Friday 14 June 2013

uj(i)an dan (h)ujan

..hujan.. anugerah yang datang bersama setiap rintiknya.

Itulah filosofi sebuah band asal Jogja bernama The Rain. Saya setuju, karena memang di setiap hujan selalu membawa anugerah. Karena dari hujan selalu ada yang bisa diceritakan. Termasuk ujian!

Loh, kok ujian?

Iya, soalnya sekarang para mahasiswa sedang berada dalam musim ujian, juga musim hujan. Nah, kalo ngomongin hujan dan ujian saya punya banyak cerita.

Cekibrooottt..

Ujian + Hujan = Bikin Cepat Lapar.

Sebenarnya nggak ada yang salah dengan adanya ujian yang datang kepada mahasiswa setiap akhir semesternya. Tapi kalo datangnya barengan hujan bisa lain ceritanya. Musim ujian tentu intensitas belajar kita menjadi meningkat dibandingkan hari-hari biasa. Kalo biasanya belajar itu cuma lihat jadwal kuliah besok pagi apa saja, ada tugas apa nggak. Kalo sekarang belajar itu lebih ke arti sebenarnya. Buka buku, buka catatan, buka fotokopian sambil bengong berjam-jam. Nah, asal kita tahu selama belajar otak kita butuh asupan energi. Energi diperoleh dari makanan yang kita makan. Makanya kalo keseringan belajar, otak jadi cepat capek dan bikin perut cepat lapar. Apalagi ditambah sekarang musim hujan. Semakin membuat cepat lapar.

Ujian Itu = Olahraga Absurd.

Iya absurd. Terutama untuk mahasiswa jurusan sosial seperti saya. Sebelum ujian memang disarankan berolahraga untuk menjaga kebugaran tubuh. Biar pas ujian nggak jatuh sakit. Maklum sekarang kan musim hujan. Tapi pas ujian, secara tidak langsung kita juga melakukan kegiatan olahraga. Cuma kita kurang menyadarinya seperti :

Olahraga Tangan. Di jurusan sosial, ada disparitas (kesenjangan) besar yang terjadi dalam ujian. Antara soal ujian dengan jawaban ujian. Dimana soal ujian biasanya pendek, satu atau dua kalimat selesai. Tapi jawabannya bisa ngabisin berlembar-lembar kertas ujian dan nggak selesai-selesai. Kalo dipikir, lebih mirip nyalin dari buku daripada menjawab soal. Malah terkadang ada yang sampai nambah kertas jawaban ke petugas jaga. Biasanya tipe-tipe anak perfeksionis atau punya ukuran font tangan yang gede. Kalo sampai nambah tiga kali, berarti dia gabungan antara keduanya.

Olahraga Mata. Karena terlalu banyak hafalan dan jawaban, terkadang baru sampai soal nomor dua otak kita sudah blank, gelap, kosong. Akhirnya kita berusaha agar lembar jawaban kita nggak ikutan kosong. Dan cara yang paling cepat adalah dengan bertanya kepada teman. Sayangnya cara itu nggak mudah. Apalagi kalo pas penjaganya kebagian yang tipe “mata elang”. Tapi biarpun mata elang, toh mereka manusia juga yang nggak luput dari keteledoran. Nah, disaat itulah kita harus pintar memanfaatkan situasi. Lirik kanan kiri. Melatih otot pergerakan otot mata.

Olahraga Otak. Di sosial yang terjadi biasanya jawaban nggak cukup satu atau dua kalimat, panjang dan banyak banget. Kalo otak sudah nggak kuat, ujung-ujungnya juga bakalan ngarang jawaban. Nah, disini diperlukan otak yang terlatih. Terutama berlatih imajinasi. Supaya pas ngarang jawaban nggak ngelantur. Salah-salah bukan jawaban yang ditulis, tapi malah curhat. Itu ngelantur tingkat dewa!

Ujian Itu = Membuat Akrab Dengan Teman.

Iya akrab. Apalagi sama teman yang pinter, jadi tambah cepat akrabnya. Kalo di hari biasa, biasanya cuma bertegur sapa pas ketemu. Sekarang pas ujian jadi seneng deket, ngajak ngobrol, nawarin rokok, makan sampai ngajak duduk sebelahan di pas ujian. Tapi bagi yang punya otak pas-pasan menjadi serba salah. Mau ngasih contekan, kita sendiri nggak yakin sama jawaban sendiri, apalagi mau dikasih ke orang lain. Karena nggak dikasih teman kita marah, bilang nggak sohib. Eh, giliran dikasih jawaban malah dimaki-maki, disalah-salahin. Bilang jawabannya nggak bener lah, kurang tepat lah. Kalo ngerti begitu kenapa nggak belajar sendiri KAMPRET!!

Ujian + Hujan = Susah Mengatur Jadwal Tidur Dan Belajar.

Iya susah. Karena hujan jadwal tidur dan belajar menjadi berantakan. Pas semangat belajar, sudah nyiapin beberapa buku dan camilan di meja, eh malah turun hujan. Hawa menjadi sejuk dan adem. Mengunyah makanan tetap semangat, tapi tidak dengan semangat belajar. Akhirnya nyender bantal sedikit langsung bablas. Pas bangun hampir pagi hari, terpaksa kebut belajar. Tapi mata terasa masih ngantuk, jadi lumayan berat. Akhirnya tidur lagi dan susah bangun pagi. Maksudnya bangun pagi kemudian beraktifitas. Bukan bangun, melek, merem, melek lagi, merem lagi, kemudian bablas. Begitu bangun sudah terlambat masuk ujian. Itu juga kampret!

Ujian Pagi + Boleh Buka Buku = Bikin Mata Melek.

Iya, ada tipe ujian boleh buka buku. Kalo mendengar boleh buka buku harusnya gampang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Soalnya saya nggak tahu buku mana yang harus dibuka. Saya cuma punya buku catatan, isinya juga corat-coret semua. Nggak jauh beda sama tembok kamar mandi zaman sekolah. Akhirnya cuma bisa bolak-balik buku sampai kertasnya kusut. Begitu nggak nemu jawaban, gantian muka yang kusut.

Ujian Itu = Kampret!

Iya, kampret! Sudah capek-capek belajar, mondar-mandir nyari pinjeman catatan, bukunya juga bahas inggris level 3 (bahasa inggris anak sosial), tebel-tebel pula. Kemarin sebelum ujian nggak dikasih tugas pengganti ujian. Berarti memang ada ujian. Sumpah, semua itu bikin kelimpungan setengah mati. Tapi pagi harinya di ruang ujian, nggak ada soal yang dibagikan. Nggak ada soal yang harus kami kerjakan. Semua itu diganti dengan tanda tangan di lembar presensi. Iya, cuma tanda tangan doang. Baru kali ini nilai ujian semester dipertaruhkan hanya dengan tanda tangan. Jujur setengah hati saya seneng nggak jadi ulangan. Tapi setengah hati saya gondok banget. Tau seperti ini semalam saya tidur. Demi apa coba ini semua?? (tiba-tiba Arya Wiguna muncul dari bawah meja, kemudian menggebrak meja keras sambil berkata, “Demi..Kiaaaaaann!!)

Ujian Itu = Bikin Freak.

Saat itu ujian sifanya boleh buka buku. Beberapa teman ada yang sampai buka laptop, karena beberapa materi berada disana. Pikir saya masih wajar. Tapi di sebelah saya duduk seorang cowok (kebetulan kakak tingkat), dari tampilan sih kelihatan banget anak rajin. Tapi yang bikin saya nggak habis pikir adalah, dia mengeluarkan jam weker yang berbunyi kriiiiiing, menyetel ke jam tertentu, kemudian meletakkan didepan tempat duduknya. Saya cuma bengong pas melihat. Padahal dia juga pakai jam tangan. Terus jam weker tadi buat apa? Kalo sekedar untuk pengingat kan sudah aja jam tangan. Setiap 5 menit sekali dilihat kan juga nggak masalah. Malah masang jam weker. Kenapa nggak sekalian aja Jam Gadang ditaruh disebelahnya. Atau kalo masih kurang mantap, elpiji 3 kilogram aja dipasangi sumbu. Biar semangat ngerjain ujiannya. Biar tepat waktu. Biar greget!!

Yah, itulah sedikit cerita dari ujian di musim hujan. Memang yang namanya ujian kita harus tetap belajar sebelumnya, biar bisa mengerjakan. Tapi kalo untuk ujian hidup, kita harus merasakan ujian terlebih dulu, baru bisa mengambil pelajaran. Uhuk!

Selembar Kertas Kusut..

“Kamu kok aneh sih?”

Entah sudah berapa banyak orang yang bilang kalo saya ini aneh. Saya nggak tahu berapa jumlah resminya, karena pihak BPS nggak pernah ngasih data pas diminta. Yang jelas banyak. Berawal dari beberapa teman saya di SMA sampai sekarang jadi mahasiswa. Mereka sering nyeletuk, “kamu kok aneh sih?”. Satu, dua, tiga orang bilang seperti itu saya cuek saja. Tapi semakin lama satu, dua, tiga orang tadi berubah jadi puluhan jumlahnya. Sekarang hampir setiap orang yang mengenal saya bilang seperti itu.

Apa yang salah dengan saya?

Saya jadi bingung. Saya manusia, jenis kelamin laki-laki (dilihat dari gambar), doyan makan, suka sama cewek, punya SIM dan KTP, punya seragam sekolah, makan juga nasi. Terus anehnya dimana? Saya mau bertanya tapi bingung kemana..

Saya teringat Ebit G Ade pernah berkata dalam liriknya, “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.” Nah, saya coba saran itu dan segera mencari tanah lapang dimana terdapat banyak rumput disana. Setelah ketemu rumput, saya mencoba bertanya pada mereka. Satu, dua, tiga kali saya bertanya tapi rumput itu tidak menjawab, hanya bergoyang. Ternyata rumput memang nggak bisa ngomong, hanya bisa bergoyang. Terus kenapa tadi saya bertanya? Saya merasa bego. Sebagai seorang akademisi saya merasa gagal.

Salah satu teman saya bilang, “Tanya sama diri kamu sendiri, kenali diri kamu sendiri!”

Saya berfikir bagaimana caranya bertanya pada diri sendiri? Oh, iya pakai cermin. Kalo kita bercermin, kita bisa melihat diri kita sendiri di dalam cermin. Oke, saya langsung berdiri di depan cermin. Satu, dua, tiga kali saya bertanya, tapi bayangan di dalam cermin malah ikut-ikutan nanya balik. Saya coba lagi terus bertanya. Lama di depan cermin sampai cerminnya bosan. Tapi dia nggak ngasih jawaban. Malah ikut-ikutan bertanya. Kampret!!

Saya kembali bingung.

Sampai saya menemukan selembar kertas kusut yang terselip di dalam sebuah buku pas beres-beres. Iya, selembar kertas kusut yang saya corat-coret pas masih menjadi mahasiswa baru. Selembar kertas kusut yang mungkin sengaja saya simpan. Selembar kertas kusut yang sedikit memberikan jawaban atas pertanyaan, “kok kamu aneh sih?”

***

Saya masih ingat betul, pertengahan tahun 2008 saat masih berstatus mahasiswa baru. Saya mengikuti hampir seluruh kegiatan ospek di kampus. Sebenarnya semua kegiatan tersebut bisa ditebak arahnya bakal kemana, kan namanya juga “pengenalan kehidupan kampus”. Apalagi ospek di fakultas saya berlangsung selama satu semester, dan saya termasuk angkatan pertama sebagai percobaan. Lumayan kampret sih. Kalo dipikir paling dari baca buku, lihat peraturan, tanya kakak tingkat semua pasti kelar. Bisa saja semua itu saya lakukan dan nggak harus capek-capek bangun pagi buta, berpanas ria, dan baru pulang saat matahari sudah lenyap. Tapi satu hal yang nggak bakal saya peroleh kalo memutuskan seperti itu. Saya nggak akan punya kenangan tentang masa itu.

Pas ospek kami dibagi per pleton barisan. Suatu saat di pleton saya hanya 4 orang saja yang hadir, kalo formasi lengkap sekitar 30 orang. Hal itu juga terjadi pada pleton lain. Mungkin pada bosen dan males, makanya acara ospek yang total peserta 1200 lebih berasa semacam konser besar yang nggak laku. Karena panitianya lebih banyak daripada penonton yang datang.

Sepi.

Saat itu mentor (pendamping) saya mengadakan game untuk “menghibur” empat orang anak yang telah sok rajin dan “rela” hadir di hari itu, termasuk saya. Mas Faris (mentor saya) menyuruh kami semua mengambil selembar kertas. Pokoknya selembar kertas, bagaimana pun cara kami mendapatkan, apakah dengan cara halal atau haram yang penting siapakan selembar kertas. Waktu itu saya minta kepada teman, karena nggak bawa apa-apa. Modal saya ke kampus cuma dua : nyawa sama papan nama.

Sambil posisi duduk Mas Faris menjelaskan peraturannya. Selembar kertas itu dibagi dua bagian. Bagian atas untuk menggambar sedangakan bagian bawah dibagi lagi mejadi dua kolom. Kemudian memberikan instruksi yang hanya sekali diberikan, tanpa diulangi lagi.

“Dibagian atas, silakan kalian gambar sosok manusia. Terserah kalian. Bebas. Nah, kolom sebelah kiri kalian isi dengan 4 kelebihan gambar kalian, dan yang kanan kalian isi dengan 4 kekurangan gambar kalian. Waktu menyelesaikan hanya satu setengah menit. Nggak ada perpanjangan. Jadi, selesai tidak selesai harus dikumpulkan. Oke, waktu dimulai!”

Tiga orang teman saya buru-buru menggambar, dan saya buru-buru mengambil pulpen dari tangan Mas Faris dengan paksa kemudian buru-buru ikutan menggambar. Kertas saja minta apalagi pulpen. Kan sudah saya bilang, saat itu modal saya ke kampus cuma dua : nyawa sama papan nama.

Menggambar di kejar waktu itu rasanya nggak enak banget. Nggak jauh beda pas boker tapi diluar ada yang terus gedor-gedor pintu. Jadi kurang khusyuk. Apalagi Mas Faris berdiri sambil teriak kalo waktu sudah mau habis.

“30 detik lagi...20 detik lagi..”

Menjelang sepuluh detik terakhir, hasil gambar saya selesai. Saya menggambar seorang nenek penjual jamu gendong, bawa tongkat. Ya, apapun hasilnya saya mengganggap itu gambar orang. Lantas buru-buru saya mengisi dua kolom dibawahnya. Otak saya mampet, detak jantung meningkat, keringat dingin keluar, tangan semakin pegel.

“3 detik lagi..”

Saya isi apa yang terlintas di kepala.

“Stop. Waktu habis!!”

Otak saya kram. Kampret!!

Kemampuan menggambar saya memang cetek. Apalagi ini waktunya cepet banget, ditambah mengisi ini itu pula. Perpaduan yang pas untuk membuat otak serta tangan kram. Awal masuk SMP saya pernah menulis surat cinta, biar lebih keren saya kasih gambar hati warna merah. Tapi pas saya kasih malah dikira gambar apel di pasar. Payah. Sebagai penggemar rubrik gambar di Majalah Bobo saya gagal.

Setelah menerima hasil gambar kami semua, Mas Faris tersenyum. Semacam senyum puas melihat hasil kebrutalan 4 mahasiswa baru yang “sok rajin”. Sok rajin karena mahasiswa lain pada bolos ospek, eh malah nongol di kampus. Kemudian menjelaskan maksud dari kebrutalan barusan.

“Jadi game tadi adalah untuk mengenal diri sendiri. Karena saat kita terdesak, kita akan menampilkan diri kita sendiri. Kalo masalah gambar itu imajinasi kalian. Nah, kalo yang kalian tuliskan di kolom kelebihan dan kekurangan, kemungkinan besar itu ya kelebihan dan kekurangan kalian sendiri.” kata Mas Faris kemudian menyerahkan hasil karya kebrutalan kepada kami sambil menahan tawa.

Berarti dia mengetahui kelemahan saya. Sial!

Saya langsung melihat selembar kertas hasil minta-minta sama teman yang sekarang sudah terisi coretan hasil kebrutalan. Gambarnya lumayan ancur. Apakah saya juga ancur?? Entahlah..


Saya membaca kedua kolom yang dibawah, kelebihan dan kekurangan. Di kolom kelebihan tertulis : GAMBAR SUPERHERO, PEJUANG, KREATIF, PANTANG MENYERAH.


Sedangkan di kolom kekurangan tertulis : GAK JELAS, BIKIN BINGUNG, KASIHAN, PAS!!. Saya diam memandangi selembar kertas itu. Dari keduanya, saya lebih percaya apa yang tertulis di kolom kekurangan. Absurd banget.


Selembar kertas itu langsung saya simpan sampai sekarang.

Pernah juga saya melakukan permainan ini ketika diminta mengisi pembekalan kepada panitia ospek baru. Masih dengan peraturan yang sama mulai selembar kertas, dua bagian, dua kolom, satu setengah menit. Saat mereka mengisi selembar kertas, sengaja saja berjalan sambil melihat apa yang mereka gambar dan tulis.

