Monday 17 December 2012

"Buah Khuldi"



Pagi ini jam sudah menunjukkan pukul tujuh, tapi matahari belum juga keluar dari balik awan. Sisa hujan semalam menambah kadar dinginnya udara pagi Kota Malang. Bagi mahasiswa, kondisi seperti ini tentu sebuah dilema. Satu sisi cuaca seperti ini terlalu nyaman untuk berlama-lama di dalam selimut. Di sisi lain mereka harus bergegas kuliah dengan hadangan dinginnya mandi pagi. Tapi hari ini adalah hari minggu. Mereka bisa dengan nyaman berada di balik selimutnya. Dari luar terdengar suara Bagas memanggil,

“Lang, ngerti sepatuku nggak dimana? Buru-buru nih ada acara di kampus.”
“Bukannya semalam ada disitu. Masa nggak ada?”
“Kalo ada aku nggak bakal tanya kamu. Masa ilang sih?”

Galang yang asik nonton TV di kamar langsung bergegas keluar. Semalam dia menaruh sepatunya ditempat yang sama. Benar saja, sepatunya ikutan amblas. Bukan cuma satu, tapi dua pasang sekaligus.

“Waduuuuuuhh. Sepatuku juga ilang. Dua pasang lagi!!”

Teriakan Galang kontan membangunkan Angga yang letak kamarnya bersebelahan. Dengan muka sewot Angga berdiri di depan pintu kamarnya.

“Heh, masih pagi tau!! Udah pada berisik. Nggak tau hari libur apa?”
“Sori. Sepatuku sama Bagas aku taruh disini ilang.”

Mendengar kata hilang Angga ikutan panik. Semalam Angga menaruh sepatunya juga di depan pintu. Begitu melihat ke bawah Angga nggak menemukan sepatunya. Jejaknya pun nihil.

“Buseeeeettt. Sepatuku kok ikutan amblas juga!!”

Udara pagi memang dingin. Tapi suasana membuat pikiran dan hati mereka panas. Rasa kantuk dan malas langsung berubah menjadi kebingungan. Ditengah kebingungan mereka saat mencari, Adit keluar dari kamar mandi menghampiri mereka.

“Ngapain pada mondar mandir kayak setrikaan?”
“Masih sempet nyela. Nggak tau orang lagi kena musibah. Sepatu kita bertiga ilang nih!!”
“Serius? Ilang dimana? Kapan?”
“Semalam aku taruh di depan pintu kamar. Nanya terus daritadi kayak pas ujian. Bantuin!!”
“Bukan gitu, Lang. Semalam aku taruh sandal gunungku disini juga. Terus tadi pagi pas aku mau mandi nggak ada.”
“Berarti ikutan ilang juga!!”
“Hah?!”

Hampir setengah jam mereka mencari mulai dari sudut kamar, tempat tersembunyi, sampai di lubang semut. Hasilnya tetap nihil. Nggak ketemu. Amblas. Raib entah kemana. Di pagi yang dingin, perut lapar, ditambah capek hati dan fisik setelah melakukan pencarian, mereka pun menenangkan semua itu dengan duduk di ruang tamu sambil terus bertanya satu sama lain tentang kronologis kejadian. Saat mereka saling berbagi kekesalan masing-masing, munculah Hendra dari dalam kamar sambil membawa peralatan mandi dan handuk yang melingkar di leher.

“Weiiiittss. Tumben pagi-pagi udah pada ngumpul. Nah, gitu dong akur. Kan jadi enak dilihatnya. Tapi muka kenapa pada kusut semua kayak pakaian belum disetrika??”
“Lagi kena musibah. Sepatu sama sandal kita berempat ilang.”
“Emang kamu taruh dimana?”
“Seperti biasa. Aku taruh di depan pintu.”
“Sukuriiiiiinn. Makanya kalau naruh sepatu jangan sembarangan.”
“Ah, bukannya bantuin malah ngejekin orang. Mandi sana!!”

Sambil ketawa Hendra bergegas ke kamar mandi. Tapi baru sampai di depan ruang tamu ketawanya langsung berhenti. Kepalanya menoleh kesamping kanan dan kiri. Pandangan matanya mencoba mencari sesuatu. Raut mukanya berubah seperti orang kebingungan. Sambil garuk-garuk kepala, Hendra kembali ke ruang tamu dan bertanya,

“Ada yang ngerti sandalku nggak?”

Adit, Bagas, Galang dan Angga saling berpandangan. Nggak ada yang menjawab. Kemudian langsung tertawa terbahak-bahak tanpa ada komando. Hendra masih garuk-garuk kepala sambil cengengesan.

“Makanya jangan ngejekin orang kena musibah. Kualat kan akhirnya sandalmu ikutan ilang.”

Hendra nggak jadi mandi dan langsung ikutan ngumpul di ruang tamu. Beberapa diantaranya masih megangin perut yang masih sakit karena tertawa. Kini mereka berlima senasib. Sama-sama kehilangan alas kaki. Tiba-tiba Bagas berkata,

“Kalian masih enak yang ilang cuma sepatu sama sandal. Semalam helm baruku juga ilang pas aku parkir di toko buku.”
“Helm ilang? Bukannya baru kamu belikan anti maling yang harganya lima puluh ribu?”
“Iya, tapi nggak aku pasang.”

Mereka spontan langsung tertawa kembali mendengar cerita itu. Helm baru, dikasih anti maling biar nggak kemalingan, tapi diambil maling juga. Kecuali Bagas, semua megangin perutnya yang sakit karena kebanyakan tertawa. Galang pun angkat bicara,

“Sumpah. Harusnya aku kesel gara-gara sepatuku ilang dua pasang. Tapi kok jadinya malah terus ketawa. Sampai sakit perutku.”

Bahagia dan sedih itu datang silih berganti. Kadang malah jeda diantaranya sangat cepat. Setelah volume tertawa semakin mengecil, dan sakit di perut mereka mulai terkendali. Tiba-tiba dengan wajah serius Bagas mulai bicara,

“Jangan-jangan sepatu ilang gara-gara kita ngambil mangga sebelah rumah kemarin?”
“Ah, masa sih?”
“Coba pikir. Yang kehilangan kita berlima. Kemarin yang terlibat juga kita berlima. Hendra bagian ngambil buah. Adit ngasih jalan lewat kamarnya. Aku nyiapin pisau. Galang sama Angga ikutan makan. Pas kan?”
“Bener juga sih. Berarti itu buah larangan. Yang ngambil bakal kena musibah. Seperti buah di cerita Nabi Adam. Apa namanya?”
“Buah Khuldi.”

Mereka semua langsung diam. Mungkin menyadari kalau musibah ini adalah akibat perbuatan mereka sendiri yang ngambil mangga tanpa izin. Yah, apapun alasannya, mencuri itu tidak baik karena merugikan orang lain. Mau perbuatan baik atau buruk semua pasti ada balasannya. Cuma kali ini mereka menerima balasanya sangat cepat. Istilahnya GPL (Gak Pake Lama).