Monday, 3 June 2013
Childhood..!!
Baru tidur beberapa jam setelah melihat final liga champions. Pagi ini anak-anak kecil di samping kos sudah pada teriak-teriak sambil main bola. Tendang sana-sini. Berisik banget. Kenapa anak-anak ini nggak pada siap-siap berangkat sekolah? Saya baru sadara kalau hari ini adalah hari minggu. Merasa terganggu saya langsung keluar kamar. Pengennya saya marahin. Karena ini bukan yang pertama. Sudah sering!
Tapi begitu melihat mereka bermain bola dengan tampang polosnya dan ini juga hari minggu, saya batalkan niat memarahi mereka. Melihat mereka, justru teringat masa kecil saya. Ya, masa-masa yang membuat saya kangen di tengah kantuk yang melanda.
***
Saya kangen. Kangen pas jalan di depan rumah pertama kali dibikin aspal mulus. Hampir tiap minggu saya nggak pernah absen untuk lari pagi. Setelah sholat subuh berjamaah di masjid sebelah rumah, saya dan beberapa temen langsung berlari-lari sambil menanti datangnya mentari. Kadang seorang teman saya berkata kalo ada anjing yang mengejar, karena masih agak gelap kami semua berlarian sekuat tenaga. Padahal dia berbohong. Dia puas banget bisa ngerjain. Setelah jauh tertentu dan capek, kami memutuskan pulang tapi nggak pakai lari lagi. Melainkan menunggu cikar (gerobak gede yang ditarik sapi, bahasa Indonesianya sih pedati), sambil menunggu biasanya beli jajanan di tukang sayur yang lewat. Entah itu gorengan atau kue pasar itung-itung bekal selama naik cikar. Kami duduk di belakang dan menghadap ke belakang pula. Benda itu pun berjalan pelan karena menggunakan tenaga sapi. Sambil makan jajanan itu sesekali salah satu mulut diantara kami menyanyikan lagu “Damai”-nya Wayang. “Oh, damainya hatiku...kala mentari...bersinar lagi..”. Pas saya kecil lagu itu populer sekali.
Saya kangen. Kangen pernah ikutan lomba cerdas cermat tingkat SD. Saat itu saya masih duduk di kelas 5. Entah apa yang terjadi, saya dan guru di sekolah lupa kalau lomba dilaksanakan hari itu. Baru sadar setelah hampir pukul 9 pagi. Saya sudah payah karena jam pertama sudah habis-habisan bermain bola pas jam olahraga. Pak Karni (guru saya) langsung memacu motornya kenceng, berharap saya bisa cepat sampai. Akhirnya kami sampai jam 9, padahal lomba dimulai dua jam sebelumnya. Saya telat, tapi tetap masuk ke dalam kelas dan diketawain peserta lainnya. Saya cuma cengengesan kemudian duduk di kursi yang tersisa. Cuma satu, di pojok paling belakang. Waktu yang tersisa nggak ada satu jam, saya kebut mampus itu lima lembar soal dari lima mata pelajaran berbeda. Begitu keluar, saya ngobrolin bola dengan salah satu peserta, kebetulan dia sama-sama Milanisti (fans AC Milan). Bosan menunggu pengumuman yang lama, kami ke kantin yang agak jauh sambil beli gorengan. Pas asyik ngobrol, saya dicari Pak Karni kesana kemari, dan cuma geleng-geleng pas menemukan saya sedang asyik ngunyah pisang goreng di kantin. Saya disuruh berdiri di lapangan, di depan peserta lain, mereka semua tepuk tangan, saya masih celingak-celinguk kayak orang bego. Ternyata saya berhasil masuk lima besar, dan lolos untuk tingkat kabupaten. Pas pulang, Pak Karni bilang, “Tadi banyak guru yang protes karena kamu menang. Mereka nggak percaya dan minta dikoreksi ulang. Makanya lama..”. Saya cuma nyengir, sambil nggunyah kue jatah Pak Karni.
Saya kangen. Kangen pernah ikut lomba 17 Agustus antar TK di kecamatan. Pagi-pagi sekali, saya diantar Bapak ke TKP (tempat keberlangsungan perlombaan). Begitu sampai, disana sudah berkumpul peserta dari TK lain. Ramai sekali. Pedagangnya malah lebih ramai daripada pesertanya. Melihat peserta lain yang posturnya tubuhnya lebih kecil, Bapak saya langsung bilang, “Alah, yang lain pada kecil-kecil, Pras. Sikat habis!”. Saya ngangguk. Bapak saya senyum setelah berhasil memprovokatori anak laki-lakinya. Saya kebagian lomba lari, bolak balik mengambil dan menaruh bola. Ada lima bola yang harus diambil. Pas bola terakhir saya paling depan. Saya yakin pasti menang. Entah karena terlalu semangat atau perintah otak yang salah, tiba-tiba saya kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling-guling di lapangan. Alhasil, si kampret di belakang saya yang jadi juara, dan saya kalah. Bapak saya malah ngetawain. Pas ditolong, saya langsung nangis di tempat. Bukan karena kalah, tapi lebih kepada malu. Malu sama anak cewek Bu Guru TK yang ikut melihat “akrobat” saya barusan. Soalnya saya suka sama dia. Uhuk!