Dari gambar saya menjumpai Naruto, Son Go Ku, sampai jin botol. Saya tertawa. Saya terpaksa geleng-geleng melihat salah seorang dengan pede menuliskan kata : Macho, Cool, Keren, Cakep di kolom kelebihan. Pas saya lihat mukanya kayak (maaf) muntahan biawak. Juga nahan ketawa pas ada cowok nulis kata : Banci, Maho di kolom kekurangan. Andai dia tahu telah menyebarkan aib sendiri.

That’s a game!

Terlepas dari permainan itu, terlepas dari itu semua, paling tidak saya sedikit tahu kenapa banyak orang yang bilang saya ini aneh. Mengetahui kelebihan dan kekurangan itu memang penting untuk menjalani hidup ini. Namun bagi saya pribadi, lebih penting mengetahui kelemahan kita lebih awal daripada kelebihan. Mencari kelebihan itu gampang karena kita sendiri yang menentukan. Tapi untuk mencari kelemahan, kadang kita perlu kebesaran hati untuk menerima pernyataan dari orang lain yang bisa saja pedas, nggak ngenakin, dan bikin kesal, padahal itu jujur.

***

“Mas, kamu kok aneh sih?”
Ah, sudahlah....

Monday 10 June 2013

Alone again naturally....


Paijo terbangun dari tidurnya sekitar pukul 8 malam, setelah memulainya 4 jam sebelumnya. Begitu nyawanya terkumpul, Paijo bergegas keluar kamar dan mencari penghuni kos lainnya. Namun Paijo tidak menemukan satu manusia pun di tempat kosnya. Semuanya lenyap entah kemana. Paijo terus mondar-mandir, bolak-balik dari kamar satu ke kamar lainnya. Tapi hasinya tetap sama. Nihil. Nggak ada satu pun penghuni kos yang ditemuinya. Paijo langsung mengambil handuk dan peralatan mandi, kemudian berkata, “Jancuk! Iki kosan ta kuburan seh. Arek-arek nangdi kabeh ini?”

Malam itu pun Paijo sendirian di tempat kos. Kesepian.

***

Pasti semua orang pernah mengalami kejadian seperti Paijo di atas. Meskipun bukan berlabel anak kos, tapi setiap orang pernah terlibat dengan rasa sepi atau kesepian.
Nah, kalo ngomongin soal pengalaman-pengalaman kesepian, ternyata bukan hanya keripik maicih, mie setan, sama game angry birds saja yang punya level, kesepian pun juga punya level sendiri. Sesuai dengan “kadar” kesepian yang dialami, saya mencoba mengklasifikasikan level kesepian tersebut...

Langsung aja nih, cekibrooott...

Level SATU!

Pada level satu ini, bisa dibilang kalo kesepian yang dialami hanya bersifat sementara. Misalanya terjadi saat kita bangun tidur atau seharian nyepi di dalam kamar sendirian. Nah, pas kita bosen terus pengen ngobrol sama temen, ternyata mereka semua nggak ada di tempat, lagi keluar beli makan atau camilan. Yah, paling setengah jam juga sudah balik. Akhirnya sambil menunggu mereka pulang kita mainan henpon, mulai nelpon temen, pacar (kalo punya), buka-buka situs jejaring sosial atau iseng narsis di depan kamera. Begitu teman kita kembali, udah nggak kesepian lagi. Sederhana banget.

Level DUA!

Pada level ini juga nggak jauh beda dengan level sebelumnya. Namun, dalam segi waktu, kesepian di level ini “lumayan” lebih lama bila dibandingkan dengan level pertama (ya iyalah, namanya juga level diatasnya!). Misalnya ini terjadi pas masuk minggu tenang sebelum ujian. Ketika para penghuni kos lain mudik ke rumahnya masing-masing selama seminggu, tapi kita justru bertahan di kos karena masih terbelit “urusan”. Nah, selama itu kita harus bersiap untuk “terlibat” dengan kesepian setiap hari, selama seminggu.

Mau main PES nggak ada lawan, mau ngajak ngopi bareng nggak ada temen. Akhirnya kita yang gantian pergi ke tempat kos teman kita lainnya, bahkan kalo perlu sampai nginep. Yah, itung-itung sekedar mencari musuh untuk bermain PES atau nongkrong sambil minum kopi. Kalo bertahan sendiri di kos paling juga baca buku, bertemu teman dunia maya, ngerjain tugas (sok rajin). Kalo laper ya keluar beli makan. Kalo sudah capek ya tidur. Siapa tahu di dunia mimpi kita bertemu cewek impian. Masa di dunia nyata kesepian, di dalam mimpi kesepian juga. Itu apes banget.

Level TIGA!

Level ini lumayan mulai berat, karena sudah masuk di level tiga. Dimana di level ini yang dimaksud adalah kondisi kesepian karena kita nggak punya siapa-siapa lagi. Tinggal kita sendiri. Temen nggak ada, sodara jauh, pacar entah kemana. Dan parahnya itu berlangsung dalam jangka waktu lama. Biasa dibayangin dong bagaimana rasanya. Yah, mungkin rasanya nggak jauh beda dengan puisi di film AADC...

Ku lari ke hutan kemudian menyanyiku
Ku lari ke pantai kemudian teriakku
Sepi, sepi dan sendiri aku benci
Ingin bingar aku mau di pasar
.......
Pecahkan saja gelasnya biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh
......
Atau aku harus lari ke hutan lalu balik ke pantai?


Entah apa yang dirasakan oleh pembuat puisi saat itu. Coba kita pikir, dia sampai lari ke hutan cuma buat nyanyi-nyayi. Jauh-jauh ke pantai cuma buat teriak-teriak. Sampai pergi ke pasar cuma pengen merasakan ramai, dan akhirnya cuma bisa mecahin gelas biar ada suara, biar ramai. Sama ceritanya kayak jomblo yang tiap malem nggak pernah matiin tipi di kamar. Nggak ditonton sih, tapi biar ada suara-suara aja. Kasihan. *pukpuk*

Level EMPAT!

Yang namanya level pasti ada yang paling tinggi, dan seperti yang lain kalo level tinggi itu sudah pasti yang paling susah. Karena ini kesepian, jadi level tinggi itu lebih kepada “mengenaskan”. Mengenaskan level dewa lah kalo istilah sekarang. Nah, ini biasanya terjadi pada sebagian kecil orang. Dimana orang tersebut justru merasakan kesepian padahal dia sedang berada di tengah-tengah keramaian. Bingung? Iya, KESEPIAN DI TENGAH KERAMAIAN!

Misalnya pas jalan bareng teman-teman, ngobrol sambil ngopi, ketawa haha-hihi bareng. Tapi dalam hati kita merasa sepi. Semacam sepi yang nggak lazim, karena berada dalam kondisi yang semestinya nggak memungkinkan untuk merasa sepi. Tapi justru kita merasa sepi. Kita merasa kosong. Kosong karena biasanya kita melewatkan keramaian ini bersama seseorang, dan untuk kali ini orang tersebut sedang tidak bersama kita. Entah nggak bersama untuk saat ini saja, sudah pergi entah kemana, atau memang telah tiada. Hmm..meskipun ramai, tapi seperti ada yang hilang. Setiap orang yang pernah mengalami, pasti punya cara masing-masing untuk mengatasinya. Yah, inilah kesepian level dewa!


...menikmati pedihnya cinta, pria kesepian...
...menikmati dinginnya hati, pria kesepian... (Pria Kesepian – Sheila On 7)



Yah, itulah sepi. Semua orang pasti pernah merasakan yang namanya sepi. Entah berada di level berapapun. Entah pelarian apa yang dilakukan untuk mengusir sepi. Karena sepi, nggak akan pernah sederhana.

Hantu, Riwayatmu Kini...


Kalo ngomongin soal hantu, saya teringat dengan salah satu penghuni kos, namanya Mas Andy. Sepengetahuan saya, dia takut banget sama yang namnya hantu. Jangankan ketemu hantu, denger suara tetesan air yang mengenai selembar seng saja langsung mengeluarkan jurus langkah seribu. Itu baru denger dan beranggapan itu adalah setan yang sedang iseng. Apalagi kalo sampai ketemu dengan hantu beneran. Mungkin bisa dapat medali emas olimpiade lantaran kecepatan larinya ngalahin Usain Bolt, sangking kencengnya.

Tapi itu dulu, dan semua berubah ketika saya punya member rental DVD. Suatu saat tinggal kami berdua saja di tempat kos, sedangkan penghuni lain mudik. Saya mengajak Mas Andy untuk menyewa beberapa kaset film untuk ditonton sampai pagi. Itung-itung menghabiskan waktu selain main PES. Ternyata mas Andy setuju, malah dia yang membayar semua kaset sejumlah 5 buah.

Alhamdulillah.

Hampir setengah jam berada di rental kaset, kesana-kemari sambil memilih kaset mana yang mau dipinjam. Formasi pinjam kasetnya sih, 4 buah kaset film beneran, dan yang terakhir film buat seneng-seneng. Refresing buat otak. Nah, saya tawarin film hantu kepada Mas Andy pas melihat ada salah satu judulnya yang “serem”.

“Mas, berani nonton film hantu nggak?”
“Hantu Indonesia?”


Saya ngangguk.

“Nggak ah. Takut, Kim. Mending hantu impor aja deh.”
“Kan sama-sama hantu, Mas?”
“Kalo hantu impor itu nunggu diperiksa bea cukai dulu, baru bisa masuk kesini. Nah, kalo hantu lokal kan sudah lama bertebaran bebas disini. Siapa tau nanti pas pulang tiba-tiba sudah ada di sebelah. Serem. Ogah ah.”
“Yaelah. Nggak ada horornya.”
“Beneran? Awas sampai ninggal tidur!.”
“Sip!”


Mas Andy langsung melihat film dalam daftar katalog yang dipajang. Karena kami cowok maka kriteria yang dicari adalah : yang ada cewek cakepnya. Yah, wajarlah namanya juga cowok, masa mau lihat hantu terus. Kan bisa menyebabkan mata kering dan pecah-pecah, makanya butuh yang “seger-seger”. Akhirnya ditentukan film soal pocong dengan cover bergambar Donita. Sip. Saya setuju.

Seger abis.

Malam harinya, kami berdua langsung memutar film soal pocong itu. Ajaib, selama menonton Mas Andy nggak terlihat ada wajah takut saat pocong sedang mengeluarkan bakat aktingnya. Malah ketawa ngakak sambil terus ngunyah kacang. Apalagi pas lihat Donita bangun tidur cuma pake hot pans sama kaos ketat banget. Sumpah, pupil mata langsung membesar.

Seger abis.

Sejak malam itu, Mas Andy malah ketagihan terus nonton film “horor” Indonesia. Tapi masih takut kalo harus berhadapan satu lawan satu di dunia nyata.

Saya juga sih.

Soalnya film horor Indonesia itu nggak bikin serem tapi malah bikin tegang. Entah bagian tubuh mana yang tegang. Pokonya tegang aja. Beda kayak dulu pas jamannya Suzana. Lihat cover kasetnya aja udah minta dianterin kalo pergi ke kamar kecil. Udah gitu efek tegangnya itu berasa banget. Padahal ceritanya juga sederhana, ada cewek mati diperkosa, terus jadi sundel bolong, cekikikan malem-malem. Tapi serem abis. Abis itu nggak bisa tidur karena ketakutan.

Nah kalo sekarang, sama sih nggak bisa tidur juga, cuma beda kasus, nggak bisa tidur karena mikir yang nggak-nggak. Terus jadi sering pergi ke kamar mandi sendiri tanpa perlu minta ditememin. Di dalem lama, nggak tau pada ngapain.

