Monday 17 December 2012

"Buah Khuldi"



Pagi ini jam sudah menunjukkan pukul tujuh, tapi matahari belum juga keluar dari balik awan. Sisa hujan semalam menambah kadar dinginnya udara pagi Kota Malang. Bagi mahasiswa, kondisi seperti ini tentu sebuah dilema. Satu sisi cuaca seperti ini terlalu nyaman untuk berlama-lama di dalam selimut. Di sisi lain mereka harus bergegas kuliah dengan hadangan dinginnya mandi pagi. Tapi hari ini adalah hari minggu. Mereka bisa dengan nyaman berada di balik selimutnya. Dari luar terdengar suara Bagas memanggil,

“Lang, ngerti sepatuku nggak dimana? Buru-buru nih ada acara di kampus.”
“Bukannya semalam ada disitu. Masa nggak ada?”
“Kalo ada aku nggak bakal tanya kamu. Masa ilang sih?”

Galang yang asik nonton TV di kamar langsung bergegas keluar. Semalam dia menaruh sepatunya ditempat yang sama. Benar saja, sepatunya ikutan amblas. Bukan cuma satu, tapi dua pasang sekaligus.

“Waduuuuuuhh. Sepatuku juga ilang. Dua pasang lagi!!”

Teriakan Galang kontan membangunkan Angga yang letak kamarnya bersebelahan. Dengan muka sewot Angga berdiri di depan pintu kamarnya.

“Heh, masih pagi tau!! Udah pada berisik. Nggak tau hari libur apa?”
“Sori. Sepatuku sama Bagas aku taruh disini ilang.”

Mendengar kata hilang Angga ikutan panik. Semalam Angga menaruh sepatunya juga di depan pintu. Begitu melihat ke bawah Angga nggak menemukan sepatunya. Jejaknya pun nihil.

“Buseeeeettt. Sepatuku kok ikutan amblas juga!!”

Udara pagi memang dingin. Tapi suasana membuat pikiran dan hati mereka panas. Rasa kantuk dan malas langsung berubah menjadi kebingungan. Ditengah kebingungan mereka saat mencari, Adit keluar dari kamar mandi menghampiri mereka.

“Ngapain pada mondar mandir kayak setrikaan?”
“Masih sempet nyela. Nggak tau orang lagi kena musibah. Sepatu kita bertiga ilang nih!!”
“Serius? Ilang dimana? Kapan?”
“Semalam aku taruh di depan pintu kamar. Nanya terus daritadi kayak pas ujian. Bantuin!!”
“Bukan gitu, Lang. Semalam aku taruh sandal gunungku disini juga. Terus tadi pagi pas aku mau mandi nggak ada.”
“Berarti ikutan ilang juga!!”
“Hah?!”

Hampir setengah jam mereka mencari mulai dari sudut kamar, tempat tersembunyi, sampai di lubang semut. Hasilnya tetap nihil. Nggak ketemu. Amblas. Raib entah kemana. Di pagi yang dingin, perut lapar, ditambah capek hati dan fisik setelah melakukan pencarian, mereka pun menenangkan semua itu dengan duduk di ruang tamu sambil terus bertanya satu sama lain tentang kronologis kejadian. Saat mereka saling berbagi kekesalan masing-masing, munculah Hendra dari dalam kamar sambil membawa peralatan mandi dan handuk yang melingkar di leher.

“Weiiiittss. Tumben pagi-pagi udah pada ngumpul. Nah, gitu dong akur. Kan jadi enak dilihatnya. Tapi muka kenapa pada kusut semua kayak pakaian belum disetrika??”
“Lagi kena musibah. Sepatu sama sandal kita berempat ilang.”
“Emang kamu taruh dimana?”
“Seperti biasa. Aku taruh di depan pintu.”
“Sukuriiiiiinn. Makanya kalau naruh sepatu jangan sembarangan.”
“Ah, bukannya bantuin malah ngejekin orang. Mandi sana!!”

Sambil ketawa Hendra bergegas ke kamar mandi. Tapi baru sampai di depan ruang tamu ketawanya langsung berhenti. Kepalanya menoleh kesamping kanan dan kiri. Pandangan matanya mencoba mencari sesuatu. Raut mukanya berubah seperti orang kebingungan. Sambil garuk-garuk kepala, Hendra kembali ke ruang tamu dan bertanya,

“Ada yang ngerti sandalku nggak?”

Adit, Bagas, Galang dan Angga saling berpandangan. Nggak ada yang menjawab. Kemudian langsung tertawa terbahak-bahak tanpa ada komando. Hendra masih garuk-garuk kepala sambil cengengesan.

“Makanya jangan ngejekin orang kena musibah. Kualat kan akhirnya sandalmu ikutan ilang.”

Hendra nggak jadi mandi dan langsung ikutan ngumpul di ruang tamu. Beberapa diantaranya masih megangin perut yang masih sakit karena tertawa. Kini mereka berlima senasib. Sama-sama kehilangan alas kaki. Tiba-tiba Bagas berkata,

“Kalian masih enak yang ilang cuma sepatu sama sandal. Semalam helm baruku juga ilang pas aku parkir di toko buku.”
“Helm ilang? Bukannya baru kamu belikan anti maling yang harganya lima puluh ribu?”
“Iya, tapi nggak aku pasang.”

Mereka spontan langsung tertawa kembali mendengar cerita itu. Helm baru, dikasih anti maling biar nggak kemalingan, tapi diambil maling juga. Kecuali Bagas, semua megangin perutnya yang sakit karena kebanyakan tertawa. Galang pun angkat bicara,

“Sumpah. Harusnya aku kesel gara-gara sepatuku ilang dua pasang. Tapi kok jadinya malah terus ketawa. Sampai sakit perutku.”

Bahagia dan sedih itu datang silih berganti. Kadang malah jeda diantaranya sangat cepat. Setelah volume tertawa semakin mengecil, dan sakit di perut mereka mulai terkendali. Tiba-tiba dengan wajah serius Bagas mulai bicara,

“Jangan-jangan sepatu ilang gara-gara kita ngambil mangga sebelah rumah kemarin?”
“Ah, masa sih?”
“Coba pikir. Yang kehilangan kita berlima. Kemarin yang terlibat juga kita berlima. Hendra bagian ngambil buah. Adit ngasih jalan lewat kamarnya. Aku nyiapin pisau. Galang sama Angga ikutan makan. Pas kan?”
“Bener juga sih. Berarti itu buah larangan. Yang ngambil bakal kena musibah. Seperti buah di cerita Nabi Adam. Apa namanya?”
“Buah Khuldi.”

Mereka semua langsung diam. Mungkin menyadari kalau musibah ini adalah akibat perbuatan mereka sendiri yang ngambil mangga tanpa izin. Yah, apapun alasannya, mencuri itu tidak baik karena merugikan orang lain. Mau perbuatan baik atau buruk semua pasti ada balasannya. Cuma kali ini mereka menerima balasanya sangat cepat. Istilahnya GPL (Gak Pake Lama).

Thursday 8 November 2012

Sepotong Semangka Di Siang Bolong



Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi, disaat saya terbangun oleh suara gaduh anak kecil yang bermain bola di luar kamar. Mata ini masih susah untuk terbuka, tapi telinga rasanya seperti “diperkosa” oleh kegaduhan di pagi itu. Berkali-kali saya mengumpat dalam hati. Bukan karena apa-apa, semalam saya begadang nonton semifinal liga champions sampai pagi tiba. Ya, hanya karena saya tidur setelah sholat subuh, beberapa jam yang lalu, nggak lebih. Mau tidak mau saya pun bergegas menikmati bangun pagi hari ini dengan penuh keterpaksaan.

