Thursday 5 September 2013

Khop Khun Krap..

Sore itu jam menunjukan setengah lima sore. Namun, bus yang saya tumpangi baru saja parkir dengan manis di sekitar kawasan Candi Prambanan. Telat setengah jam dari jadwal semula. Begitu turun, suasana masih terlihat ramai. Pancaran sinar matahari terbilang masih terang untuk ukuran menjelang senja. Hembusan angin juga terasa lumayan kencang. Terlihat beberapa ibu-ibu menghampiri kami lantas menawarkan jasa “mandi”.

Sore itu badan saya sudah payah setelah seharian berpindah-pindah dari kawasan wisata satu ke wisata lainnya. Terakhir kali saya mandi tadi subuh, pas baru tiba di sekitar kawasan Candi Borobudur. Itu pun cuma menuntaskan “hajat” gara-gara semalam banyak makan selama perjalanan. Lagian di belakang saya masih puluhan teman yang antri. Sementara kamar mandi dan WC hanya sekitar belasan. Makanya saya lebih memilih masuk ke dalam WC daripada kamar mandi. Saya lebih memilih menuntaskan hajat daripada membersihkan badan. Badan masih bisa dibersihkan nanti, tapi hajat harus dituntaskan saat itu juga. Nggak bisa ditawar. Ini urusannya nama baik. Iya, daripada harus “keguguran” di depan teman-teman? Sekali lagi, ini urusannya nama baik.

“Ayo yang mandi. Silakan..silakan..”

Kalimat itu yang terus keluar dari beberapa ibu-ibu yang menjajakan sewa tempat mandi. Wah, boleh juga nih pikir saya. Lagian badan sudah kusut nggak karuan. Saya mengajak Luhur, teman sebangku saya. Dia pun mengangguk.

“Mas..mau mandi?”
“Boleh, Bu. Tempatnya dimana?”
“Oh. Nggak jauh kok, Mas. Nanti biar diantar anak saya. Mas tinggal ngikutin saja.”


Saya mengangguk. Kemudian ibu tadi memanggil anaknya. Kami berdua berjalan mengikuti anak tersebut. Ternyata tempatnya nggak begitu jauh dari kawasan Candi Prambanan. Seperti halaman rumah yang dibangun banyak kamar mandi. Saya langsung masuk dan melepas rindu dengan air. Karena pagi tadi nggak sempat merasakan mandi. Begitu keluar badan terasa segar. Semua kepayahan dan beban terasa hilang bersama dengan air yang jatuh dari badan. Mengalir sampai ke laut. (halah, malah ngaco)

“Berapa?”
“Satu orang dua ribu, Mas.”


Dua ribu yang mengobati kerinduan dengan air. Dua ribu yang berhasil membuat badan menjadi segar kemabali. Dua ribu yang bisa menaikkan kadar kegantengan kami berdua hingga 50%. Benar-benar dua ribu yang penuh arti.

Kami berdua kembali ke kawasan prambanan dengan tampilan interface yang sudah diupgrade menjadi lebih ganteng bagi orang yang melihat kami. Yah, paling tidak bila dibandingakan kondisi 10 menit yang lalu. Masih kusut dan berminyak.
Di parkiran saya tidak melihat teman-teman saya. Karena saya tidak menjumpai anak SMP pakai kaos sama dengan yang saya kenakan. Mungkin mereka kami sudah masuk terlebih dulu saat kami asik melepas rindu dengan air di kamar mandi. Saya tetap tenang, toh kami berdua sudah membawa tiket masuk. Proses masuk pun bukan menjadi masalah.

Ternyata prambanan itu luas banget. Luhur meminta saya untuk mengambil gambarnya dengan latar belakang Candi Prambanan. Begitu saya ngasih aba-aba, tustel itu nggak mau nyala karena baterainya habis. Luhur langsung ngumpat nggak karuan. Terlebih dia lupa membawa baterai cadangan dari rumah. Yah, maklum saja teknologi jaman segitu kalau mau berlibur masih pakai tustel, klise cadangan juga baterai cadangan. Itu sudah satu paket. Kemudian dia bertanya ke penjaga pintu masuk, kali aja ada yang jual baterai. Saya menunggu sambil duduk di bongkahan batu bekas reruntuhan candi.

Sore itu suasananya pas banget. Matahari mulai terlihat besar dan turun ke peraduannya. Sinarnya nggak begitu silau, tapi mulai memerah jingga menerpa bongkahan batu candi prambanan yang tersusun dengan kokoh. Semilir angin menambah efek keindahan yang ada. Keindahan itu bernama “Senja di Prambanan”. Beuuhh...

Saya sudah nggak peduli lagi dengan Luhur yang belum juga kembali dari berburu baterai. Yang jelas, saya masih belum beranjak dari tempat duduk saya. Membiarkan semua indera yang ada untuk menikmati perpaduan keindahan alam dan buatan manusia yang sudah tersaji di depan mata. Masih dengan duduk, hingga matahari perlahan bergerak menuju peraduan hingga semburat merah jingga yang semakin jelas di atas langit. Awesome!

Itulah cara saya menikmati keindahan. Termasuk keindahan paras wanita. Uhuk!