Saya kangen. Kangen pernah ngasih sesuatu untuk sekolah saya. Sejak kecil saya pramuka-holic. Makanya saya dan beberapa teman dilatih khusus untuk dikirim mewakili SD di perlombaan Itajamnas (Ikatan Jambore Nasional). Saat itu saya masih kelas 6, dan dipilih menjadi ketua regu dengan alasan : suara saya paling kenceng kalau teriak. Alasan yang sederhana sekaligus kampret sekali. Disaat para regu lain menggunakan nama regu mereka dengan para “raja hutan” seperti singa, harimau, ular, dan elang. Regu kami malah menggunakan nama “kijang”. Bukan karena anti mainstream, tapi pas saya beli di toko yang tersisa hanya bendera dengan gambar kijang. Ah, sudahlah...(dengan logat babe cabita). Berkemah di tanah lapang selama 4 hari, tidur di dalam tenda, dinginnya angin malam, serta harus mandi di sungai pagi-pagi buta itu rasanya nggak enak banget. Sumpah. Tapi kami tetap semangat mengikuti semua perlombaan yang ada. Mulai tali temali, baris-berbaris, semaphore, morse, cerdas tangkas, jelajah alam, sampai kenalan dengan cewek (yang terakhir itu saya sendiri yang mengadakan, khusus untuk regu kami). Di hari terakhir, regu kami dinobatkan sebagai juara pertama, juara umum. Saya maju untuk mendapat hadiah, juga pegang piala. Pas balik ke barisan regu, teman-teman sudah bersorak kegirangan, saya memasang tampang cool ke peserta lain yang semalam nyela kami gara-gara bernama “regu kijang”. Saya menatap wajah songong mereka seolah berkata, “Lu orang boleh pakai nama raja hutan. Tapi disini kami yang jadi rajanya, Bung!”. Puas banget. Perjalanan pulang kami lebih memilih menaiki mobil bak terbuka bersama barang-barang. Di atas mobil, pegang piala, nyanyi rame-rame, itu kemenagan kita. Saya sudah berasa seperti Paolo Maldini pas AC Milan jadi juara Liga Champions. Great!
Saya kangen. Kangen menikmati setiap kali hujun turun. Berlari-lari di jalanan bersama teman-teman. Bersorak, berteriak, apapun itu yang penting batin senang. Membuat perahu dari batang pisang, menaiki kemudian menghanyutkan perahu itu di sungai. Mengikuti arus sungai sampai entah kemana ujungnya. Kemudian pulang melihat orang dewasa yang berteduh di emperan toko, dan menganggap bahwa mereka semua itu aneh karena takut dengan hujan. Juga tak lupa berbuat sedikit maksiat dengan mencuri mangga atau rambutan yang ditemukan di jalan. Saat pemilik memilih berdiam diri di dalam rumah karena di luar sedang hujan deras, kami memanfaatkan kesempatan itu. Bagai sebuah geng yang terlatih, salah satu dari kami hanya memberi aba-aba dengan kata “beraksi”, tanda persiapan harus dimulai. Saat itu, salah satu dari kami bilang, “Saatnya kita beraksi!”. Terdengar keren banget. Padahal mau nyolong mangga. Ampun deh...
Saya kangen. Kangen kucing-kucingan dengan ibu soal tidur siang. Ibu saya adalah orang yang sangat menganggap penting tidur siang. Makanya sejak kecil saya dilatih untuk tidur siang. Tapi karena saya kecil pengen banget keluar rumah, bermain bersama teman-teman di luar. Yang ada setiap kali disuruh tidur siang, saya hanya berpura-pura masuk ke dalam kamar. Setelah semua tenang, saya berjalan dengan berjinjit keluar rumah. Kemudian main dengan teman-teman. Begitu pulang dan ketahuan, sebuah jeweran mampir di telinga. Panas banget. Tapi saya nggak pernah kapok. Dasar badung!