Setelah nyawa terkumpul dan mata mulai terbuka dengan sempurna, ritual pagi pun saya mulai dengan senam wajah yaitu dengan mengucapakan huruf vocal A,I,U,E,O. Senam wajah tersebut dapat membuat wajah lebih segar meskipun sedang dalam kondisi kantuk berat, itu menurut buku yang pernah saya baca. Terlepas itu benar atau tidak, saya hanya mencobanya. Ritual selanjutnya tentu adalah kegiatan di kamar mandi, sesuai dengan susunan acara yang sama setiap harinya. Saya berharap kesegaran mandi pagi ini membuat kantuk saya lenyap, setidaknya sampai siang nanti. Membaca buku, menulis lepas, sampai bermain gitar berturut-turut saya lakukan untuk mengisi pagi hari saya, sampai panggilan alam datang, saatnya mengisi perut.

….

Berada di semester 8 membuat hari-hari saya berlalu dengan hal-hal yang monoton, mulai dari buku, main game skripsi dan kadang nongkrong di perpus. Ketika masih ada kuliah dulu, pergi ke kampus adalah alasan paling logis untuk membuang waktu. Meskipun nggak ada kuliah, setidaknya ketemu terus ngobrol bareng teman-teman bisa menjadi hal yang menarik. Tapi sekarang berbeda ceritanya, bagi mahasiswa semester 8 seperti saya, tidur itu lebih baik ketimbang pergi ke kampus tanpa tujuan pasti.
Karena yang ada kita merasa seperti orang asing di kampus sendiri. Alasannya sederhana, teman seangkatan kita sudah jarang yang beredar di kampus, mereka sibuk dengan skripsi atau malah sudah lulus. Boro-boro menghabiskan waktu ngobrol bareng teman, ada yang nyapa kita itu sudah mending. Itu juga kalo kita nggak ketemu dengan orang yang tanya seperti..

“Kapan Ujian?”
“Kapan Yudisium?”
“Kapan Wisuda?”

Kapan. Kapan. Kapan. Setelah itu mungkin pertanyaannya adalah, “Kapan Nikah?”
Pertanyaan sederhana yang terkadang sensitif bagi sebagian orang. Apakah termasuk saya?? Sedikit.

…….

Dalam status quo seperti ini membuat saya mencari pelarian lain atas aktivitas monoton setiap hari. Salah satunya adalah rajin makan semangka dan terkadang mangkal sekaligus menyempatkan untuk ngobrol sejenak dengan si penjual. Memang kalau dilihat dari paduan kaos oblong dan celana pendek yang saya pakai sehari-hari, lebih pas disamakan dengan tukang buah daripada seorang mahasiswa. Mengingat di kampus saya, sebagian besar mahasiswa tak ubahnya seperti majalah fashion yang berjalan. Gaya busana dan dandanan sama-sama nggak ada yang mau ketinggalan.

Up to date.

Dengan paduan kaos oblong dan celana basket yang saya pakai, pernah suatu ketika ada seorang perempuan dengan terburu-buru mengambil dompet, mengeluarkan uang lima ribu, menyerahkan kepada saya kemudian berkata,

“Mas, nanasnya tiga ribu, sisanya melon sama semangka,”

Saya diem. Bengong. Sambil pegang uang lima ribu tadi,

“Mas, cepetan. Saya sudah ditungguin.”
“Oh, iya Mbak.”

Beruntung saya sudah kenal dengan penjual buah. Sambil ngambil potongan buah dalam lemari kaca, saya senyum-senyum sendiri, nahan ketawa dan masih nggak percaya dengan hal ini. Setelah selesai mengambil potongan buah, saya menyerahkan kembali kepada perempuan tersebut.

“Ini Mbak buahnya, maaf kalau lama soalnya yang jual lagi beli rokok di warung sebelah.”
“Lah, terus Mas ini siapa?”
“Ya sama kayak Mbak juga, pembeli.”
“Oh, maaf Mas, saya nggak tahu. Soalnya mirip sih.”
“Nggak apa-apa, asal jangan tiap hari aja dikira tukang buah. Bisa jualan beneran saya nanti.”
“Bisa aja. Makasih, Mas.”
“Sama-sama.”

Dari kejauhan penjual buah aslinya datang, dengan mulut yang kembang kempis menghisap sebatang rokok dengan merek tiga deret angka. Namanya Mas Hayun, pria keturunan Madura dan sudah berkeluarga. Saya langsung menyerahkan uang lima ribu penuh cerita tadi.

“Nih, tadi ada beli buah.”
“Terus kamu ambilin?”
“Ya iyalah, orang tiba-tiba langsung disodorin uang lima ribu. Dibilang mirip pula.”
“Hahaha...dulu kan kamu magang di kantoran, anggap aja sekarang magang disini.”
“Ya asal jangan tiap hari aja, Mas.”
“Kenapa?”
“Karena ada Saya. Sampeyan nggak lagi memonopoli penjualan buah di sini. Bisa turun itu pengahasilan.”
“Hahaha..”

Kadang saya selalu bawa tas kecil kalau celana pendek yang saya pakai nggak ada kantongnya, buat tempat dompet sama ponsel. Tapi gara-gara kombinasi pakaian dan aksesoris tas itu pula seorang bapak berpakaian necis keluar dari kantor PLN, datang dan minta tolong saya yang sedang duduk makan sepotong semangka sambil baca koran.

“Mas, mobil saya mau keluar, tolong ya.”

Saya bengong. Apalagi ini.

“Tolong ya, Mas.”
“Oh iya, Pak.”

Saya baru sadar kalau bapak itu mengira saya tukang parkir. Saya pun dengan pede bangkit, bergaya seperti tukang parkir, bergantian mengucap kosakata tukang parkir seperti : maju-maju, mundur-mundur, kanan-kanan, kiri-kiri, stop. Untungnya satpam PLN buru-buru datang bantuin. Mobil pun berlalu diselingi bunyi klakson dua kali dan salam hormat dari satpam tadi.

Tapi kok ada yang aneh sepertinya. Bapak tadi lupa ngasih dua ribu ke saya.

Sial.

Mending dikira jadi tukang buah dapat lima ribu, daripada tukang parkir. Jangankan dua ribu, seribu pun pun nihil.
Percuma saya mau dianggap tukang parkir tadi.

Sialan.

……

Kalau ditanya alasannya kenapa saya suka buah semangka??

Jawabnya sederhana saja, karena semangaka itu manis dan menyegarkan.

Saya mulai suka dengan semangka sejak masih duduk di bangku SD. Waktu itu saya kelas 5 SD dan sedang ikut lomba Itajamnas (Ikatan Jambore Nasional) tingkat kecamatan. Untuk ukuran anak kecil seperti saya, berkemah selama empat hari di tanah lapang, tidur jam 11 malam dan harus bangun jam 3 pagi untuk pergi mandi di sungai, dan seabrek kegiatan di sinag harinya bukanlah hal yang biasa bagi saya. Singkat cerita saya jatuh sakit dan hanya terbaring di dalam tenda yang amat-sangat-tidak-nyaman-sekali untuk orang sakit.