Tiba-tiba saya dikagetkan dengan suara seorang ibu yang menghampiri saya. Sekilas tampak bukan seperti orang Indonesia, karena kulitnya lumayan putih. Kalau orang Indonesia itu identik dengan warna kulit sawo matang. Kadang ada juga yang berwarna sawo busuk. Mungkin terlalu lama menyimpannya sehingga “terlalu matang”. Hehehe...

Asumsi saya semakin kuat karena dia menggunakan bahasa yang sama sekali tidak saya mengerti. Mungkin dia turis asing. Tapi saya yakin dia bukan dari China, karena saya punya teman di kelas dari etnis Thionghoa jadi sedikit tahu. Dari bahasanya sudah berbeda.

Ibu itu tidak sendiri. Dia bersama seorang anak perempuannya. Mungkin sebaya dengan saya yang saat itu masih kelas 2 SMP. Dengan tersenyum, ibu tersebut seperti meminta tolong saya untuk mengambil foto mereka dengan latar belakang Candi Prambanan. Karena hampir tiga kali dia terus menunjukkan tustel yang dia bawa dan arah Candi Prambanan, sambil tentunya mengucapkan bahasa yang nggak pernah saya dengar sebelumnya. Saya pun mengangguk mantap. Pura-pura ngerti. Padahal modal nekad. Dari mulut saya keluar s ebuah kata...

“Yes!”

Ibu itu juga tersenyum sambil mengangguk. Ini adalah kali pertama saya bertemu dengan turis dan diajak berdialog langsung. Sebelumnya saya cuma pernah berdialog dengan Sutris, bukan Turis. Bahasa inggris saya pas SMP memang bisa dibilang tiarap. Selain kata “Yes” dan “No”, bahasa inggris lainnya yang saya paham cuma “I Love You”. It’s so kampret!

Ibu tersebut menyerahkan tustel kepada saya. Sebelum mengambil foto, saya memberikan aba-aba lewat jari tangan. Sesekali mengucapkan one..two..three (bodo amat dia ngerti apa nggak). Setelah beberapa kali mengambil foto, tiba-tiba ibu tersebut mengajak saya berfoto bersama. Saya mengannguk. Entah apa yang mereka katakan, yang penting saya ngerti maksudnya. Bukankan itu subtansi dari sebuah komunikasi? Nggak penting pakai bahasa apa. Yang penting paham. Apakah juga dengan bahasa hati? Ah, sudahlah...

Pertama ibu tersebut berdiri di samping saya, sementara anaknya yang mengambil foto. Setelah itu mereka bergantian, anaknya berdiri di samping saya dan ibu tersebut yang mengambil foto.

“Hey..”

Sambil tersenyum, cuma itu kata yang keluar dari mulut saya. Cewek tersebut membalas dengan tersenyum pula, sambil berkata yang lagi-lagi saya nggak tahu. Yang saya tahu dia cantik dan senyumnya manis. Alamak. Untung saat itu saya tidak mimisan. Maklum biasanya sehari-hari melihat barang lokal, sekalinya ketemu barang impor malah diajakin foto. Jadi nggak sia-sia kegantengan saya yang naik 50% setelah mandi kemudian diabadikan. Huraayyy...

Setelah itu saya nggak ngerti mereka ngomong apa. Sepertinya mereka mengenalkan nama mereka berdua, dan saya tetap pede dengan terus bilang “YES” disetiap akhir kalimat yang mereka ucapkan. Tiba-tiba mereka berdua menangkupkan kedua telapak tangan mereka di depan dada, kemudian berkata...

“Khop Khun Kha..”

Dan, lagi-lagi...

“Yes!”

Cuma kata itu yang keluar dari mulut saya. Mereka berdua pamit. Kami pun berpisah. Sinar matahari sudah mulai redup tinggal menyisakan guratan merah di atas langit. Saya pun mulai berjalan menyusuri kompleks candi prambanan ini sambil tersenyum. Dari kejauhan, Luhur berlarian mengejar saya. Saya lupa kalau sedang menunggu dia. Lagi-lagi dia mengumpat nggak karuan. Terlebih saya tahu kalau dia gagal berburu baterai.

“Sudah.. Nanti minta sama yang lain. Yang klise sama baterainya masih ada. Yuk jalan, udah mulai gelap.”

Luhur mengangguk. Kami berdua berjalan menyusuri prambanan ditemani senja yang mulai temaram.
Saya baru ngerti kalau bahasa itu adalah bahasan Thai dari negara Thailand. Coba kalau kejadian itu terjadi sekarang, mungkin bukan cuma kata “Yes” yang keluar dari mulut saya. Tapi juga kalimat seperti..

“Eh, nanti fotonya jangan lupa twitpic ya..”

Yah, beruntunglah remaja sekarang yang bisa mengabadikan setiap moment dalam hidup mereka dengan mudah. Tidak perlu tustel, klise cadangan, juga baterai cadangan apabila pergi berlibur. Apapun itu, yang jelas saya punya kenangan menarik saat itu. Prambanan, Senja, dan Gadis Thailand.

Khop Khun Krap...



No comments: