Wednesday 21 May 2014

Pertempuran Hati

Apa yang ada di dalam pikiran kamu ketika mendengar kata pertempuran?


Sesuatu yang mengerikan? Perkelahian massal?


Pernahkan kamu mengalami pertempuran?


Pasti jawabannya tidak. Hampir dapat dipastikan setelah mendapat kemerdekaan, tidak ada lagi pertempuran yang ada di negeri ini. Yang ada pertempuran mempertahankan kemerdekaan dan pemberontakan-pemberontakan internal di bangsa ini. Selebihnya, mungkin hanya pertempuran sebagai pagelaran budaya beberapa masyarakat saja.


Tapi kali ini saya mengalami pertempuran. Serius. Namanya pertempuran hati.


Saya pernah bilang kalau kelemahan terbesar seorang manusia itu adalah kemampuan mereka dalam memilih. Tentu memilih yang terbaik bagi mereka. Tapi yang ada tetap sulit. Misalnya menentukan pilihan atas dua pilihan yang tersisa. Memilih kebahagiaan untuk diri sendiri, atau memilih kebahagian untuk orang yang paling kita sayangi, katakanlah orangtua. Intinya sih sama-sama membuat bahagia. Hanya yang satu membahagiakan diri sendiri, efeknya mungkin orang di sekitar kita akan ikut merasakan bahagia. Sedangkan yang lain, membahagiakan orang lain. Tentu orang yang kita bahagiakan tersebut akan bahagia. Tapi apakah kita juga ikut bahagia. Belum tentu. Mungkin tersenyum atau tertawa sekencangnya, tapi belum tentu batin kita juga melakukan hal yang sama.


Dan memilih semuanya tentu punya resiko yang besar. Paling tidak memerlukan usaha yang lebih keras daripada memilih satu diantaranya.


Apa harus menunggu?


Kalau itu yang dilakukan juga mau sampai kapan. Sampai kapan bakal menunggu pertempuran yang sama sekali belum tahu kapan akan berakhir. Dan berada di masa itu adalah sulit. Sumpah sulit. Tapi bukankah setiap kesulitan pasti ada jalan?


Jalan itu hanya menyerahkan semua kembali kepada Tuhan. Itu yang saya tahu ketika kita sudah tidak mampu lagi mengatasinya sendiri. Kita kan manusia, punya keterbatasan dalam segala hal. Kalau kita sudah mampu mengatasinya ya pilihan terbaik adalah mengembalikan itu semua kepada yang menciptakan kita bukan?


Sambil terus melakukan apa yang menurut kita terbaik. Apapun yang dipilihNya untuk kita, apakah memilih kebahagian untuk orang lain, atau untuk diri sendiri. Pasti itu yang terbaik.


Toh sebenarnya kita dilahirkan di dunia ini untuk mencapai tujuan yang baik. Secara tidak sadar pemikiran dan ego kita sendiri yang membawa kita belok dari tujuan awal kita yang baik. Belok kesana kemari nggak jelas mau kemana yang mungkin menurut kita itu baik. Sehingga Tuhan sengaja menaruh kerikil, sampai batu-batu besar untuk menghadang langkah kita. Mungkin itu yang kita sebut masalah. Sampai kita mengumpat nggak karuan kesana kemari mengeluh nggak jelas kesana kesini. Menganggap ini semua nggak adil karena merusak rencana kita untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan. Sesuatu yang sudah kita rencanakan dengan matang. Sesuatu yang kita anggap baik.


Satu dua tahun itu berlalu. Coba kita berfikir dengan pikiran tenang, pikiran logis, dan hati yang sudah tertata. Tuhan melakukan semua ini juga bukan tanpa tujuan. Dan tujuannya itu baik kok. Karena berkat kerikil, atau baru besar sekalipun yang dulu kita sebut masalah, sebenarnya itu cara Tuhan untuk membelokkan dari  jalan salah yang kita tempuh, belok-belok-belok-belok entah berapa kali belokan sampai kita kembali ke jalan kita, tujuan kita. Jalan yang terbaik.