Besoknya adik kelas perempuan saya, Niken, ngasih semangka yang dipotong diatas nampan untuk tenda anak laki-laki. Berhubung yang lain sedang ada kegiatan jelajah, dan karena cuaca yang sangat panas, satu nampan semangka habis di mulut saya. Nggak tau kenapa, setelah melahap beberapa potongan buah semangka tadi secara “tidak terhormat”, meriang saya mulai berkurang dan pusing di kepala juga nggak separah sebelumnya. Meskipun kondisi saya berangsur-angsur sembuh, namun sore harinya badan saya panas kembali. Panas oleh pukulan dan tendangan teman-teman saya begitu tau kalau semangka jatahnya (maaf) sudah saya embat dengan tidak hormat.

…..

Pas saya sedang asyik membaca berita menarik seputar sepakbola di koran pagi ini sambil mojok di pos satpam dan sepotong semangka tentunya, tiba-tiba Mas Hayun nepok pundak terus tanya..

“Final nanti dukung Chelsea apa Bayern Munich??”
“Jelas Chelsea lah..”
“Kenapa??”
“Saya suka warna biru. Nah, kostum Chelsea kan biru. Jadi saya dukung.”
“Gitu doang??tapi banyak orang yang dukung Bayern Munich lho..”
“Ya, karena sudah banyak yang dukung jadi saya nggak dukung lagi. Lagian ngapain dukung tim yang difavoritkan banyak orang bakal menang. Kalo bener menang juga bakal biasa aja. Karena sesuai prediksi. Nah, kalo dukung yang nggak difavoritkan tapi nanti bisa menang, itu baru luar biasaaaa..”
“Wah, oposisi nih ceritanya??”
“Begitu juga boleh. Hahaha..”

Sedang asyik ngobrol berita bola sambil makan semangka, tiba-tiba ada seorang pembeli mendekati ke motor Mas hayun yang di bagian belakangnya penuh diisi dengan potongan berbagai macam buah. Mulai dari semangka, melon, nanas, bengkoang, papaya, mangga, dan teman-temannya. Cuma satu jenis buah yang nggak ada disana, buah simalakama.

Saya melihat seorang perempuan muda berambut pendek dengan tangan kanan memegang tumpukan buku dan yang sebelah kiri memegang setangkai bunga mawar merah. Perlahan saya melipat koran yang sedari tadi berada di tangan, mulut saya juga berhenti mengunyah potongan-potongan semangka karena radar di kepala memberikan instruksi kepada mata untuk tidak melewatkan pemandangan ini.

Lumayan.

Semua adegan di depan saya mendadak menjadi pelan, seperti slow motion dalam film-film action. Mulai dari ngobrol dengan Mas Hayun, milih-milih buah di kotak sampai perempuan tersebut berjalan meninggalkan motor Mas Hayun, semuanya masih berjalan pelan di mata saya. Saya mencoba untuk tetap memandang, berusaha untuk tidak berkedip. Kata orang melihat perempuan setelah berkedip itu dosa. Dia pun sekilas membalas pandangan saya sambil mencium bunga mawar di tangan kirinya.

Mungkin hanya tiga detik sebelum dia lenyap tak terjangkau pandangan saya lagi.
Tiga detik yang memberi perbedaan arti. Buat saya, tiga detik yang mengartikan kekaguman melihat indahnya ciptaan Tuhan. Dan bagi dia, tiga detik yang mengartikan keprihatinan melihat pemuda lusuh dengan wajah penuh kesengsaraan.

Itu beda banget.

Tiba-tiba pundak saya ditepuk,

“Cantik ya?”
“Siapa?”
“Yang barusan beli buah..”
“Ah, nggak juga.”
“Lha tadi kamu ngeliatin terus. Kalo nggak cantik terus apa dong??”
“Hmm…kayak semangka ini mas. Manis dan menyegarkan..”
“Hahahahaaa…”

Begitu selesai menghabiskan kolom demi kolom berita, saya pun bergegas pulang ke kosan. Dari kejauhan Mas Hayun melambaikan tangannya dan berteriak,

“Besok pagi jam 9 dia pasti kesini lagi..”

Saya pun membalikkan badan, tersenyum dan menempelkan telunjuk dan ibu jari membentuk lingkaran sebagai jawaban.

….

Semangka itu, memang manis dan menyegarkan.
:-)


Sunday 5 August 2012

Kumis Oh Kumis....

Kumis itu sering dikaitkan dengan pilkada.



….

Tentu masih segar dalam ingatan kita tentang Pemilukada DKI Jakarta yang tinggal menyisakan dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur untuk bertarung di putaran kedua. Mereka adalah pasangan petahana Foke-Nara dan penantangnya Jokowi-Ahok.
Disini saya bukan ingin mengomentari tentang peluang menang kedua pasangan tersebut di putaran kedua, karena saya bukan ahlinya.

Saya hanya ingin membahas soal kumis, kebetulan salah satu kandidat cagub DKI Jakarta ada yang berkumis, yaitu Bang Foke. Kumis seakan sudah menjadi “trademark” dari Bang Foke sendiri. Pun demikian pada saat berlangsungnya masa kampanye, banyak atribut-atribut kampanye seperti kaos, baliho spanduk, poster dan stiker yang hanya bergambar “kumis”, dan itu sudah cukup untuk menggambarkan sekaligus memberikan dukungan kepada Bang Foke. Kumis di pilkada Jakarta sangat identik dengan sosok Bang Foke. Nggak ada yang lain.

Saya pernah melihat berita baik di media cetak maupun elektronik mengenai adanya sebuah stan di Pekan Raya Jakarta (PRJ), dimana stan tersebut berlatar belakang gambar gedung-gedung bertingkat, jalan layang, monorail dan juga ikon Jakarta yaitu monas. Namun satan tersebut dibiarkan kosong tanpa penjaga, dan yang menarik adalah adanya logo bergambar kumis yang bertuliskan,

“Kumisku Harapanku”

Sampai sekarang, baik dari pihak penyelenggara maupun pengunjung “belum” ada yang mengetahui siapa dan untuk apa stan ini berada di PRJ. Namun, saya yakin banyak orang yang sudah paham dengan hal ini karena berdekatan dengan adanya Pemilukada di Jakarta.

Begitu eratnya tampilan “kumis” dengan sosok Bang Foke membuat saya berpendapat bahwa kumis adalah salah satu bahasa komunikasi politik paling sederhana saat diadakannya sebuah pemilihan, dalam hal ini adalah pemilihan kepala daerah. Pendapat saya bukan tanpa alasan, karena saya pernah menemukan beberapa kasus semacam ini.

…..

Pertama, saya masih ingat betul sekitar tahun 2009 ketika Pemilukada Jawa Timur berlangsung. Salah satu calon gubernur pada saat itu adalah Soekarwo atau yang lebih dikenal dengan Pakde Karwo, sosok yang juga identik dengan kumis sebagai ciri khas. Tentu untuk masyarakat Jawa Timur pasti ingat betul dengan berbagai poster, spanduk, baliho maupun kaos-kaos yang digunakan selama masa kampanye. Disitu terdapat tulisan yang berisi ajakan untuk memilih Pakde Karwo dalam Pemilukada Jawa Timur, dan ajakan tersebut dituliskan…

“Ojo lali, Coblos Brengose!”

Ya, waktu itu brengos alias kumis sangat mencirikan Pakde Karwo sebagai salah satu calon gubernur dalam Pemilukada Jawa Timur. Pada akhirnya, Pakde Karwo terpilih menjadi Gubernur Jawa Timur sampai sekarang.

Ketiga, ternyata bukan hanya dalam pemilukada saja saya menjumpai “kumis”. Pada tahun 2008, tepat di usia saya diperbolehkan untuk menggunakan hak pilih, di desa saya terdapat pemilihan kepala desa. Ada tiga calon yang berebut kursi orang nomor satu di desa saya. Karena saat itu saya sudah menjadi anak kos yang jauh dari rumah, saya kurang begitu tahu bagaimana kampanye yang dilakukan oleh masing-masing calon. Yang jelas saya menerima uang dari salah satu calon, cukuplah untuk beli pulsa dan uang saku di malam minggu. Untuk anak SMA saat itu “gambar I Gusti Ngurah Rai” sangat lumayan.

Hahahaha.

Pas hari pemilihan tiba, saya meminta izin sekolah untuk menyalurkan hak pilih saya karena berbarengan dengan hari aktif sekolah. Sebenarnya saya kurang minat dengan hal seperti ini, apalagi saya terpaksa harus izin sekolah segala. Namun, rasa penasaran saya mengalahkan segalanya, penasaran bagaimana rasanya ikut memilih seorang pemimpin dan untuk kali pertama. Penasaran akan “pesta demokrasi” yang berada di desa.

Sebelum berangkat, Bapak saya memperlihatkan tiga lembar foto berukuran kertas A4 yang ternyata adalah foto dari ketiga calon yang ikut pemilihan kepala desa tersebut. Sekilas memang nggak ada yang aneh dengan ketiga foto tersebut, karena semuanya diperlihatkan setengah badan dan memakai setelan jas, bahkan ada yang memakai kopyah di kepalanya. Namun, salah satu diantara ada yang berkumis tebal di foto tersebut. Wajarlah, pikir saya waktu itu.

Sekitar pukul 09.00 pagi saya berangkat bersama keluarga ke TPS yang hanya ada di aula kantor desa. Saya sudah sering melihat bagaimana cara memilih di TPS melalui berbagai sosialisai di televisi sewaktu ada berita pilkada ataupun pilpres. Pikir saya waktu itu, pasti nggak jauh beda dengan yang ada di televisi tersebut, yaitu datang, antre, dipanggil, nyoblos, celup tinta, selesai.

Akan tetapi, begitu memasuki pelataran kantor desa, di depan gerbang sampai menuju TPS berjejer puluhan orang yang berbaris rapi. Sumpah saya kaget, karena keberadaan mereka ini nggak pernah saya lihat saat sosialisasi TPS di televisi. Sebelum masuk saya sempet bengong bentar sambil bertanya sendiri, orang sebanyak ini mau ngapain coba berjejer di depan pintu TPS??

Ternyata mereka adalah keluarga dan tim sukses dari masing-masing calon kepala desa. Tugas mereka adalah : mengajak jabat tangan pemilih yang mau masuk TPS sekalian “mengingatkan” untuk memilih jagoan mereka. Sumpah bikin males banget, sudah panas-panas, suruh jabat tangan pula sama orang sebanyak itu. Menurut perhitungan saya, yang bertugas untuk satu orang calon paling nggak ada 10 orang, kalo ada tiga calon berarti ada sekitar 30 orang yang harus kita jabat tangannya. Bukan hanya jabat tangan, tapi juga dikasih wejangan.

Inilah saatnya saya harus bilang WOW.

Tapi yang menarik dari proses “jabat tangan” itu adalah soal pesan-pesan yang disampaikan selama kita berjabat tangan. Berbagai ajakan mereka sampaikan mulai dari yang sederhana seperti,

“ojo lali, Mas. Nomor 1..”

Atau…

“gambare sing paling kanan yo, Mas.”

Sampai yang bikin ketawa adalah pas jabat tangan dengan nenek-nenek, tangan saya dipegang kenceng banget, pundak saya ditepok-tepok, terus bilang…

“dicoblos brengose lho, Mas.”

Begitu selesai sesi “jabat tangan” dan masuk ke TPS saya langsung ngakak sendiri. Geli aja kalo inget nenek-nenek tadi.

….

Setelah saya pikir-pikir, menurut saya kumis adalah hal paling tepat untuk mempromosikan calon jagoan kita untuk dipilih.

Kenapa harus kumis??

Pertama, Karena dalam kertas suara nanti foto calon paling hanya wajah sampai dada. Dari tanda tubuh yang ada seperti tahi lalat, rambut kribo, kepala botak, dagu panjang, hidung mancung memang hanya kumis bagian paling “mewah” yang bisa dijadikan pengingat. Kan nggak mungkin misalnya kalo calonnya botak terus kita pakai itu sebagai ajakan memilih, misalnya…

“Ayo Jangan Lupa Yang Botak!”

“Pilih Si Botak, Pasti Jaya.”

“Botakku, Harapanku.”

Kan nggak enak banget, apa yang bisa diharapkan dari botak? Orang rambutnya aja sudah nggak ada harapan buat numbuh kok malah janji ngasih harapan orang lain. Hal semacam itu bukan malah menaikkan nilai calon tapi malah menjatuhkan calon yang kita usung.

Kasihan.

Kedua, sesi “jabat tangan” sebelum memasuki TPS dengan jumlah peserta sebanyak itu tentu dapat menggiring pemilih untuk mengikuti ajakannya. Karena secara ilmu psikologi, repetisi atau pengulangan ajakan seperti itu dapat mempengaruhi alam pikiran seseorang. Apalagi bagi pemilih yang sudah lanjut usia, jangankan untuk mencari foto calon yang sudah ditetapkan dari rumah, begitu melihat keramaian dan “jabat tangan” dengan orang sebanyak itu pasti membuat bingung. Ditambah dengan tata cara pemilihan di TPS yang harus kesana kemari. Nah, mungkin segmen pemilih semacam inilah yang memang dicari pas hari H pemilihan.

….

Sore harinya setelah penghitungan suara, ternyata calon yang “berkumis” memperoleh suara terbanyak dan terpilih menjadi kepala desa.

Kesimpulan dari ketiga sosok diatas, ternyata kumis itu mudah diingat. Sama seperti bentuk badan dan kelakuan saya yang diingat terus sama teman-teman. Hmm..

Bahagia dan Sedih!

Bahagia dan sedih itu satu paket.

….


Pagi itu saya baru menghangatkan badan di tengah dinginnya udara pagi. Ya, pagi itu saya merasakan dinginnya cuaca di rumah setelah seminggu lebih “bersahabat” dengan cuaca panas Sidoarjo. Tiba-tiba ponsel saya berbunyi menandakan ada pesan yang masuk. Ternyata salah seorang teman bertanya pada saya,

“Kenapa sih bahagia dan sedih itu harus satu paket??”

Pagi-pagi langsung ditodong pertanyaan semacam itu saya langsung bingung, mikir bentar, kemudian menjawab sepengetahuan saya saja,


“Setahu saya, Tuhan itu menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ada pria, ada wanita. Ada siang, ada malam. Mungkin demikian pula dengan perasaan, ada sedih, ada juga bahagia.”

“Iya ya…”

Setelah itu saya pun langsung bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Oh iya, kenapa bahagia dan sedih itu selalu satu paket, kok kita nggak bisa milih satu diantaranya, misalnya kita mau bahagia saja atau mau sedihnya saja.

Kenapa harus satu paket?

…..

Saya jadi ingat akan sebuah buku yang pernah saya baca di masjid dekat rumah. Ada artikel menarik yang membuat saya betah untuk membaca. Isinya adalah mengenai hukum polaritas. Ya, hukum polaritas, bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini mempunyai lawannya masing-masing. Tak akan pernah disebut “di dalam ruangan” jika tidak ada yang dimaksud dengan “di luar ruangan”. Tak akan pernah disebut “besar” jika tidak ada yang dinamakan dengan “kecil”, begitu seterusnya.

Ah, pikiran saya mulai terbuka. Lantas bagaimana dengan pertanyaan saya tadi. Kenapa bahagia dan sedih itu harus satu paket. Sederhananya, kenapa kita harus merasakan keduanya, bahagia dan juga sedih?

Menurut hukum tersebut, setiap yang merasakan kebahagiaan pasti akan pernah merasakan yang namanya kesedihan. Kita tidak mungkin bisa menyebut itu dengan kebahagiaan jika kita sendiri belum pernah merasakan yang namanya kesedihan.

Artinya, di satu saat kita pernah merasakan suatu kebahagiaan, namun disaat yang lain kita juga pasti akan merasakan kesedihan. Pun demikian dengan hal lain, ada siang dan malam, ada baik dan buruk, ada kesulitan ada kemudahan, semua mempunyai lawan masing-masing.

Lantas bagaimana kita harus bersikap?

Menurut saya, Tuhan mencipatakan segala sesuatu tidak ada yang sia-sia, pasti semuanya mempunyai tujuan masing-masing. Begitu pula dengan hal diatas, kenapa harus ada sedih, dan kenapa harus ada bahagia.

Mungkin kita menilai bahwa kebahagiaan itu sebagai hal yang baik, dan kesedihan itu sebagai hal yang buruk bagi kita. Disaat bahagia kita mudah melakukan sesuatu, akan tetapi disaat sedih kita menjadi sulit untuk berbuat sesuatu. Namun, bukankah sebenarnya keduanya itu saling melengkapi satu sama lain? Seperti yang diatas, bahwa kita tidak dapat mengatakan itu sebagai kebahagiaan jika kita belum pernah merasakan yang namanya kesedihan.

Ibaratnya seperti uang koin yang mempunyai dua sisi yang berbeda. Nah, bayangkan jika uang logam tersebut hanya memiliki satu sisi saja. Apakah dari bentuknya masih bisa disebut sebagai uang logam? Apakah masih bisa dipakai sebagai alat pembayaran?

Tentu kedua sisi dalam uang koin tersebut saling melengkapi sehingga dapat disebut sebagai uang koin dan digunakan sebagai alat pembayaran.

…..

Kadang kita memerlukan kebahagiaan untuk dapat mengerti kesedihan. Kita perlu merasakan kesedihan untuk dapat merasakan arti kebahagiaan. Kita perlu tersenyum dan tertawa, namun kita juga bisa menangis. Kita perlu keduanya untuk mengerti bahwa hidup bukan hanya tentang kesedihan saja, bukan tentang kebahagiaan saja, namun hidup adalah tentang keduanya untuk menjadikan hidup ini semakin berwarna dan kita semakin dewasa dalam menyikapinya.

Janganlah kita berlebihan dalam kebahagiaan dan terlarut dalam kesedihan. Bersyukurlah disaat kita mengalami keduanya karena Tuhan pasti mempunyai rencana baik di balik itu semua. Setelah kesedihan pasti akan ada kebahagiaan.

Allah SWT berfirman :
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan..” (QS Asy-Syarh : 5)


Hmm..bahagia dan sedih itu memang sudah satu paket.
So, enjoyed.

Saturday 23 June 2012

Patah Hati

Kenapa orang takut patah hati?



Malam itu, saya berdiri di tepi jalan menunggu angkot untuk pulang ke kos. Seharian menghabiskan waktu di rumah teman ternyata bisa mengurangi kejenuhan yang belakangan ini saya alami. Meskipun nggak semuanya hilang, setidaknya penat di dalam kepala ini sedikit terkurangi, dan itu sudah cukup bagi saya.

Arloji di tangan kiri saya menunjukkan pukul 9 malam, tapi belum satupun angkot yang menuju kos melewati jalan ini. Meskipun baru 30 menit, tapi yang namanya menunggu itu tetap nggak enak, apalagi kalau yang ditunggu belum tentu ada kepastian. Ibaratnya kita mancing ikan di kolam, tapi kita sendiri nggak tahu apakah di kolam tersebut ada ikan atau tidak. Capek nunggu. Sumpah, itu nggak enak banget.

Daripada malam-malam berdiri sendirian di tepi jalan, nanti yang ada malah dikira laki-laki jadi-jadian lagi nyari saweran, saya putuskan untuk menunggu angkot sambil jalan. Malam itu jalanan mulai sepi di Kota Malang, ditambah udara di luar pun tidak cukup hangat untuk melepas jeket yang sedari tadi melekat di badan. Langit malam ini lumayan cerah, setidaknya saya bisa melihat bulan muda yang sedang bersinar terang, sekilas kalau diperhatikan berntuknya seperti emoticon orang tersenyum. Cukuplah untuk membuat saya tersenyum juga di tengah sepi dan dingin melanda.

Belum sepanjang lapangan bola saya berjalan, angkot yang saya tunggu pun datang, artinya saya nggak perlu berlama-lama menikmati udara malam. Begitu angkot berhenti, saya pun langsung masuk dan mencari tempat duduk. Mungkin karena sudah malam, di dalam hanya terdapat dua penumpang perempuan dan duduk di belakang. Dari perawakannya terlihat masih belia, perkiraan saya mereka masih duduk di bangku SMA atau mungkin mahasiswi baru. Terlihat salah satu diantaranya sedari tadi terus menangis terisak, dan yang lain mencoba menenangkannya. Sepanjang jalan hanya itu pemandangan yang saya lihat di dalam angkot, karena merasa seperti orang asing saya pun mencoba bertanya,

‘Temannya kenapa, Mbak?’
‘Nggak apa-apa kok, Mas. Cuma lagi ada masalah.’
‘Oh, tapi kok sampai nangis gitu ya?’
‘Ehm, barusan berantem sama pacarnya.’
‘Oh..’


Saya cuma mengangguk, kemudian diam, nggak berani tanya lagi. Karena saya tahu, masalah seperti itu sangat sensitif.

‘Dia jahat banget, Mbak. Apa dia nggak punya perasaan sampai tega ngelakuin itu sama aku? Aku salah apa sih sama dia, Mbak?’
‘Iya, kamu tenang dulu. Ini masih di dalam angkot. Malu sama orang-orang.’
‘Ngelihat laki-laki yang kita sayang selingkuh di depan mata sendiri, Mbak tahu rasanya? Sakit, Mbak. Sakiiitt banget.’
‘Iya. Mbak ngerti kok. Tapi sekarang kita masih di tempat umum. Kamu ngerti kan?’


Perempuan tadi nggak menjawab, dan masih terus menangis.
Nggak berapa lama kedua perempuan tersebut turun di sekitar Jl. Jakarta, mungkin tempat kos mereka berada. Salah seorang perempuan tadi tersenyum kearah saya, sekedar tanda untuk pamit. Saya pun menganggukan kepala, dan angkot pun kembali melanjutkan perjalanan.

*****

Di dalam angkot, di dalam kesendirian dan disepanjang jalan menunju pulang saya melamun. Pikiran saya mulai kelayapan nggak jelas entah kemana. Yang jelas, saya masih kepikiran dengan perempuan yang menangis tadi.

Mengapa dia sampai menangis seperti itu?

Apa yang dia rasakan?

Mendengar apa yang dia ucapkan, ditambah sedikit pernyataan dari perempuan disebelahnya tadi, saya pun mengambil kesimpulan kalau dia pasti sedang patah hati. Ya, patah hati. Apalagi hal yang menjengkelkan sekaligus menyakitkan dalam sebuah hubungan percintaan kalau bukan patah hati. Perasaan kita terluka, perasaan yang remuk, perasaan hancur berkeping-keping, itu yang kerap kali saya dengar dari cerita teman-teman soal patah hati.

Bahkan bagi sebagian orang sangat takut dengan yang namanya patah hati.

Saya masih ingat betul kejadian 5 tahun silam, saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA, dan orang yang sedang patah hati itu adalah salah satu teman saya, Anto. Singkat cerita, Anto diputusin pacarnya karena ternyata dia hanya dijadikan pelarian oleh mantan pacarnya tersebut. Dia bercerita ditemani secangkir kopi susu saat kami menghabiskan malam minggu di Kota Kediri. Saat dia bercerita, sesekali air matanya jatuh menetes di pipinya, saya ingat betul itu meskipun kondisi sekitar agak temaram. Berbeda dengan saya yang sesekali meneteskan air liur sewaktu tidur dengan kondisi sekitar yang temaram pula.

Menurut saya, butuh alasan yang kuat bagi seorang laki-laki untuk bisa meneteskan air mata. Meskipun itu sulit, tapi saya yakin kalau Anto punya alasan kuat mengapa dia sampai meneteskan air mata.

‘Emang rasanya gimana, To?’
‘Ehm. Sewaktu kecil kamu pernah jatuh nggak, Ndut. Terus kakimu luka sampai berdarah gitu?’
‘Pernah. Pas balapan sepeda terus jatuh ke got.’
‘Terus, apa yang kamu lakuin saat itu?’
‘Nangis lah, teriak sekenceng-kencengnya, orang pahaku sobek kena paku. Sakit tau, masa suruh cengengesan.’
‘Persis. Itu juga yang aku rasain.’
‘Tapi kamu kok nggak teriak-teriak kalo sakit, To?’
‘Soalnya sakitnya di dalam, bukan di luar. Tapi justru yang ini lebih sakit, Ndut. Lagian ngapain juga teriak-teriak, nanti dikira orang gila.’
‘Oh, kirain.’
‘Eh, Ndut. Kapan-kapan kamu perlu patah hati. Biar kamu tahu sendiri bagaimana rasanya.’
‘Begitu ya.’


Sampai lulus sekolah, Anto belum pernah pacaran lagi. Dia masih takut untuk patah hati. Ya, takut untuk patah hati lagi.

*****

‘Turun di mana, Mas?’
Pertanyaan sopir angkot membuyarkan lamunan saya.
‘Oh, Jl. MT Haryono, Pak. Turunin di depan Indomart.’

Patah hati.

Kondisi dimana dapat mengacaukan siklus kehidupan sebagian besar orang. Keadaan yang dapat merusak sistem berjalannya kehidupan seseorang setiap harinya. Merusak mood yang sedang baik, sampai kita nggak tahu harus mengerjakan apa untuk dapat mengembalikan mood menjadi baik lagi. Parahnya perasaan itu bisa datang setiap saat. Ibaratnya datang nggak diundang, perginya nggak tahu sampai kapan. Dan itu merupakan ‘dampak sistemik’ dari hal yang bernama : patah hati.

Banyak lagu atau cerita film yang isinya adalah cerita soal patah hati. dan nggak tahu kenapa, saat lagu atau film tersebut diputar perasaan kita seperti terwakili. Padahal kan sebenarnya hal seperti itu bisa menaikkan ‘level’ patah hati kita menjadi akut, dan itu bahaya. Hmm, ternyata benar juga kalau perasaan itu kadang mengalahkan logika.

Mungkin karena itulah, mengapa sebagain orang merasa sakit sewaktu patah hati, dan cenderung takut untuk ‘bermesraan’ kembali dengan yang bernama patah hati. Saya pun sempat sepakat dengan hal tersebut, sampai suatu saat saya menemukan jawaban ilmiah mengapa kita nggak boleh takut dengan yang namanya patah hati.

******

Suatu malam saya nonton acara semacam talk show di KompasTV, kalo nggak salah judul acaranya adalah ‘Tanya Dokter’. Pikir saya, nggak ada salahnya kalau mahasiswa yang tiap hari belajar ilmu politik dan birokrasi nonton acara soal kedokteran, itung-itung nambah pengetahuan. Kebetulan tema pada waktu itu adalaha soal ‘Transplantasi Hati’, dimana akhir-akhir ini banyak diberitakan di berbagai media mengenai transplantasi hati atau cangkok hati tersebut, salah satunya yanga saya ingat adalah Menteri BUMN saat ini, Dahlan Iskan.
Acara tersebut dipandu olah seorang dokter dengan narasumber beberapa dokter ahli soal hati, tentu dengan pakaian kebesaran mereka jas putih-putih. Intinya di berbagai negara maju sudah sering dilakukan operasi transplantasi hati, dan berlangsung sukses. Baik si pendonor dan juga penerima donor bisa hidup sehat kembali. Sampai suatu pertanyaan yang menyita perhatian saya.

‘Jadi, apakah aman seseorang mendonorkan hatinya, Dok?’
‘Tentu saja aman. Nggak perlu khawatir.’
‘Maksud saya begini, Dok. Hati kita kan dipotong, diambil kemudian dicangkokkan ke hati orang lain. Tentunya hati kita nggak utuh lagi kan, apa nggak bahaya, Dok?’
‘Saya perlu memberitahukan bahwa hati adalah satu-satunya organ tubuh yang dapat beregenerasi sendiri.’
‘Maksudnya beregenerasi sendiri, Dok?’
‘Maha Besar Tuhan yang telah menciptakan hati kita semua. Organ hati adalah satu-satunya organ di dalam tubuh manusia yang dapat melakukan regenerasi sendiri. Misalnya volume seluruh hati kita adalah 1000ml, kemudian diambil 300ml untuk didonorkan. Kita tidak perlu khawatir, karena maksimal dalam jangka waktu sekitar 3 bulan hati kita akan beregenerasi sendiri menggantikan bagian yang hilang sebesar 300ml tadi. Sehingga volume hati kita akan kembali seperti semula yaitu 1000ml. Artinya, hati kita akan berfungsi sebagaimana sebelumnya, malah digantikan dengan bagian yang baru.’
‘Wow. Itulah alasan mengapa kita nggak perlu takut untuk mendonorkan hati kita, Dok. Karena hati kita akan beregenerasi?’
‘Iya, seperti itulah.’
‘Mungkin juga kita nggak perlu lagi khawatir dengan yang namanya patah hati, Dok?’
‘Benar juga. Begitu juga bisa. Hahahahaha..’


Saya cuma bisa bengong sambil ngangguk-ngangguk. Jawaban yang ilmiah dan cerdas menurut saya. Mungkin kalau Mario Teguh ada disini nonton bareng saya, pasti dia sudah bilang,
’Jawaban yang supeeerr sekali..’

