Thursday 8 November 2012

Sepotong Semangka Di Siang Bolong



Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi, disaat saya terbangun oleh suara gaduh anak kecil yang bermain bola di luar kamar. Mata ini masih susah untuk terbuka, tapi telinga rasanya seperti “diperkosa” oleh kegaduhan di pagi itu. Berkali-kali saya mengumpat dalam hati. Bukan karena apa-apa, semalam saya begadang nonton semifinal liga champions sampai pagi tiba. Ya, hanya karena saya tidur setelah sholat subuh, beberapa jam yang lalu, nggak lebih. Mau tidak mau saya pun bergegas menikmati bangun pagi hari ini dengan penuh keterpaksaan.

Setelah nyawa terkumpul dan mata mulai terbuka dengan sempurna, ritual pagi pun saya mulai dengan senam wajah yaitu dengan mengucapakan huruf vocal A,I,U,E,O. Senam wajah tersebut dapat membuat wajah lebih segar meskipun sedang dalam kondisi kantuk berat, itu menurut buku yang pernah saya baca. Terlepas itu benar atau tidak, saya hanya mencobanya. Ritual selanjutnya tentu adalah kegiatan di kamar mandi, sesuai dengan susunan acara yang sama setiap harinya. Saya berharap kesegaran mandi pagi ini membuat kantuk saya lenyap, setidaknya sampai siang nanti. Membaca buku, menulis lepas, sampai bermain gitar berturut-turut saya lakukan untuk mengisi pagi hari saya, sampai panggilan alam datang, saatnya mengisi perut.

….

Berada di semester 8 membuat hari-hari saya berlalu dengan hal-hal yang monoton, mulai dari buku, main game skripsi dan kadang nongkrong di perpus. Ketika masih ada kuliah dulu, pergi ke kampus adalah alasan paling logis untuk membuang waktu. Meskipun nggak ada kuliah, setidaknya ketemu terus ngobrol bareng teman-teman bisa menjadi hal yang menarik. Tapi sekarang berbeda ceritanya, bagi mahasiswa semester 8 seperti saya, tidur itu lebih baik ketimbang pergi ke kampus tanpa tujuan pasti.
Karena yang ada kita merasa seperti orang asing di kampus sendiri. Alasannya sederhana, teman seangkatan kita sudah jarang yang beredar di kampus, mereka sibuk dengan skripsi atau malah sudah lulus. Boro-boro menghabiskan waktu ngobrol bareng teman, ada yang nyapa kita itu sudah mending. Itu juga kalo kita nggak ketemu dengan orang yang tanya seperti..

“Kapan Ujian?”
“Kapan Yudisium?”
“Kapan Wisuda?”

Kapan. Kapan. Kapan. Setelah itu mungkin pertanyaannya adalah, “Kapan Nikah?”
Pertanyaan sederhana yang terkadang sensitif bagi sebagian orang. Apakah termasuk saya?? Sedikit.

…….

Dalam status quo seperti ini membuat saya mencari pelarian lain atas aktivitas monoton setiap hari. Salah satunya adalah rajin makan semangka dan terkadang mangkal sekaligus menyempatkan untuk ngobrol sejenak dengan si penjual. Memang kalau dilihat dari paduan kaos oblong dan celana pendek yang saya pakai sehari-hari, lebih pas disamakan dengan tukang buah daripada seorang mahasiswa. Mengingat di kampus saya, sebagian besar mahasiswa tak ubahnya seperti majalah fashion yang berjalan. Gaya busana dan dandanan sama-sama nggak ada yang mau ketinggalan.

Up to date.

Dengan paduan kaos oblong dan celana basket yang saya pakai, pernah suatu ketika ada seorang perempuan dengan terburu-buru mengambil dompet, mengeluarkan uang lima ribu, menyerahkan kepada saya kemudian berkata,

“Mas, nanasnya tiga ribu, sisanya melon sama semangka,”

Saya diem. Bengong. Sambil pegang uang lima ribu tadi,

“Mas, cepetan. Saya sudah ditungguin.”
“Oh, iya Mbak.”

Beruntung saya sudah kenal dengan penjual buah. Sambil ngambil potongan buah dalam lemari kaca, saya senyum-senyum sendiri, nahan ketawa dan masih nggak percaya dengan hal ini. Setelah selesai mengambil potongan buah, saya menyerahkan kembali kepada perempuan tersebut.

“Ini Mbak buahnya, maaf kalau lama soalnya yang jual lagi beli rokok di warung sebelah.”
“Lah, terus Mas ini siapa?”
“Ya sama kayak Mbak juga, pembeli.”
“Oh, maaf Mas, saya nggak tahu. Soalnya mirip sih.”
“Nggak apa-apa, asal jangan tiap hari aja dikira tukang buah. Bisa jualan beneran saya nanti.”
“Bisa aja. Makasih, Mas.”
“Sama-sama.”

Dari kejauhan penjual buah aslinya datang, dengan mulut yang kembang kempis menghisap sebatang rokok dengan merek tiga deret angka. Namanya Mas Hayun, pria keturunan Madura dan sudah berkeluarga. Saya langsung menyerahkan uang lima ribu penuh cerita tadi.

“Nih, tadi ada beli buah.”
“Terus kamu ambilin?”
“Ya iyalah, orang tiba-tiba langsung disodorin uang lima ribu. Dibilang mirip pula.”
“Hahaha...dulu kan kamu magang di kantoran, anggap aja sekarang magang disini.”
“Ya asal jangan tiap hari aja, Mas.”
“Kenapa?”
“Karena ada Saya. Sampeyan nggak lagi memonopoli penjualan buah di sini. Bisa turun itu pengahasilan.”
“Hahaha..”

Kadang saya selalu bawa tas kecil kalau celana pendek yang saya pakai nggak ada kantongnya, buat tempat dompet sama ponsel. Tapi gara-gara kombinasi pakaian dan aksesoris tas itu pula seorang bapak berpakaian necis keluar dari kantor PLN, datang dan minta tolong saya yang sedang duduk makan sepotong semangka sambil baca koran.

“Mas, mobil saya mau keluar, tolong ya.”

Saya bengong. Apalagi ini.

“Tolong ya, Mas.”
“Oh iya, Pak.”

Saya baru sadar kalau bapak itu mengira saya tukang parkir. Saya pun dengan pede bangkit, bergaya seperti tukang parkir, bergantian mengucap kosakata tukang parkir seperti : maju-maju, mundur-mundur, kanan-kanan, kiri-kiri, stop. Untungnya satpam PLN buru-buru datang bantuin. Mobil pun berlalu diselingi bunyi klakson dua kali dan salam hormat dari satpam tadi.

Tapi kok ada yang aneh sepertinya. Bapak tadi lupa ngasih dua ribu ke saya.

Sial.

Mending dikira jadi tukang buah dapat lima ribu, daripada tukang parkir. Jangankan dua ribu, seribu pun pun nihil.
Percuma saya mau dianggap tukang parkir tadi.

Sialan.

……

Kalau ditanya alasannya kenapa saya suka buah semangka??

Jawabnya sederhana saja, karena semangaka itu manis dan menyegarkan.

Saya mulai suka dengan semangka sejak masih duduk di bangku SD. Waktu itu saya kelas 5 SD dan sedang ikut lomba Itajamnas (Ikatan Jambore Nasional) tingkat kecamatan. Untuk ukuran anak kecil seperti saya, berkemah selama empat hari di tanah lapang, tidur jam 11 malam dan harus bangun jam 3 pagi untuk pergi mandi di sungai, dan seabrek kegiatan di sinag harinya bukanlah hal yang biasa bagi saya. Singkat cerita saya jatuh sakit dan hanya terbaring di dalam tenda yang amat-sangat-tidak-nyaman-sekali untuk orang sakit.

Besoknya adik kelas perempuan saya, Niken, ngasih semangka yang dipotong diatas nampan untuk tenda anak laki-laki. Berhubung yang lain sedang ada kegiatan jelajah, dan karena cuaca yang sangat panas, satu nampan semangka habis di mulut saya. Nggak tau kenapa, setelah melahap beberapa potongan buah semangka tadi secara “tidak terhormat”, meriang saya mulai berkurang dan pusing di kepala juga nggak separah sebelumnya. Meskipun kondisi saya berangsur-angsur sembuh, namun sore harinya badan saya panas kembali. Panas oleh pukulan dan tendangan teman-teman saya begitu tau kalau semangka jatahnya (maaf) sudah saya embat dengan tidak hormat.

…..

Pas saya sedang asyik membaca berita menarik seputar sepakbola di koran pagi ini sambil mojok di pos satpam dan sepotong semangka tentunya, tiba-tiba Mas Hayun nepok pundak terus tanya..

“Final nanti dukung Chelsea apa Bayern Munich??”
“Jelas Chelsea lah..”
“Kenapa??”
“Saya suka warna biru. Nah, kostum Chelsea kan biru. Jadi saya dukung.”
“Gitu doang??tapi banyak orang yang dukung Bayern Munich lho..”
“Ya, karena sudah banyak yang dukung jadi saya nggak dukung lagi. Lagian ngapain dukung tim yang difavoritkan banyak orang bakal menang. Kalo bener menang juga bakal biasa aja. Karena sesuai prediksi. Nah, kalo dukung yang nggak difavoritkan tapi nanti bisa menang, itu baru luar biasaaaa..”
“Wah, oposisi nih ceritanya??”
“Begitu juga boleh. Hahaha..”

Sedang asyik ngobrol berita bola sambil makan semangka, tiba-tiba ada seorang pembeli mendekati ke motor Mas hayun yang di bagian belakangnya penuh diisi dengan potongan berbagai macam buah. Mulai dari semangka, melon, nanas, bengkoang, papaya, mangga, dan teman-temannya. Cuma satu jenis buah yang nggak ada disana, buah simalakama.

Saya melihat seorang perempuan muda berambut pendek dengan tangan kanan memegang tumpukan buku dan yang sebelah kiri memegang setangkai bunga mawar merah. Perlahan saya melipat koran yang sedari tadi berada di tangan, mulut saya juga berhenti mengunyah potongan-potongan semangka karena radar di kepala memberikan instruksi kepada mata untuk tidak melewatkan pemandangan ini.

Lumayan.

Semua adegan di depan saya mendadak menjadi pelan, seperti slow motion dalam film-film action. Mulai dari ngobrol dengan Mas Hayun, milih-milih buah di kotak sampai perempuan tersebut berjalan meninggalkan motor Mas Hayun, semuanya masih berjalan pelan di mata saya. Saya mencoba untuk tetap memandang, berusaha untuk tidak berkedip. Kata orang melihat perempuan setelah berkedip itu dosa. Dia pun sekilas membalas pandangan saya sambil mencium bunga mawar di tangan kirinya.

Mungkin hanya tiga detik sebelum dia lenyap tak terjangkau pandangan saya lagi.
Tiga detik yang memberi perbedaan arti. Buat saya, tiga detik yang mengartikan kekaguman melihat indahnya ciptaan Tuhan. Dan bagi dia, tiga detik yang mengartikan keprihatinan melihat pemuda lusuh dengan wajah penuh kesengsaraan.

Itu beda banget.

Tiba-tiba pundak saya ditepuk,

“Cantik ya?”
“Siapa?”
“Yang barusan beli buah..”
“Ah, nggak juga.”
“Lha tadi kamu ngeliatin terus. Kalo nggak cantik terus apa dong??”
“Hmm…kayak semangka ini mas. Manis dan menyegarkan..”
“Hahahahaaa…”

Begitu selesai menghabiskan kolom demi kolom berita, saya pun bergegas pulang ke kosan. Dari kejauhan Mas Hayun melambaikan tangannya dan berteriak,

“Besok pagi jam 9 dia pasti kesini lagi..”

Saya pun membalikkan badan, tersenyum dan menempelkan telunjuk dan ibu jari membentuk lingkaran sebagai jawaban.

….

Semangka itu, memang manis dan menyegarkan.
:-)