Maka nggak ada yang perlu disesalkan dari setiap masalah yang kita hadapai, setiap masalah yang diberi Tuhan. Tuhan itu sayang banget sama kita. Sumpah. Karena kalau tidak sayang sama kita, Tuhan juga nggak mau repot-repot megingatkan kita.  Tidak mau mengingatkan kita dengan memberi masalah kalau tidak kita sendiri yang salah dalam melangkah. Logikanya Tuhan nggak akan pernah menaruh kerikil atau batu besar itu di hadapan kita kalau kita nggak salah jalan dari jalan utama kita.


Sudah paham?


Iya.. karena fungsinya kerikil dan batu kan supaya kita belok kembali ke jalan awal kita. Nah, kalau berapa banyak beloknya saya nggak tahu. Mungkin berbanding lurus dengan seberapa banyak kita salah langkah.


Jadi, beruntunglah kita yang sudah kembali ke jalan dimana tujuan awal kita ditetapkan. Karena tinggal menarik gas sekencangnya maka tujuan itu akan semakin cepat dapatkan. Tentu dengan berusaha dan berdoa agar kita tidak banyak belok-belok lagi. Insyallah...

Friday 9 May 2014

Menikmati Malam


Entah kapan saya memulainya, tapi yang jelas ada kesenangan tersendiri ketika malam itu tiba. Sinar matahari yang menyilaukan mulai redup, dan memudar merah jingga. Orang menyebutnya dengan senja.

Jujur, saya kurang menyukai siang hari. Orang berlalu lalang di jalan, sibuk dengan urusan masing-masing, seperti tidak mau kalah dengan berbagai macam kendaraan yang juga silih berganti menghiasi badan jalan. Terlihat seperti saling berdesakan.

Bagi sebagian besar orang, menjalankan rutinitas di siang hari dan beristirahat di malam hari adalah sebuah hal yang biasa. Sehingga bisa disebut sebagai sebuah kewajaran, tapi tidak dengan saya. Justru saya lebih menikmati rutinitas saya di malam hari. Bukan berarti saya tidak beraktifitas di siang hari, saya lebih menikmati waktu saya di malam hari. Iya, lebih menikmati waktu di malam hari.

Orang bilang saya aneh, dan saya baru menyadarinya. Menyadari bahwa saya ini memang (sedikit) aneh. Entah kapan memulainya, saya menjadi suka berjalan sendirian menyusuri jalan, di tengah malam atau bahkan dini hari hanya untuk melihat langit di atas, merasakan suasana malam dan juga melihat sedikit hiruk pikuk manusia di tengah malam. Waktu yang bagi sebagian besar orang digunakan untuk mengistirahatkan tubuh, setelah menjalani aktifitas seharian.

Kadang saya mengendarai motor hanya untuk berkeliling melihat keidupan malam di Malang. Banyak hal yang saya jumpai, mulai tukang nasi goreng yang merapikan gerobak dan bergegas pulang, beberapa anak jalanan yang mulai menggelar kardus temuannya di emperan pertokoan, atau beberapa petugas kebersihan jalan yang mulai mendatangi satu per satu tempat sampah di penghujung malam. Belum lagi tempat hiburan malam yang memang sesuai namanya, menggelar berbagai hiburan di saat malam.

Meski tidak sering, tapi ritual semacam itu sering saya lakukan. Dan ketika pagi menjelang, saya baru bisa memejamkan mata. Seperti binatang nokturnal, yang menjalani sebagian besar hidup di malam hari. Bedanya saya bukan menjalani hidup, tapi menikmati setiap malam saya. Mungkin karena itulah saya susah bangun pagi. Iya, karena saya memulai tidur juga sudah pagi. Hehehe..

Jika siang hari sudah diisi dengan penuh hiruk pikuk kehidupan, lantas.. apakah rela jika malam hanya diisi dengan keheningan dan kesunyian?

Saya justru salah seorang yang menikmatinya. Iya, menikmati malam..