Saya kangen. Kangen pernah ikut karnaval anak TK. Saya dipasangkan dengan anak guru TK yang cantik (sebut saja Ira), dan diam-diam saya suka dengan Ira. Cinta monyet lah. Saat itu saya didandai pakaian adat betawi. Saya jadi abang, dan dia jadi none. Pakaian saya lengkap sampai bawa golok beneran segala. Pas selesai karnaval, saya istirahat dengan duduk di bangku bawah pohon. Tiba-tiab Ira juga duduk disamping saya. Saya bingung langsung bertanya, “Kok kamu ikutan duduk disini sih?” dan dengan lugu Ira menjawab, “Kan aku jadi pasangaan kamu sekarang.”. saya pasang tampang cool, padahal batin seneng banget. Kemudian ibunya memberi roti isi untuk Ira. Karena terlalu gede dia bilang pada saya, “Pras, yang separuh buat kamu. Kan kita pasangan.”. Saya mengangguk, kemudian mengambil potongan itu. Ira tersenyum, tapi saya tetap pasang tampang cool. Dalam hati seneng mampus. Sumpah. Begitu lulus TK, kami nggak pernah ketemu lagi karena dia pindah. Sampai tiga belas tahun kemudian, saat saya menjadi mahasiswa, semesta mempertemukan kami kembali. Ira tumbuh menjadi gadis dewasa, dan masih tetap cantik. Bedanya saat itu dia sudah punya pacar, begitu pula dengan saya. Dia juga bilang, “Aku nggak pernah lupa atas kejailan-kejailan kamu dulu.”. Kami berdua tertawa bersama.
Saya kangen. Kangen pernah main bola voli satu tim sama bapak. Bapak pas muda pernah jadi pemain boal voli, makanya badannya terbilang tinggi. Begitupun saya ketika masuk SMP juga terbilang lumayan tinggi. Makanya pas di desa ada pertandingan bola voli antar RT dalam rangka 17 Agustus, saya diajak main. Saya bagian tosser (pengumpan), sedangkan bapak dan yang lain bagian smash. Peserta antusias, meskipun hadiahnya “hanya” beberapa ekor ayam dan bebek (yang menang langsung pesta bakar-bakar). Saat itu RT kami nggak sempat masuk final, dan tidak tidak mendapatkan hadiah apa-apa. Tapi saya mendapatkan pengalaman berharga. Ya, bisa main satu tim dengan bapak.
Saya kangen. Kangen dimarahin ibu gara-dara Sheila on 7. Sekitar akhir 90-an, Sheila On 7 muncul sebagai grup band fenomenal. Album pertama mereka tembus satu juta kopi, dan saya langsung jatuh hati dengan karya-karya mereka. Sampai sekarang. Saat itu ada sebuah TV swasta yang menayangkan langsung konser mereka di Jakarta, bertepatan dengan musim ujian kenaikan kelas. Karena suka, saya ngotot untuk melihat konser tersebut sampai habis, baru belajar untuk ujian. Tapi ibu malah marah, tapi saya tetap ngotot. Akhirnya ibu bilang sambil marah, “Kalu begitu, besok jawaban ujiannya diisi semua dengan Sheila On 7!”. Malam itu saya tetap menonton konser sampai habis, dan puas banget. Pas pembagian raport kenaikan, ibu nggak pernah marah lagi setiap kali saya “terlibat” dengan Sheila On 7. Karena saya berhasil mendapat angka satu pada kolom bertuliskan “peringkat”. Sampai sekarang, setiap saya minta izin untuk melihat konser Sheila On 7, ibu hanya bilang, “Ati-ati..”. Thank’s Mom..:)
***
Saya kangen banget dengan masa kecil saya...
Saya jadi senyum-senyum sendiri kalau mengingat itu semua. Ya, disaat semakin bertambahnya umur, bertambah ilmu, juga bertambah beban pikiran. Paling tidak saya menikmati betul masa kecil saya, masa kenakalan, dan masa pembelajaran.
Andai kalau bisa, saya ingin pinjam mesin waktu milik Doraemon dan kembali ke masa kecil saya dulu. Bukan untuk memperbaiki hal yang buruk, dan menggantinya dengan yang baik. Itu sudah terjadi, dan biarlah. Saya hanya ingin melihat kepolosan wajah saya saat kecil. Saat melakukan apa yang disenanginya. Belum tahu itu benar atau salah. Saya pengen mengucapkan selamat atas keberhasilan saya, memberi dukungan atas kegagalan saya. Atau menertawakan habis-habisan kekonyolan saya, terutama saat jatuh dan harus menangis. Menangis karena rasa malu dilihat cewek yang saya suka.
Masa-masa itu saya belajar dan tumbuh, sampai sekarang. Saya kangen masa-masa itu...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment