di TPS yang harus kesana kemari. Nah, mungkin segmen pemilih semacam inilah yang memang dicari pas hari H pemilihan.

….

Sore harinya setelah penghitungan suara, ternyata calon yang “berkumis” memperoleh suara terbanyak dan terpilih menjadi kepala desa.

Kesimpulan dari ketiga sosok diatas, ternyata kumis itu mudah diingat. Sama seperti bentuk badan dan kelakuan saya yang diingat terus sama teman-teman. Hmm..

Bahagia dan Sedih!

Bahagia dan sedih itu satu paket.

….


Pagi itu saya baru menghangatkan badan di tengah dinginnya udara pagi. Ya, pagi itu saya merasakan dinginnya cuaca di rumah setelah seminggu lebih “bersahabat” dengan cuaca panas Sidoarjo. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi menandakan ada pesan yang masuk. Ternyata salah seorang teman bertanya pada saya,

“Kenapa sih bahagia dan sedih itu harus satu paket??”

Pagi-pagi langsung ditodong pertanyaan semacam itu saya langsung bingung, mikir bentar, kemudian menjawab sepengetahuan saya saja,


“Setahu saya, Tuhan itu menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ada pria, ada wanita. Ada siang, ada malam. Mungkin demikian pula dengan perasaan, ada sedih, ada juga bahagia.”

“Iya ya…”

Setelah itu saya pun langsung bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Oh iya, kenapa bahagia dan sedih itu selalu satu paket, kok kita nggak bisa milih satu diantaranya, misalnya kita mau bahagia saja atau mau sedihnya saja.

Kenapa harus satu paket?

…..

Saya jadi ingat akan sebuah buku yang pernah saya baca di masjid dekat rumah. Ada artikel menarik yang membuat saya betah untuk membaca. Isinya adalah mengenai hukum polaritas. Ya, hukum polaritas, bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini mempunyai lawannya masing-masing. Tak akan pernah disebut “di dalam ruangan” jika tidak ada yang dimaksud dengan “di luar ruangan”. Tak akan pernah disebut “besar” jika tidak ada yang dinamakan dengan “kecil”, begitu seterusnya.

Ah, pikiran saya mulai terbuka. Lantas bagaimana dengan pertanyaan saya tadi. Kenapa bahagia dan sedih itu harus satu paket. Sederhananya, kenapa kita harus merasakan keduanya, bahagia dan juga sedih?

Menurut hukum tersebut, setiap yang merasakan kebahagiaan pasti akan pernah merasakan yang namanya kesedihan. Kita tidak mungkin bisa menyebut itu dengan kebahagiaan jika kita sendiri belum pernah merasakan yang namanya kesedihan.

Artinya, di satu saat kita pernah merasakan suatu kebahagiaan, namun disaat yang lain kita juga pasti akan merasakan kesedihan. Pun demikian dengan hal lain, ada siang dan malam, ada baik dan buruk, ada kesulitan ada kemudahan, semua mempunyai lawan masing-masing.

Lantas bagaimana kita harus bersikap?

Menurut saya, Tuhan mencipatakan segala sesuatu tidak ada yang sia-sia, pasti semuanya mempunyai tujuan masing-masing. Begitu pula dengan hal diatas, kenapa harus ada sedih, dan kenapa harus ada bahagia.

Mungkin kita menilai bahwa kebahagiaan itu sebagai hal yang baik, dan kesedihan itu sebagai hal yang buruk bagi kita. Disaat bahagia kita mudah melakukan sesuatu, akan tetapi disaat sedih kita menjadi sulit untuk berbuat sesuatu. Namun, bukankah sebenarnya keduanya itu saling melengkapi satu sama lain? Seperti yang diatas, bahwa kita tidak dapat mengatakan itu sebagai kebahagiaan jika kita belum pernah merasakan yang namanya kesedihan.

Ibaratnya seperti uang koin yang mempunyai dua sisi yang berbeda. Nah, bayangkan jika uang logam tersebut hanya memiliki satu sisi saja. Apakah dari bentuknya masih bisa disebut sebagai uang logam? Apakah masih bisa dipakai sebagai alat pembayaran?

Tentu kedua sisi dalam uang koin tersebut saling melengkapi sehingga dapat disebut sebagai uang koin dan digunakan sebagai alat pembayaran.

…..

Kadang kita memerlukan kebahagiaan untuk dapat mengerti kesedihan. Kita perlu merasakan kesedihan untuk dapat merasakan arti kebahagiaan. Kita perlu tersenyum dan tertawa, namun kita juga bisa menangis. Kita perlu keduanya untuk mengerti bahwa hidup bukan hanya tentang kesedihan saja, bukan tentang kebahagiaan saja, namun hidup adalah tentang keduanya untuk menjadikan hidup ini semakin berwarna dan kita semakin dewasa dalam menyikapinya.

Janganlah kita berlebihan dalam kebahagiaan dan terlarut dalam kesedihan. Bersyukurlah disaat kita mengalami keduanya karena Tuhan pasti mempunyai rencana baik di balik itu semua. Setelah kesedihan pasti akan ada kebahagiaan.

Allah SWT berfirman :
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan..” (QS Asy-Syarh : 5)


Hmm..bahagia dan sedih itu memang sudah satu paket.
So, enjoyed.