*****

‘Kiri, Pak. Halte depan Indomart.’

Saya pun turun dari angkot. Akhirnya saya sampai juga di kos. Sebelum menyeberang jalan dan masuk ke dalam gang, saya kembali melihat ke atas. Bulan tanggal muda tadi masih tersenyum manis di luasnya langit biru malam itu. Udara pun masih tidak terlalu hangat untuk melepaskan jakat di badan ini.

Jika malam itu ada Anto disini, saya ingin bilang kalau saya sudah pernah merasakan yang namanya patah hati. Dan itu sakit. Tapi saya juga ingin mengatakan kalau saya tidak takut patah hati, karena saya yakin hati yang ‘patah’ ini pasti akan berganti dengan yang baru. Saya yakin itu.

*****

Patah hati itu membuat perasaan kita sakit. Tapi kita nggak boleh takut, karena Tuhan pasti akan mengganti bagian yang sakit itu dengan yang lebih baik. Sesuai dengan jawaban dari Dokter diatas, karena hati akan beregenerasi. Meskipun, beda pengertian antara hati dalam bentuk ‘organ tubuh’ dengan hati dalam bentuk ‘perasaan’.

Masih takut untuk patah hati?

Monday 14 May 2012

Why Always Me?

Setahun yang lalu, tepatnya tahun 2011, banyak sekali peristiwa luar biasa yang terjadi di Indonesia. Mulai dari tertangkapnya Om Nazarudin sampai Tante Syahrini yang “Alhamdulillah ya” karena mempunyai “ Sesuatu”. Tapi dari sekian banyak peristiwa itu, ada satu peristiwa luar biasa yang berdampak besar terhadap kehidupan para remaja di Indonesia, tak terkecuali mahasiswa seperti saya, yaitu mulai akrab dengan yang namanya kata “galau”.

Banyak sekali stasiun TV ataupun radio-radio yang bikin acara dengan tema galau. Di twitter juga hampir setiap hari saya jumpai hastag (#) galau bertebaran dimana-mana. Dan di penghujung tahun itu pula merupakan tahun tergalau bagi saya, karena saya putus dengan pacar saya. Dan alasan kita putus waktu itu bisa bikin galau tingkat dewa. Karena pada saat itu saya putus dengan pacar saya dengan alasan beda keyakinan. Itu galau banget.

Ya, kami putus karena beda keyakinan. Saya yakin kalau saya ini ganteng, tapi pacar saya nggak. Saya yakin kalau saya ini kurus, tapi pacar saya nggak. Dan yang paling parah, saya yakin kalau saya ini normal, tapi pacar saya nggak. Dan karena perbedaan keyakinan yang begitu mendasar itulah saya putus dengan pacar saya, dan saya mulai mengikuti trend anak muda Indonesia pada saat itu, akrab dengan kegalauan.

Paling nggak enak kalau dalam masa galau seperti ini, mau ngapa-ngapain juga malah bisa bikin galau. Saya pernah nyari makan, eh sebentar kalau nyari makan nanti saya dikira mulung di tempat sampah lagi. Maksudnya nyari tempat makan dulu begitu dapat baru dibeli.

Waktu itu saya makan sendirian, pas pesan makan sama mbak-mbaknya saya mendadak galau. Karena saya lihat di samping saya banyak cowok-cewek yang lagi pacaran gitu, pake mesra-mesraan pula, dan kegalauan pertama yang saya alami adalah : saya baru sadar kalau ternyata hanya saya saja yang duduk sendiri disitu. Kegalauan yang kedua adalah ketika saya curi-curi pandang nglihatin si cewek, tapi cowok yang duduk disebelahnya langsung melotot dan pasang tampang marah, nah kalau saya mau lihat cowoknya, emang saya ini cowok apaan gitu nglihatin cowok juga.

Akhirnya saya cuma bisa ngelihat ke atas, ngliatin atap. Kegalauan ketiga saya adalah pas pesan makan, cowok di samping kanan saya yang sengaja pamer kemesraan bilang ke mbak-mbak pelayan,

“mbak, nasi gorengnya satu, tapi sendoknya dua ya.”
“minuman mas?”
“es jeruk mbak, sedotannya juga dua ya”

Pas mbak-mbak pelayan nyamperin meja saya, saya nggak mau kalah juga dengan cowok di samping saya tadi. Pas mbaknya Tanya,

“pesan apa mas?”
“sama dengan sebelah saya ini mbak, sendoknya satu tapi nasi gorengnya dua.”
“minumnya mas?”
“sama juga, es jeruk, tapi nggak pake sedotan mbak, kalau ada gayung aja.”

Galau membuat badan saya semakin mengembang dimana-mana.

Kadang saya nggak habis pikir dengan gaya romantis seperti itu, sepiring berdua, segelas berdua. Kalau dipikir-pikir ternyata nggak beda jauh antara romantis dengan dompet tipis.

Namun kegalauan saya tidak berakhir sampai disitu, karena pas pulang ternyata sandal saya putus dan akhirnya pulang jalan kaki nggak pakai sandal. Lengkap sudah kegalauan saya saat itu, nggak hanya cinta saya saja yang putus, tapi sandal juga ikut-ikutan putus.

Itu galau banget.

Teman saya nyaranin nggak boleh banyak sendirian biar nggak semakin galau. Suatu saat saya niat keluar keluar nyari hiburan bareng teman-teman. Beberapa waktu yang lalu ada grup band favorit saya Sheila On 7 yang main di Samanta Krida, saya berencana lihat bareng teman. Tapi saya nggak tahu kalau tiketnya sudah habis, sold out. Saya mulai sedikit galau.

Akhirnya kami memutuskan main ke alun-alun kota batu, dan ternyata disana juga sedang ada konser band d’Masiv. Pikir saya nggak apa-apa lah, yang penting ada hiburan. Saya lihat bareng teman juga pengunjung yang lain.

Awalnya sekitar saya ramai sama teriakan cewek-cewek yang histeris. Namun dalam sekejap mendadak hening pas d’ Masiv membawakan lagu-lagu sendu bin galau mereka. Yang ada adalah mereka nyanyi bareng pacar mereka masing-masing, dan parahnya hal itu dilakukan dengan berpelukan.

Tingkat galau saya mulai meningkat.

Berada dalam lingkungan seperti itu membuat saya terpengaruh juga, saya ingin memeluk dan bernyanyi bersama. Saya lihat ke kanan nyari sesuatu yang dapat dipeluk, ada teman saya, mau saya peluk tapi namanya Wildan. Saya lihat ke kiri nyari yang bisa dipeluk, tapi yang ada Cuma pohon beringin. Kalau saya meluk sebelah kanan nanti saya dikira homo, kalau saya meluk sebelah kiri nanti dikira genderuwo penghuni pohon beringin. Galau saya sudah ke ubun-ubun. Oh my God, why always me?

Minggu Pagi di Kota Malang


Minggu pagi di Kota Malang akan terasa biasa saja sebagai hari libur jika dihabiskan untuk bersembunyi di balik selimut tebal setelah lelah menghabiskan waktu semalaman. Ya, karena di setiap minggu pagi Kota Malang punya dua acara menarik yaitu : gelaran Car Free Day (CFD) dan Wisata Belanja Tugu.