Pas nyewa kaset film, ada beberapa film yang bikin otak saya lumayan berfikir. Ada film horor judulnya “Pocong Minta Kawin”. Sumpah! Pertama kali pegang katalog film itu, saya mikir film itu bercerita tentang pocong yang nggak laku-laku sehingga mengalami masa kegalauan akut. Masalahnya, pocong cuma bisa loncat-loncat, kalo melihat ke judul filmnya yaitu “Pocong Minta Kawin”...Nah, pertanyaannya cuma satu : bagaimana cara pocong ngasih tau ke orang-orang kalo dia lagi ngebet banget pengen kawin?

Saya nggak tau. Nggak pernah juga belajar bahasa isyarat pocong. Bisa jadi jejak loncatannya itu berbentuk semacam sandi morse. Ada titik ada garis panjang. Jadi bisa dibaca. Entahlah, belum pernah gaul sama pocong.

Tapi memang lima tahun terakhir ini dunia perfilman Indonesia sedang ramai dengan film-film hantu. Hampir tiap tahun selalu ada judul film baru soal hantu. Mulai pocong yang dibikin seri 1,2....sudah kayak sinetron tersanjung. Ada pocong yang diadu sama kuntilanak. Suster ngesot sampai keramas. Tapi dari mereka semua nggak ada satupun yang pernah meraih piala citra. Jangankan meraih, masuk nominasi juga nihil. Harusnya kan ada kategori untuk menghormati keberadaan mereka. Seperti kategori artis tersering dalan setahun. Nah, mereka sudah pasti dapat piala tuh.

Okelah, kalo soal film itu urusan produser yang punya duit. Mau bikin apa nggak terserah mereka. Kalo kita mau nonton atau tidak juga terserah masing-masing. Tapi masalahnya bukan itu saja, lantaran terlalu sering film hantu muncul, ada pergeseran nilai yang terjadi di masyarakat, terutama di kalangan remaja dan anak-anak. Iya, ada penurunan nilai “serem” ketika nama-nama hantu itu disebut. Anak kecil sekarang nggak takut lagi kalo mendengar kata pocong, kuntilanak, atau suster ngesot. Yang ada malah nafsu gara-gara melihat artis pemainnya.

Bukan itu saja, para wirausaha muda juga melirik ini bukan sebagai sebuah hal yang harus ditakuti, tapi sebaliknya ini adalah peluang untuk menciptakan usaha. Makanya muncullah nama makanan seperti mie setan, rawon setan, sambel iblis, singkong setan. Seperti orang latah, sekarang ini semua orang berlomba-lomba bikin usaha makanan dengan embel-embel nama setan. Mungkin beberapa tahun lagi, bukan hanya usaha kuliner yang memakai nama setan, tapi merambah ke usaha lain, laundry setan mungkin. Dimana setan-setan sedang dioutsourcing untuk mencuci pakaian sambil ketawa cekikikan. Hihihhiiii..

Nggak ada serem-seremnya.

Yah, kalo fenomena semacam ini terus-menerus terjadi, para hantu dan setan diekploitasi habis-habisan cerita pribadinya, bahkan dipaksain ke cerita yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan setan, bukan tidak mungkin anak-anak kita nanti nggak takut sama sekali pas dengar nama hantu. Malah kemungkinan besar para hantu itu dijadikan bahan becandaan.

Saya nggak bisa ngebayangin cewek-cewek sedang ngumpul di kantin, tiba-tiba ada cowok culun yang ngajak kenalan mereka, tapi mereka malah bilang..

“ Ngaca dong, muka culun kayak pocong pake mau ngajak kenalan!”

Atau pas naik motor sama pacar...

“Sayang, ini motor apa suster ngesot sih? Lelet banget jalannya.”

Atau, ketika mamanya nelpon malem-malem...

“Aduh, Ma. Kuntilanak aja jam segini belum pulang, masa aku udah harus pulang sih.”

Dan masih banyak lagi...

..Oh, paraaa hantuu...riwayatmuu kiniiii.... (nyanyi ala bengawan solonya Mbah Gesang)

Meskipun saya bukan presiden, tapi kalo hal ini bener-bener terjadi, saya ikut PRIHATIN...

Monday 3 June 2013

Childhood..!!


Baru tidur beberapa jam setelah melihat final liga champions. Pagi ini anak-anak kecil di samping kos sudah pada teriak-teriak sambil main bola. Tendang sana-sini. Berisik banget. Kenapa anak-anak ini nggak pada siap-siap berangkat sekolah? Saya baru sadara kalau hari ini adalah hari minggu. Merasa terganggu saya langsung keluar kamar. Pengennya saya marahin. Karena ini bukan yang pertama. Sudah sering!

Tapi begitu melihat mereka bermain bola dengan tampang polosnya dan ini juga hari minggu, saya batalkan niat memarahi mereka. Melihat mereka, justru teringat masa kecil saya. Ya, masa-masa yang membuat saya kangen di tengah kantuk yang melanda.

***

Saya kangen. Kangen pas jalan di depan rumah pertama kali dibikin aspal mulus. Hampir tiap minggu saya nggak pernah absen untuk lari pagi. Setelah sholat subuh berjamaah di masjid sebelah rumah, saya dan beberapa temen langsung berlari-lari sambil menanti datangnya mentari. Kadang seorang teman saya berkata kalo ada anjing yang mengejar, karena masih agak gelap kami semua berlarian sekuat tenaga. Padahal dia berbohong. Dia puas banget bisa ngerjain. Setelah jauh tertentu dan capek, kami memutuskan pulang tapi nggak pakai lari lagi. Melainkan menunggu cikar (gerobak gede yang ditarik sapi, bahasa Indonesianya sih pedati), sambil menunggu biasanya beli jajanan di tukang sayur yang lewat. Entah itu gorengan atau kue pasar itung-itung bekal selama naik cikar. Kami duduk di belakang dan menghadap ke belakang pula. Benda itu pun berjalan pelan karena menggunakan tenaga sapi. Sambil makan jajanan itu sesekali salah satu mulut diantara kami menyanyikan lagu “Damai”-nya Wayang. “Oh, damainya hatiku...kala mentari...bersinar lagi..”. Pas saya kecil lagu itu populer sekali.

Saya kangen. Kangen pernah ikutan lomba cerdas cermat tingkat SD. Saat itu saya masih duduk di kelas 5. Entah apa yang terjadi, saya dan guru di sekolah lupa kalau lomba dilaksanakan hari itu. Baru sadar setelah hampir pukul 9 pagi. Saya sudah payah karena jam pertama sudah habis-habisan bermain bola pas jam olahraga. Pak Karni (guru saya) langsung memacu motornya kenceng, berharap saya bisa cepat sampai. Akhirnya kami sampai jam 9, padahal lomba dimulai dua jam sebelumnya. Saya telat, tapi tetap masuk ke dalam kelas dan diketawain peserta lainnya. Saya cuma cengengesan kemudian duduk di kursi yang tersisa. Cuma satu, di pojok paling belakang. Waktu yang tersisa nggak ada satu jam, saya kebut mampus itu lima lembar soal dari lima mata pelajaran berbeda. Begitu keluar, saya ngobrolin bola dengan salah satu peserta, kebetulan dia sama-sama Milanisti (fans AC Milan). Bosan menunggu pengumuman yang lama, kami ke kantin yang agak jauh sambil beli gorengan. Pas asyik ngobrol, saya dicari Pak Karni kesana kemari, dan cuma geleng-geleng pas menemukan saya sedang asyik ngunyah pisang goreng di kantin. Saya disuruh berdiri di lapangan, di depan peserta lain, mereka semua tepuk tangan, saya masih celingak-celinguk kayak orang bego. Ternyata saya berhasil masuk lima besar, dan lolos untuk tingkat kabupaten. Pas pulang, Pak Karni bilang, “Tadi banyak guru yang protes karena kamu menang. Mereka nggak percaya dan minta dikoreksi ulang. Makanya lama..”. Saya cuma nyengir, sambil nggunyah kue jatah Pak Karni.

Saya kangen. Kangen pernah ikut lomba 17 Agustus antar TK di kecamatan. Pagi-pagi sekali, saya diantar Bapak ke TKP (tempat keberlangsungan perlombaan). Begitu sampai, disana sudah berkumpul peserta dari TK lain. Ramai sekali. Pedagangnya malah lebih ramai daripada pesertanya. Melihat peserta lain yang posturnya tubuhnya lebih kecil, Bapak saya langsung bilang, “Alah, yang lain pada kecil-kecil, Pras. Sikat habis!”. Saya ngangguk. Bapak saya senyum setelah berhasil memprovokatori anak laki-lakinya. Saya kebagian lomba lari, bolak balik mengambil dan menaruh bola. Ada lima bola yang harus diambil. Pas bola terakhir saya paling depan. Saya yakin pasti menang. Entah karena terlalu semangat atau perintah otak yang salah, tiba-tiba saya kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling di lapangan. Alhasil, si kampret di belakang saya yang jadi juara, dan saya kalah. Bapak saya malah ngetawain. Pas ditolong, saya langsung nangis di tempat. Bukan karena kalah, tapi lebih kepada malu. Malu sama anak cewek Bu Guru TK yang ikut melihat “akrobat” saya barusan. Soalnya saya suka sama dia. Uhuk!

Saya kangen. Kangen pernah ngasih sesuatu untuk sekolah saya. Sejak kecil saya pramuka-holic. Makanya saya dan beberapa teman dilatih khusus untuk dikirim mewakili SD di perlombaan Itajamnas (Ikatan Jambore Nasional). Saat itu saya masih kelas 6, dan dipilih menjadi ketua regu dengan alasan : suara saya paling kenceng kalau teriak. Alasan yang sederhana sekaligus kampret sekali. Disaat para regu lain menggunakan nama regu mereka dengan para “raja hutan” seperti singa, harimau, ular, dan elang. Regu kami malah menggunakan nama “kijang”. Bukan karena anti mainstream, tapi pas saya beli di toko yang tersisa hanya bendera dengan gambar kijang. Ah, sudahlah...(dengan logat babe cabita). Berkemah di tanah lapang selama 4 hari, tidur di dalam tenda, dinginnya angin malam, serta harus mandi di sungai pagi-pagi buta itu rasanya nggak enak banget. Sumpah. Tapi kami tetap semangat mengikuti semua perlombaan yang ada. Mulai tali temali, baris-berbaris, semaphore, morse, cerdas tangkas, jelajah alam, sampai kenalan dengan cewek (yang terakhir itu saya sendiri yang mengadakan, khusus untuk regu kami). Di hari terakhir, regu kami dinobatkan sebagai juara pertama, juara umum. Saya maju untuk mendapat hadiah, juga pegang piala. Pas balik ke barisan regu, teman-teman sudah bersorak kegirangan, saya memasang tampang cool ke peserta lain yang semalam nyela kami gara-gara bernama “regu kijang”. Saya menatap wajah songong mereka seolah berkata, “Lu orang boleh pakai nama raja hutan. Tapi disini kami yang jadi rajanya, Bung!”. Puas banget. Perjalanan pulang kami lebih memilih menaiki mobil bak terbuka bersama barang-barang. Di atas mobil, pegang piala, nyanyi rame-rame, itu kemenagan kita. Saya sudah berasa seperti Paolo Maldini pas AC Milan jadi juara Liga Champions. Great!

Saya kangen. Kangen menikmati setiap kali hujun turun. Berlari-lari di jalanan bersama teman-teman. Bersorak, berteriak, apapun itu yang penting batin senang. Membuat perahu dari batang pisang, menaiki kemudian menghanyutkan perahu itu di sungai. Mengikuti arus sungai sampai entah kemana ujungnya. Kemudian pulang melihat orang dewasa yang berteduh di emperan toko, dan menganggap bahwa mereka semua itu aneh karena takut dengan hujan. Juga tak lupa berbuat sedikit maksiat dengan mencuri mangga atau rambutan yang ditemukan di jalan. Saat pemilik memilih berdiam diri di dalam rumah karena di luar sedang hujan deras, kami memanfaatkan kesempatan itu. Bagai sebuah geng yang terlatih, salah satu dari kami hanya memberi aba-aba dengan kata “beraksi”, tanda persiapan harus dimulai. Saat itu, salah satu dari kami bilang, “Saatnya kita beraksi!”. Terdengar keren banget. Padahal mau nyolong mangga. Ampun deh...

Saya kangen. Kangen kucing-kucingan dengan ibu soal tidur siang. Ibu saya adalah orang yang sangat menganggap penting tidur siang. Makanya sejak kecil saya dilatih untuk tidur siang. Tapi karena saya kecil pengen banget keluar rumah, bermain bersama teman-teman di luar. Yang ada setiap kali disuruh tidur siang, saya hanya berpura-pura masuk ke dalam kamar. Setelah semua tenang, saya berjalan dengan berjinjit keluar rumah. Kemudian main dengan teman-teman. Begitu pulang dan ketahuan, sebuah jeweran mampir di telinga. Panas banget. Tapi saya nggak pernah kapok. Dasar badung!

Saya kangen. Kangen pernah ikut karnaval anak TK. Saya dipasangkan dengan anak guru TK yang cantik (sebut saja Ira), dan diam-diam saya suka dengan Ira. Cinta monyet lah. Saat itu saya didandai pakaian adat betawi. Saya jadi abang, dan dia jadi none. Pakaian saya lengkap sampai bawa golok beneran segala. Pas selesai karnaval, saya istirahat dengan duduk di bangku bawah pohon. Tiba-tiab Ira juga duduk disamping saya. Saya bingung langsung bertanya, “Kok kamu ikutan duduk disini sih?” dan dengan lugu Ira menjawab, “Kan aku jadi pasangaan kamu sekarang.”. saya pasang tampang cool, padahal batin seneng banget. Kemudian ibunya memberi roti isi untuk Ira. Karena terlalu gede dia bilang pada saya, “Pras, yang separuh buat kamu. Kan kita pasangan.”. Saya mengangguk, kemudian mengambil potongan itu. Ira tersenyum, tapi saya tetap pasang tampang cool. Dalam hati seneng mampus. Sumpah. Begitu lulus TK, kami nggak pernah ketemu lagi karena dia pindah. Sampai tiga belas tahun kemudian, saat saya menjadi mahasiswa, semesta mempertemukan kami kembali. Ira tumbuh menjadi gadis dewasa, dan masih tetap cantik. Bedanya saat itu dia sudah punya pacar, begitu pula dengan saya. Dia juga bilang, “Aku nggak pernah lupa atas kejailan-kejailan kamu dulu.”. Kami berdua tertawa bersama.

Saya kangen. Kangen pernah main bola voli satu tim sama bapak. Bapak pas muda pernah jadi pemain boal voli, makanya badannya terbilang tinggi. Begitupun saya ketika masuk SMP juga terbilang lumayan tinggi. Makanya pas di desa ada pertandingan bola voli antar RT dalam rangka 17 Agustus, saya diajak main. Saya bagian tosser (pengumpan), sedangkan bapak dan yang lain bagian smash. Peserta antusias, meskipun hadiahnya “hanya” beberapa ekor ayam dan bebek (yang menang langsung pesta bakar-bakar). Saat itu RT kami nggak sempat masuk final, dan tidak tidak mendapatkan hadiah apa-apa. Tapi saya mendapatkan pengalaman berharga. Ya, bisa main satu tim dengan bapak.

Saya kangen. Kangen dimarahin ibu gara-dara Sheila on 7. Sekitar akhir 90-an, Sheila On 7 muncul sebagai grup band fenomenal. Album pertama mereka tembus satu juta kopi, dan saya langsung jatuh hati dengan karya-karya mereka. Sampai sekarang. Saat itu ada sebuah TV swasta yang menayangkan langsung konser mereka di Jakarta, bertepatan dengan musim ujian kenaikan kelas. Karena suka, saya ngotot untuk melihat konser tersebut sampai habis, baru belajar untuk ujian. Tapi ibu malah marah, tapi saya tetap ngotot. Akhirnya ibu bilang sambil marah, “Kalu begitu, besok jawaban ujiannya diisi semua dengan Sheila On 7!”. Malam itu saya tetap menonton konser sampai habis, dan puas banget. Pas pembagian raport kenaikan, ibu nggak pernah marah lagi setiap kali saya “terlibat” dengan Sheila On 7. Karena saya berhasil mendapat angka satu pada kolom bertuliskan “peringkat”. Sampai sekarang, setiap saya minta izin untuk melihat konser Sheila On 7, ibu hanya bilang, “Ati-ati..”. Thank’s Mom..:)

***

Saya kangen banget dengan masa kecil saya...

Saya jadi senyum-senyum sendiri kalau mengingat itu semua. Ya, disaat semakin bertambahnya umur, bertambah ilmu, juga bertambah beban pikiran. Paling tidak saya menikmati betul masa kecil saya, masa kenakalan, dan masa pembelajaran.

Andai kalau bisa, saya ingin pinjam mesin waktu milik Doraemon dan kembali ke masa kecil saya dulu. Bukan untuk memperbaiki hal yang buruk, dan menggantinya dengan yang baik. Itu sudah terjadi, dan biarlah. Saya hanya ingin melihat kepolosan wajah saya saat kecil. Saat melakukan apa yang disenanginya. Belum tahu itu benar atau salah. Saya pengen mengucapkan selamat atas keberhasilan saya, memberi dukungan atas kegagalan saya. Atau menertawakan habis-habisan kekonyolan saya, terutama saat jatuh dan harus menangis. Menangis karena rasa malu dilihat cewek yang saya suka.

Masa-masa itu saya belajar dan tumbuh, sampai sekarang. Saya kangen masa-masa itu...