Gelaran sehari bebas kendaraan atau yang sering disebut car free day (CFD) memang telah menjadi tren positif di berbagai daerah di Indonesia. Dalam acara ini masyarakat dapat melakukan berbagai macam aktivitas olahraga dan sebagainya tanpa harus khawatir terganggu lalu lalang serta asap kendaraan, meskipun dalam pelaksanaan CFD tersebut biasa dipusatkan di jalan-jalan besar kota. Pun demikian halnya dengan Kota Malang yang selalu mengagendakan gelaran CFD setiap hari minggu pagi dan dipusatkan di Jalan Ijen mulai pukul 05.00-09.30 WIB.

Gelaran CFD yang baru beberapa bulan dilaksanakan di Kota Malang ini ternyata mendapat respon positif dari masyarakat. Hal itu dapat dilihat dari antusias warga Kota Malang yang datang setiap minggunya untuk berolahraga, bersepeda ria, berkumpul dengan komunitas mereka atau sekedar menikmati udara segar pagi hari dengan berjalan kaki. Antusias warga tersebut ditanggapi oleh pihak penyelenggara dengan rutin mengadakan senam pagi dan pemeriksaan kesehatan gratis.

Disini warga dapat memeriksakan kesehatan atau ikut senam massal dengan arahan instruktur di atas panggung. Mulai dari anak-anak, remaja sampai yang tua pun ikut bersama menggerakkan badan dengan iringan musik tentunya. Tak hanya itu, tersedia banyak door prize untuk warga yang beruntung. Sehat dapat, hadiah pun juga didapat.


Tunggu dulu, setelah puas berkeringat bersama dengan senam massal, jangan buru-buru pulang, karena kurang lengkap rasanya apabila tidak mengunjungi Wisata Belanja Tugu. Acara ini sama-sama digelar setiap minggu pagi, bedanya acara ini diadakan di Jalan Semeru yang terhubung langsung dengan Jalan Ijen di mana gelaran CFD diadakan.

Bagi anda yang ingin memuaskan hasrat belanja, disinilah tempat yang pas. Karena anda akan menjumpai deretan tenda yang menjual berbagai macam barang, mulai dari keperluan sehari-hari, berbagai macam aksesoris, sampai aneka kuliner dapat anda temukan disini.

Jika anda memulai perjalanan dari jalan Ijen, anda akan menjumpai tenda yang menjual pakaian mulai anak-anak, perempuan, dewasa, kaos arema, aksesoris seperti ikat pinggang, sepatu, tas, topi, kacamata, dan masih seabrek lagi barang lainnya. Soal harga?? Nggak perlu khawatir, selain terjangkau juga masih bisa ditawar lho.

Setelah berolahraga dan berbelanja, kini saatnya memanjakan perut karena begitu anda berputar jalan dan kembali, maka anda akan menjumpai deretan tenda yang menjajakan aneka macam kuliner. Mulai dari jajanan tradisional seperti gethuk lindri, cenil, lupis, klepon hingga kue modern seperti pizza dan burger semua tersedia. Bila jajanan itu kurang ampuh untuk ‘menjinakan’ perut anda, ada berbagai makanan seperti nasi pecel, nasi jagung, nasi rames, nasi uduk, sate, rawon dan masih banyak lagi.

Dua acara tersebut dapat dijadikan alternatif liburan pendek, terutama mahasiswa yang terlalu sibuk di kampus. Wah..minggu pagi di kota malang, siapa takut!!

About Love

"Berterimakasihlah kalian yang masih dikarunia anugerah berupa perasaan cinta. Berbahagialah kepada kalian yang sekarang dapat merasakan indahnya jatuh cinta. Jangan pernah takut untuk merasakan lagi yang namanya jatuh cinta, karena cinta itu anugerah dan pasti ada hikmah di dalamnya. Biarkanlah cinta itu datang menyapa kalian, dan biarkan pula cinta itu berproses dengan sendirinya, tak perlu dipaksakan. Maka dari itu, nikmatilah setiap perjalanannya dari cinta kalian. Entah bagaimana perasaan yang kalian rasakan karena cinta. Senang, sedih, bahagia atau bahkan derita sekalipun itu merupakan satu paket. So, enjoyed
.

Hikayat Sebuah Pilihan

Kelemahan terbesar dari setiap manusia adalah : kemampuan dirinya untuk memilih.

Memilih, adalah hal yang sering kita dengar dalam kehidupan kita sehari-hari. Hampir setiap saat kita dihadapkan pada suatu pilihan, terlepas apakah pilihan itu dalam skala kecil atau besar?
Semuanya tetap membutuhkan keputusan kita. Keputusan untuk menentukan pilihan.

Sejak kecil kita telah dihadapkan sekaligus diajarkan dengan yang namanya memilih. Dalam setiap ujian misalnya, tentu masih ingat bagaimana kita memenuhi lembar demi lembar kertas ujian dengan pilihan kita, dan pada akhirnya pilihan kita dinilai oleh orang lain yang kita sebut dengan : guru.
Nilai yang baik tentu adalah indikasi bahwa banyak pilihan kita banyak yang benar, dan sebaliknya nilai yang buruk adalah cermi
n kalau pilihan kita telah banyak yang salah.

Itu semua terjadi sewaktu kita kecil, saat dimana kita masih diajarkan tentang dua hal : mana pilihan yang benar dan mana pilihan yang salah.
Dan saat ini waktu telah melaju dengan kecepatan yang tak terkendali, membawa kita melewati masa kecil itu sebagai sebuah pembelajaran dan kenangan. Dan kini, kita sudah dihadapkan pada suatu kata yang bagi sebagian orang terasa berat karena membutuhkan tanggungjawab besar, dewasa.

Terlepas di saat kita masih kecil atau sekarang kita telah bermetamorfosis menjadi fase dewasa, pilihan akan selalu hadir dalam setiap langkah kita.
Tapi, Pernahkah kita yang mengaku telah dalam fase dewasa ini menilai sendiri setiap pilihan-pilihan kita???

Bagi saya sendiri, memilih bukan lagi tentang benar dan salah, tentang nilai baik atau buruk, tentang sesuai atau kurang sesuai, bukan semua itu. Tapi, memilih adalah proses, proses untuk menjadi berani, berani memikul tanggungjawab atas semua resiko-resiko dari pilihan kita. Terlepas apakah pilihan kita itu benar atau salah. Setidaknya kita menjadi tahu, mana yang baik bagi kita dan mana yang kurang baik bagi kita, karena kita sendiri yang menilai pilihan kita masing-masing. Bukan lagi bapak ibu guru atau bahkan orang lain.

Bagi kita semua yang masuk fase dewasa, menentukan pilihan tidak semudah yang kita bayangkan. Bukan sekedar menentukan pilihan dan menerima resiko yang ada, bukan sesederhana itu. Memerlukan berkali-kali pemikiran hanya untuk sekedar mengatakan "iya" atau "tidak".
Mungkin banyak faktor yang membuat : menentukan pilihan adalah kelemahan terbesar dari setiap manusia. Dan sampai saat ini, saya termasuk salah satu manusia dalam pernyataan tersebut.

Tapi mau tak mau, senang tak senang, kita harus menentukan pilihan kita, menentukan sikap apa yang kita ambil, menentukan kemana arah selanjutnya kita melangkah, dan menentukan jalan hidup yang kita jalani.

Hidup ini adalah pilihan, setiap pilihan tak lepas dari sebuah resiko, dan semoga tak ada kata sesal atas apa yang menjadi pilihan kita.

....